Menjelajahi Pasar Film Berlinale
27 Februari 2020Dalam pasar film Berlinale Co-Production Market, sekitar 600 produser, agen penjualan dan distributor internasional bertemu dengan sineas-sineas terpilih dari seluruh dunia yang mencari mitra untuk mewujudkan proyek-proyek film mereka. Proyek film Crocodile Tears dari rumah produksi Tanakhir Films adalah salah satu dari 10 film yang lolos seleksi dari 166 pelamar di kategori Berlinale TalentsProject Market.
Film ini bercerita tentang seorang ibu dengan anak laki-lakinya Johan yang berusia 19 tahun yang tinggal di peternakan buaya. Karena ditinggalkan oleh suaminya, si ibu bersifat sangat posesif terhadap Johan. Suatu hari Johan bertemu Arumi dan jatuh cinta. Setelah Arumi hamil, Johan mengajaknya tinggal bersama dirinya dan ibunya di peternakan buaya. Tidak lama kemudian, ibu Johan mulai sering berbicara dengan seekor buaya putih dan, atas pengaruh buaya putih itu, mencoba membunuh Arumi.
Sejak ide dimulai tahun 2018, produser Mandy Marahimin dan sutradara Tumpal Tampubolon sudah membawa proyek film Crocodile Tears ke berbagai festival dan lab film internasional. Di Berlin, DW Indonesia berbincang-bincang dengan Mandy Marahimin dan Tumpal Tampubolon tentang pengalamannya di pasar co-production Berlinale. Berikut adalah petikannya:
DW: Apa saja yang dilakukan di Berlinale Talent Project Market dan apakah puas dengan prosesnya?
Mandy Marahimin: Pertama ada workshop tentang co-production dan perencanaan finansial tentang co-production, setelah itu selama dua hari penuh kami meeting dengan semua orang yang tertarik. Kami bertemu dengan beberapa produser Jerman, tentunya ada yang menarik dan ada yang tidak menarik. Tapi mencari co-produser memang merupakan proses lama dan bukan sekali meeting langsung jadi. Biasanya akan banyak komunikasi melalui email, lalu bertemu lagi di festival lain, berbicara dan negosiasi lagi. Targetnya bisa diproduksi tahun depan kalau semua pendanaan lancar.
Tumpal Tampubolon: Sejauh prosesnya produktif. Semua meeting yang dijadwalkan berjalan, tidak ada yang di-cancel. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Berlinale adalah pasar paling besar di dunia. Jadi kalau namanya membuat film itu banyak berserahnya. Harus punya iman. Mudah-mudahan terlaksana apa yang kami harapkan tapi memang tidak ada jaminan sama sekali. Semua pertemuan itu tidak pernah kejadian deal di tempat. Karena ini bukan masalah bisnis saja, melainkan membuat relasi juga. Membuat film kan bisa setahun sampai dua tahun. Kalau kita tidak saling percaya atau kolaborasinya tidak enak dalam tingkat pribadi, itu akan berantakan. Bukan masalah uang saja, ini masalah kepercayaan.
Proyek Crocodile Tears ini sudah dibawa ke berbagai lab dan festival Film: South East Asian Fiction Lab di Thailand, Produire Au Sud di Nantes, La Fabrique di Cannes Film Festival, Torino Feature Lab. Dan tahun ini di Berlinale Talent Project Market. Apa manfaat dari festival-festival film untuk memproduksi film?
Mandy Marahimin: Manfaatnya adalah presence. Karena kami ingin sebanyak mungkin orang mendengar tentang film ini, terutama sales agent, festival programmer, funders. Sehingga nanti ketika kami mengajukan pendanaan, mereka sudah mendengar tentang film ini dan ketika nanti filmnya sudah hampir selesai, sales agent juga sudah pernah dengar dan semoga mereka mengambil filmnya. festival programmer juga lihat: oh film ini sudah ke Cannes dan sudah ke Berlin.
Tumpal Tampubolon: Di salah satu lab itu kami juga ketemu co-produser kami dari Perancis. Kami memang ingin membuat film ini dengan cara co-produksi internasional. Ini hal baru juga bagi kami berdua, jadi kami harus belajar dan satu-satunya cara adalah dengan membawa proyek ini kemana-mana. Dengan bertemu banyak orang kami bisa belajar.
Kenapa dipilih bentuk co-production?
Mandy Marahimin: Karena film ini bukan tipe film komersil yang gampang diterima di Indonesia. Kita harus cari funding dari Eropa karena di Indonesia tidak ada pendanaan sama sekali. Sementara untuk minta investor investasi di film seperti ini, itu akan kurang menarik buat mereka karena uang baliknya susah. Tapi Indonesia bukan saja tidak punya funding lokal, tapi juga tidak ada treaty dengan negara manapun. Kalau punya treaty dengan negara lain, ada lebih banyak lagi funding yang bisa diakses. Jadi funding yang bisa kita dapatkan sangat-sangat limited. Sehingga kita harus sabar. Kalau kita tidak diterima, kita harus apply lagi dan apply lagi tahun depan. Untuk co-production film-film Asia tenggara, waktu bertahun-tahun itu normal.
Apa keistimewaan Berlinale?
Mandy Marahimin: Keistimewaannya adalah, bahwa Project Market-nya adalah yang terbesar di dunia dan hampir semua orang industri film di dunia itu ada di Berlinale Project Market. Jadi kemungkinan untuk bertemu sales agent, bertemu distributor lebih besar disini. Project Market lainnya yang cukup besar adalah Cannes. Tapi Cannes itu berbeda sifat. Karena di Cannes lebih untuk film-film besar. Di Berlinalefilm-film kecil lebih punya tempat.
Dibandingkan festival Cannes yang lebih sibuk dan untuk pertemuan hanya ada waktu 10 sampai 15 menit, di Berlinale kami ketemu orang-orang yang lebih serius dan meetingnya lebih panjang dan orang-orang ini lebih terbuka terhadap film-film Asia, khususnya Asia Tenggara. Masih sedikit orang Eropa yang mau nonton film Asia Tenggara.
Tumpal Tampubolon: Secara politis Berlinale juga berbeda. Saya perhatikan, film-filmnya memang selalu punya gagasan-gagasan sosial. Untuk film-film LGBT juga paling besar di Berlinale. Jadi memang arahannya berbeda. Ada tiga festival film terbesar di dunia di Eropa: Cannes, Venice dan Belin. Dan menurut saya Berlin itu adalah yang paling political. Statement-statement politiknya itu paling kelihatan. Ada film dokumenter yang bisa menang, itu hebat. Menurut saya kekuatannya itulah kekuatan Berlinale.
Tips-tips buat pembuat film yang ingin ikut Berlinale Talents tahun-tahun depan?
Mandy Marahimin: Mungkin sebelum masuk Berlinale Talents, yang penting adalah bahwa proyeknya masuk ke script lab. Itu penting sekali karena kadang kita menulis naskah dan melihatnya sebagai orang Indonesia. Sementara kalau kita mau internasional co-production, kita juga perlu pandangan internasional tentang cerita ini. Bukan berarti ceritanya kemudian kita bentuk mengikuti selera mereka. Tapi dengan ikut lab, kita bisa tahu mereka itu menangkap cerita kita seperti apa atau apakah ternyata mereka menerimanya berbeda. Naskahnya terus diolah dan didiskusikan dengan teman-teman dari berbagai negara. Setelah ikut lab, baru mungkin baru menarik masuk ke project market. Tahapannya adalah: ke lab dulu, lalu project market, fund raising, baru filmnya dibuat. (Ed: ag/gtp)