Mencermati Naiknya Popularitas Gerakan Anti Islam
23 Desember 2014Harian-harian Jerman menyoroti secara kritis melonjaknya popularitas gerakan patriotik Eropa menentang Islamisasi Jerman dan Eropa-Pegida. Sulit untuk memastikan, apakah maraknya gerakan anti-Islam yang di latar belakangnya tercium keras pengaruh Neonazi itu merupakan gerakan menentang kebijakan politik atau sebuah indikasi dari makin miskinnya moral spiritual.
Harian Stuttgarter Nachrichten yang terbit di Stuttgart berkomentar: Jerman terjebak dalam spiral aksi kelompok bukan pemilih. Banyak warga merasa ditinggalkan atau dilecehkan oleh partai-partai politik yang sudah mapan, jika dampak kebijakan politik besar mengetuk daun pintu rakyat kecil. Tidak mengherankan, jika jajak pendapat menunjukkan, 49 persen warga Jerman menyatakan bisa memahami aksi demonstrasi gerakan Pegida. Karena itu, seharusnya politik tidak boleh terus membiarkan gerakan semacam Pegida dan terus bungkam terhadap pertanyaan warga. Tidak bicara dan tidak mendengar, tidak bagus untuk semua pihak.
Harian Rheinische Post yang terbit di Düsseldorf dalam tajuknya berkomentar : Gerakan Pegida membuat para politisi Jerman ibarat tontonan dalam sebuah ruang pamer barang aneh. Pernyataan seorang tokoh politik partai pemerintah, yang memuji Pegida karena menyanyikan lagu Natal saat menggelar demonstrasi anti Islam, terdengar seperti ironi, seolah di gereja harus dibaca ayat al Quran dan di mesjid dinyanyikan lagu pujian Kristiani. Sementara seruan mantan kanselir Gerhard Schröder untuk bangkit melawan Pegida, seolah menuduh para pemrotes damai dari kalangan warga biasa itu sebagai raksasa jahat. Inilah sebuah gerakan kebodohan yang ditimpali reaksi yang tidak matang dan kurang dewasa.
Sementara harian Schwäbische Zeitung menuntut semua pihak untuk menjernihkan permasalahan. Dalam tajuknya harian yang terbit di Ravensburg ini berkomentar : yang paling gampang adalah menuduh semua pendukung Pegida yang berdemonstrasi di Dresden, Bonn, München dan Kassel sebagai orang goblok. Tapi akan jauh lebih bermanfaat, jika belajar memahami ketakutan warga pendukung Pegida yang fobi terhadap Islam dan takut terhadap para pengungsi yang ditampung di dekat pemukiman mereka. Mengajak mereka bicara, menyangkut perasaan tidak nyaman tersebut, agar mereka tidak mengekor pada Pegida. Memberi mereka pengertian, bahwa dunia berubah amat cepat, arus informasi makin gencar dan Jerman akan makin multi budaya. Bahwa Pegida hanya mencari kambing hitam. Seperti zaman Nazi dulu, yang jadi biang keroknya adalah Yahudi dan di zaman neonazi ini kambing hitamnya adalah Islam.
Harian Thüringische Landeszeitung yang terbit di Weimar juga menuntut adu argumentasi ketimbang cuma melontarkan yel-yel dan seruan rasisme. Mayoritas demonstran Pegida memang tidak bersedia adu argumentasi dan tidak mau bicara dengan media. Tudingan bahwa media adalah pembawa kabar bohong yang tersistem, mengingatkan orang pada pernyataan rezim Nazi. Untuk menjalin dialog dan diskusi memang agak terlambat. Namun sikap hantam kromo juga bukan jalan keluar. Harus diakui, dalang dan organisator aksi protes Pegida, mayoritasnya tokoh neonazi yang berpakaian jas dasi. Tapi banyak pendukung Pegida bukan orang bodoh yang rasis. Mereka hanya orang yang ketakutan pada hal-hal yang tidak mereka kenal. Barang siapa tidak menanggapi serius ketakutan tersebut, merekalah yang harus membayar kuitansinya.
as/rzn (afp,dpa)