Mengapa Harus Menolak Ba’asyir?
26 Januari 2019Berulang-ulang saya harus menguras otak untuk menemukan satu alasan yang paling masuk akal dan manusiawi untuk mendukung pembebasan Abu Bakar Ba'asyir. Sayangnya, saya tidak bisa menemukan alasan terbaik guna mendukung pembebasan Ba'asyir yang saat ini masih dikaji pemerintah.
Rencana pemerintah ini tentu saja mengejutkan karena Ba'asyir bukan orang sembarangan. Ia adalah otak terorisme di Indonesia yang sudah tiga kali divonis masuk penjara dalam kasus terorisme yang berbeda. Tahun 1983 Ba'asyir ditangkap dan divonis 9 tahun penjara karena menghasut orang untuk menolak Pancasila. Namun ia berhasil banding dan Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman tahanan rumah, akibatnya Ba'asyir kabur ke Malaysia.
Tahun 2003 Ba'asyir divonis empat tahun penjara karena terlibat dalam jaringan terorisme Bom Bali dengan korban tewas 202 orang dan tahun 2011 divonis 15 tahun penjara karena mendanai pelatihan teror di Aceh.
Meski memiliki reputasi dan rekam jejak negatif, kuasa hukum Presiden Joko Widodo Yusril Ihza Mahendra menyatakan Ba'asyir akan bebas tanpa syarat dengan alasan kemanusiaan karena berusia tua dan sakit-sakitan.
Ba'asyir memang sempat dibawa keluar lapas Nusa Kambangan untuk dirawat di rumah sakit di Jakarta pada Maret 2018 silam. Namun secara fisik, kondisi kesehatan Ba'asyir saat ini tidak memaksanya harus berada di atas tempat tidur (bed rest). Ba'asyir sejauh ini juga tidak membutuhkan ruang perawatan khusus (seperti ICU) sehingga masih bisa diberikan perawatan rawat jalan. Pemerintah tentu berkewajiban menyediakan fasilitas kesehatan memadai untuk setiap narapidana berusia senja dan sakit tanpa terkecuali.
Saya teringat pada Andreas Harsono dari Human Right Watch dan kawan saya Ruth Ogetay yang berjibaku membantu mengurusi para tahanan politik asal Papua yang sakit di dalam penjara, termasuk menerbangkan Filep Karma ke Jakarta dari Jayapura untuk operasi prostat pada tahun 2010.
Jika demi alasan kemanusiaan, pemerintah harus hadir di lapas-lapas yang kesulitan akses layanan kesehatan. Oktober 2018 silam ada empat napi terorisme yang tewas karena sakit di lapas Nusa Kambangan. Jika ada kekhawatiran Ba'asyir tewas di dalam lapas, maka menjadikan Ba'asyir sebagai tahanan rumah yang diawasi dan dibatasi jumlah kunjungan sudah sangat manusiawi, tetapi tidak untuk membebaskannya apalagi tanpa syarat apapun.
Pemenjaraan napi teroris
Salah satu hambatan pemberantasan terorisme di Indonesia adalah menghindari hukuman mati. Meski opsi hukuman mati masih dikenal di Indonesia, menjatuhkan hukuman mati kepada pelaku terorisme bisa menyebabkan pengikut mengidolakan pelaku dan menempatkannya sebagai seorang yang mati syahid. Begitu pula jika dalam pengejaran pelaku terorisme, pelaku yang tewas akan dianggap martir karena melawan thogut (pemerintah kafir).
Pengkultusan para teroris sebagai syahid atau martir ini tentu kontra produktif dengan pemberantasan terorisme. Dengan demikian pemenjaraan menjadi satu-satunya cara hukuman yang bisa ditempuh demi memenuhi rasa keadilan terhadap korban. Karena itu membebaskan Ba'asyir adalah sebuah kesalahan besar dan merusak tujuan pemberantasan terorisme yang masih marak di tanah air. Rentetan peristiwa bom bunuh diri terakhir kali terjadi di empat lokasi termasuk di tiga gereja di Surabaya dalam waktu dua hari pada Mei 2018.
Membebaskan Ba'asyir hanya akan menyuburkan bibit terorisme karena mempermudah akses pertemuan antara pengikut dan "guru ideologinya”. Selama dalam lapas di Nusa Kambangan, Ba'asyir kerap dikunjungi pengikutnya.
Suatu kali saya menyaksikan Ba'asyir duduk di tikar di area lapas bersama sejumlah orang bersarung atau bercelana cingkrang. Ada yang membawa rantang, buku-buku dan tas kresek, semua dibawa masuk ke dalam area lapas yang sesungguhnya harus steril dari barang bawaan pengunjung. Tas, barang bawaan dan terutama telepon seluler harus dititipkan saat memasuki lapas penjagaan maksimum Pasir Putih di Nusa Kambangan dalam rangka sebuah acara ibadah di gereja di dalam lapas.
Dari sebuah berita di media online Islam, tahun 2014 Ba'asyir tampak dalam foto berpidato dengan sebuah pengeras suara di depan kerumunan massa berlatar bendera tauhid berwarna hitam. Di dalam lapas yang super ketat, seorang Ba'asyir tetap dikultuskan oleh pengikutnya sehingga kerap dikunjungi dan didengar ceramahnya. Dibalik kulitnya yang mengeriput, uban pada janggutnya serta tubuh rentanya, ideologi Ba'asyir yang menolak Pancasila tak melemah. Tak heran ia menolak bebas dengan sejumlah syarat dan memilih bertahan di balik jeruji besi demi mempertahankan ketundukannya pada hukum agama, bukan hukum duniawi.
Ba'asyir hanya bisa bebas jika ia sudah menyelesaikan masa tahanannya selama 15 tahun potong remisi atau sebagai narapidana mengajukan Pembebasan Bersyarat karena sudah menjalankan masa hukuman selama 2/3 atau mengajukan grasi (pengampunan kepada presiden). Opsi Pembebasan Bersyarat Peraturan Menteri Hukum dan HAM nomor 3/2018 pasal 83 mengharuskan narapidana memberikan jaminan tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Sedangkan grasi menghendaki adanya pengakuan bersalah dari napi.
Ba'asyir menolak mengajukan Pembebasan Bersyarat dan grasi karena tidak mau mengakui kesalahan dan tidak mau berjanji tidak mengulangi kesalahannya. Dengan demikian Ba'asyir tidak memenuhi prosedur hukum sehingga tidak bisa diproses untuk Pembebasan Bersyarat atau grasi.
Pembebasannya adalah kesalahan besar
Kuasa hukum Presiden Joko Widodo, Yusril Ihza Mahendra mengklaim presiden menyetujui pembebasan tanpa syarat untuk Ba'asyir. Namun presiden sekalipun, tanpa kecuali harus tunduk pada hukum yang berlaku sehingga tidak dapat memberikan bebas tanpa syarat seperti yang dikehendaki oleh Ba'asyir.
Indonesia adalah negara hukum, kompromi dengan teroris mengindikasikan kelemahan penegakan hukum di dalam negeri. Bersekutu dengan teroris dapat menjatuhkan citra Indonesia di mata dunia internasional. Saya memahami kecaman dari pemerintah Australia yang diarahkan kepada pemerintah Indonesia jika membebaskan Ba'asyir mengingat pembentukan Detasemen Khusus Antiteror 88 pasca Bom Bali 2002 didanai oleh Australia yang kehilangan 88 warga negaranya. Gelontoran dana tersebut menjadi mubazir jika Ba'asyir dibebaskan. Adalah preseden buruk untuk penanganan kasus terorisme di masa datang jika pembebasan Ba'asyir terwujud.
Keistimewaan untuk Ba'asyir dapat dimaknai berbeda untuk para tahanan politik yang menunggu grasi dari presiden. Paling tidak ada tiga orang tahanan politik asal Maluku yang sudah 10 tahun dipenjara menunggu pengampunan dari presiden. Perlakuan istimewa terhadap Ba'asyir bisa memicu kecemburuan dari teroris lain yang juga tidak mau mengakui Pancasila seperti Aman Abdurrahman, pemimpin Jamaah Ansharut Daulah dan Abu Umar dari Jaringan Batalyon Abu Bakar. Aman Abdurrahman yang menjadi ideolog kasus Kerusuhan Mako Brimob tahun lalu dijatuhi hukuman mati namun ia menolak mengajukan banding. Ba'asyir bebas sedangkan Aman Abdurrahman dieksekusi kelak tentu bisa disalahpahami oleh pengikut masing-masing sehingga menimbulkan sikap anti-pemerintah.
Menolak Ba'asyir bebas sama dengan menyelamatkan deradikalisasi. Akar dari terorisme adalah radikalisme sehingga program deradikalisasi dianjurkan diadakan di dalam lapas bagi para napi teroris. Masalahnya deradikalisasi sifatnya sukarela. Napi terorisme tidak wajib mengikuti dan kalaupun ada napi yang ikut, si napi bisa berpura-pura demi mempercepat keluar dari penjara. Nah, Ba'asyir secara terang-terangan mengakui menolak Pancasila dan tidak mau menandatangani surat pernyataan setia kepada NKRI dan Pancasila.
Di tengah tantangan keberagaman yang semakin tergerus oleh Islamisasi dan ideologi khilafah, membebaskan seorang gembong teroris dengan pemahaman yang bertentangan dengan dasar negara adalah sebuah tindakan bodoh! Pemerintah dengan sangat gegabah telah mematikan program deradikalisasi yang sangat dibutuhkan di Indonesia. Dalam acara Debat Capres Pemilu Presiden 2019 yang baru lewat, cawapres Ma'ruf Amin menyatakan pemahaman agama yang salah menyebabkan terorisme sehingga pemahaman itu harus diluruskan. Alih-alih berhasil meluruskan pemahaman agama yang salah, pemerintah gagal menyadarkan Ba'asyir akan Pancasila padahal cuma Pancasila itulah yang menyatukan keberagaman di Indonesia. Ideologi jihadis Ba'asyir masih sangat tebal, tiada solusi untuk menembusnya, termasuk pemenjaraan selama bertahun-tahun.
Persoalan lain yang mengemuka adalah waktu pembebasan Ba'asyir yang berlangsung hanya tiga bulan sebelum pemilu. Meski pihak pengacara Ba'asyir mengklaim sudah mengurus pembebasan sejak tahun lalu, faktanya Ba'asyir kerap menolak mengajukan Pembebasan Bersyarat dan grasi. Hampir diduga, jika Ba'asyir bebas tanpa syarat maka suara pro-pemerintah akan menyusut. Dari jajak pendapat pada akun Facebook pribadi saya, 78% dari 758 suara menolak pembebasan Ba'asyir.. Lebih banyak suara menolak Ba'asyir bebas tentu tidak mengejutkan. Sudah terlalu banyak catatan kelam terorisme di Indonesia. Keluarga korban masih belum mampu melupakan peristiwa kelam yang menyebabkan mereka kehilangan anggota keluarga. Luka-luka para penyintas belum pulih. Mengapa kita harus menambah duka mereka lagi dengan berpihak pada penjahat kemanusiaan?
Harapannya kini mencegah pemerintah mengambil langkah hukum gegabah yang dapat mempermalukan nama baik presiden dan menghancurkan reputasi Indonesia sebagai negara yang serius dalam pemberantasan terorisme. Idealnya pemerintah patuh pada hukum guna menghindari negara ini terjerumus dalam jurang radikalisme dan terorisme dan membuat deradikalisasi terjun bebas tanpa hasil hanya karena pemerintah lebih memilih seorang otak teroris ketimbang suara kritis masyarakat. Pemerintah pun akan kehilangan kredibilitasnya di mata publik jika menyalahi hukum demi menyenangkan satu kelompok. Karena itulah kita harus menolak Ba'asyir bebas.
Penulis @monique_rijkers adalah wartawan independen, IVLP Alumni, pendiri Hadassah of Indonesia, inisiator Tolerance Film Festival dan inisiator #IAMBRAVEINDONESIA.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis
*Bagi komentar Anda dalam kolom di bawah ini.