Pesan Agama Penting untuk Mengatasi Perubahan Iklim?
24 November 2019Di sebagian besar negara-negara Islam, wacana perubahan iklim terkadang dianggap sebagai konsep Barat. Pandangan serupa tak jauh berbeda di Pakistan, negara berpenduduk sekitar 220 juta orang. Perubahan iklim seolah dianggap bukan topik diskusi publik, sebagaimana terbukti oleh fakta bahwa hanya beberapa ribu orang yang mau ikut berpartisipasi dalam pawai "Fridays for Future" pada bulan September. Kebanyakan warga, terkadang tidak memperhatikan degradasi lingkungan atau hanya menganggapnya sebagai agenda kelas elite yang digerakkan oleh LSM.
Para aktivis mengatakan bahwa kurangnya pendidikan di negara-negara seperti Pakistan membuat mereka semakin sulit untuk berkampanye untuk perlindungan lingkungan.
Jadi apa yang dapat dilakukan untuk menciptakan kesadaran atas masalah global serius yang mengancam seluruh ekosistem dan keberadaan manusia ini?
Para pembicara di Konferensi "Eco Islam" DW menekankan perlunya untuk terlibat dengan komunitas lokal dan berbicara dengan mereka dalam bahasa lokal tentang upaya kelestarian lingkungan. Karena agama kerap memainkan peran besar dalam kehidupan orang, maka menggunakan narasi agama yang mendukung agenda ramah lingkungan diyakini dapat membantu meningkatkan kesadaran tentang pentingnya perlindungan lingkungan dan melawan perubahan iklim.
Setelah konferensi DW Eco Islam pertama di Jakarta, Indonesia, bulan lalu, DW menggelar konferensi serupa atau yang kedua di Karachi, Pakistan, pada hari Sabtu (23/11). Tujuan konferensi ini adalah untuk menyoroti pesan-pesan ramah lingkungan dalam agama dan mendorong para pemuka agama dalam menyebarkan dan mengkampanyekan upaya melawan kerusakan lingkungan. T2F, sebuah organisasi non-pemerintah yang bermarkas di Karachi, berkolaborasi dengan DW untuk perhelatan internasional ini.
Membangun jembatan
Di konferensi Eco Islam, Direktur Jenderal DW, Peter Limbourg mengatakan sudah waktunya untuk membawa agama ke dalam diskusi perubahan iklim. "Para pemimpin agama memiliki jangkauan yang luas kepada orang-orang biasa. Kadang-kadang bahkan pemerintah dan media tidak dapat mempengaruhi mereka seperti itu. Penting juga untuk mengingatkan orang bahwa perlindungan lingkunganselalu ditekankan oleh agama mereka," kata Limbourg.
"Kami, sebagai organisasi media, dapat menawarkan banyak hal. Kami dapat memulai dialog. Tetapi kami tidak ingin mengajari orang-orang apa yang harus dilakukan; kami hanya bisa mengedepankan ide yang dapat melindungi lingkungan mereka," tambah direktur jenderal DW tersebut.
Moshin Naqvi, seorang akademisi berpendapat bahwa kitab suci dapat menginspirasi orang untuk menjadi lebih ramah lingkungan.
"Jika kita melihat ajaran Islam, kita menemukan banyak contoh perlindungan lingkungan. Misalnya, Nabi Muhammad menginstruksikan umat Islam untuk menjaga manusia, hewan, dan bahkan pohon lainnya. Manusia tidak diperbolehkan merusak ekosistem," jelas Naqvi.
"Inisiatif DW menyediakan platform bagi orang-orang dari agama yang berbeda untuk membahas masalah perubahan iklim. Tetapi kita perlu menjangkau massa. Dialog-dialog ini biasanya menargetkan kelas yang berpendidikan;namun kita perlu berkomunikasi dengan semua lapisan masyarakat," tambah Naqvi.
Memburuknya efek perubahan iklim
Pakistan menghadapi sejumlah tantangan karena degradasi lingkungan dan perubahan iklim. Pemanasan global telah menghasilkan musim panas yang lebih panjang dan kelangkaan air di negara di Asia Selatan itu. Situasi ini bahkan disebut-sebut sebagai ancaman lebih besar daripada terorisme.
Urbanisasi yang luas dan penebangan pohon telah meningkatkan polusi udara dalam beberapa dekade terakhir. Pada hari Jumat (22/11), Amnesty International memperingatkan bahwa puluhan ribu penduduk kota Lahore berisiko terkena penyakit pernapasan karena kualitas udara yang buruk. AI menganggap pemerintah Pakistan yang tidak cukup tanggap dalam merespon masalah kabut asap.
Murtaza Wahab, penasihat lingkungan untuk kepala menteri provinsi Sindh, mengakui bahwa perubahan iklim belum ditangani dengan baik di negaranya. "Ini adalah sektor yang diabaikan di Pakistan. Tetapi sekarang kami sedang menangani masalah ini dengan serius. Baru-baru ini, kami menyetujui kebijakan perubahan iklim yang bertujuan meningkatkan kemitraan publik-swasta untuk melindungi lingkungan. Kami juga telah melarang penggunaan plastik," kata Wahab.
Namun, ahli lingkungan Pakistan Tofiq Pasha Mooraj menuding pihak berwenang Pakistan "tidak punya waktu untuk mengatasi perubahan iklim."
"Tetapi saya harus menambahkan bahwa dalam beberapa waktu terakhir, pihak berwenang dipaksa untuk memberikan sedikit lebih banyak perhatian pada masalah iklim karena aktivitas mereka menjadi lebih terlihat dan mempengaruhi kehidupan masyarakat," kata Mooraj.
Aktivis lingkungan itu juga mengatakan bahwa orang tidak harus selalu menunggu langkah pemerintah untuk memperbaiki masalah mereka. "Pakistan adalah negara berpenduduk 220 juta orang. Jika setiap orang menghemat setetes air setiap hari, kita mungkin dapat menghemat 220 juta tetes air setiap hari," tandasnya.