Menilik Wacana Sertifikasi Perkawinan sebagai Syarat Menikah
15 November 2019Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy berencana mencanangkan program sertifikasi perkawinan bagi pasangan yang hendak menikah. Program ini bakal mewajibkan pasangan yang akan menikah untuk mengikuti kelas atau bimbingan pranikah untuk mendapatkan sertifikat sebagai syarat perkawinan.
Menurut Muhadjir, dengan adanya pembekalan pengetahuan pernikahan yang cukup sebelum menikah, akan mampu mengurangi angka perceraian di Indonesia. Muhadjir bahkan berencana melakukan hal ini secara masif, meski sejumlah komunitas agama diketahui sudah melakukan program pendidikan pranikah.
"Saya kemarin memang melihat dan tanya-tanya bagaimana praktiknya. Tidak hanya di Katolik, komunitas tertentu seperti Muhammadiyah dan NU juga sudah melakukannya. Tapi ini mau saya harus lebih masif, sifatnya harus berlaku wajib," kata Muhadjir seperti dilansir oleh kantor berita Antara.
Baca juga : Kelas Forum Poligami Indonesia Ajarkan "Cara Kilat Dapat Empat Istri"
Didukung Kemenag
Kementerian agama mendukung gagasan Menko PMK tersebut. Menurut Menteri Agama Fachrul Razi, hal itu sejalan dengan program bimbingan perkawinan (bimwin) yang sudah diselenggarakan Kemenag sejak dua tahun terakhir.
"Bimbingan Perkawinan digelar untuk membekali calon pengantin dalam merespon problem perkawinan dan keluarga. Juga mempersiapkan mereka agar terhindar dari problem perkawinan yang umum terjadi, serta meningkatkan kemampuan mewujudkan kelurga sakinah," terang Menag di Jakarta, Jumat (15/11) seperti dikutip dari rilis resmi Kementerian Agama.
Menurut data Kemenag, pada tahun 2018 bimbingan perkawinan telah menjangkau 125.132 pasangan calon pengantin di 34 provinsi. Tahun ini, sampai Oktober, laporan yang masuk sudah mencapai 59.291 calon pengantin. Kemenag juga sudah memiliki 1.928 fasilitator bimwin yang sudah lulus bimbingan teknis.
Lebih jauh, Menteri Agama mengakui bahwa jangkauan pelaksanaan bimwin calon penganti (catin) masih sangat jauh jika dibandingkan dengan rata-rata pernikahan yang mencapai angka 2 juta dalam setahun. Gagasan Menko PMK diharapkan dapat disinergikan dengan program bimwin sehingga pelaksanaanya semakin masif.
Selain itu, Kemenag saat ini tengah mengembangkan aplikasi bimwin. Aplikasi ini disebut sudah pernah dipresentasikan di forum Kemenko PMK. Melalui aplikasi ini, masyarakat khususnya calon pengantin dapat mengakses semua informasi tentang perkawinan dan keluarga dari berbagai aspek. "Kemenko PMK minta agar aplikasi tersebut bisa dikembangkan, tidak hanya digunakan umat Islam, tapi semua agama," tutur Menag.
Prosedur jangan berbelit-belit
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily meminta pemerintah melakukan kajian secara matang baik dari segi prosedur maupun substansi dari wacana program sertifikasi perkawinan ini. "Dari segi prosedur, harus dikoordinasikan antara pihak-pihak yang terkait dengan kebijakan ini," kata Ace dalam keterangan tertulisnya kepada DW Indonesia.
"Jangan sampai ini memberatkan warga untuk melaksanakan pernikahan, terutama dari segi biaya. Juga jangan sampai prosedurnya berbelit-belit," tambahnya.
Sementara itu, Ace sampaikan dukungannya terkait kesiapan seseorang untuk menikah dari segi psikologis, usia dan kesehatan reproduksi. Hal ini menurutnya dapat mencegah pernikahan anak yang sejatinya dilarang oleh ketentuan UU.
Bimbingan Perkawinan sudah berjalan di Kemenag
Alissa Wahid, seorang psikolog keluarga yang mengaku ditunjuk mengurus tim pakar (psikolog dan ahli hukum Islam tentang keluarga) dalam program di Kementerian Agama menjelaskan bimbingan perkawinan (bimwin) calon pengantin (catin) versi baru sudah berjalan sejak 2017. Program tersebut menggantikan program lama yaitu Penasehatan Perkawinan di KUA digantikan dengan model baru yaitu workshop selama dua hari dengan berbagai kegiatan partisipatif.
Alissa juga mengakui program bimwin tersebut sudah disinkronisasikan dengan Kemenko PMK sejak 2018 namun belum diwajibkan.
"Kepentingan semua kementerian dan lembaga itu sudah masuk termasuk stunting, infeksi menular seksual, KDRT, kesetaraan itu semuanya udah masuk di dalam konsep," ujar Alissa kepada DW Indonesia.
"Tetapi persoalannya bukan konsepnya itu aja, tetapi soal merata atau tidaknya ini kan. Nah, yang Pak Muhadjir sampaikan kan bagaimana agar ini merata kepada semua warga Indonesia yang calon pengantin," tambahnya.
Meski saat ini belum diwajibkan, Alissa membuka peluang bimbingan perkawinan nantinya akan diwajibkan dengan penyesuaian format dari program tersebut. Hal ini menurutnya perlu dilakukan mengingat angka perceraian di Indonesia yang masih tinggi. Sepanjang 2018, menurut data dari website Mahkamah Agung ada hampir setengah juta orang bercerai, yakni sebanyak 419.268 pasangan.
"Ketika orang menikah, dia menikah tidak hanya urusan sah atau tidaknya hubungannya tapi juga kesiapannya untuk tadi seperti stunting segalam macam. Itu yang menurut saya yang diharapkan, karena kalau mau Indonesia maju, SDM unggul, mau ga mau yang lahir harus yang ini dong," jelas Alissa.
Melalui akun twitternya, Alissa memaparkan materi dalam bimbingan perkawinan untuk calon pengantin yang digagas oleh Kementerian Agama. Ia menjelaskan bahwa bimbingan perkawinan harus bisa menjawab tantangan zaman seperti perceraian, kekerasan, konflik berkepanjangan, bias relasi pasutri, kekerasan pada anak, dll. Karena itu, kegiatan bimwin didesain dengan pendekatan memampukan calon pengantin untuk mengelola kehidupan keluarganya.
(gtp/ts)