Menjadi Au Pair di Jerman
2 September 2013Tahun 2011, Paradiscoco Pakpahan menjejakkan kakinya ke Jerman. Paradiscoco datang ke Jerman untuk mengikuti program Au Pair. Ia berbagi kisah pengalamannya: “Saya mencari-cari informasi di internet tentang program Au Pair ini. Lalu akhirnya melamar dan diterima. Orangtua dari anak yang saya asuh juga sudah bertukar kontak dengan saya lewat chatting di internet.“
Saling membantu
Sebagai imbalan, para Au Pair ini dapat tinggal dan makan tanpa bayar dan memperoleh uang saku. Uang sakunya rata-rata sekitar 260 Euro per bulan.
“Program ini sangat baik, karena bukan sekedar saling membantu tapi juga saling memperkenalkan budaya kedua belah pihak,” tandas Paradiscoco.
Jam kerja Paradiscoco sebagai Au Pair sekitar 30 jam perminggunya. Dalam setahun, ia boleh mengambil cuti empat minggu.
Biasanya Au pair bekerja dari Senin sampai Jumat, pagi sampai siang atau siang sampai sore. Kadang-kadang –meski cukup jarang— jam kerjanya pindah ke malam hari, jika si orang tua ingin keluar malam.
Untuk mengikuti program Au Pair ini, ada kontrak kerja yang disepakati kedua belah pihak, orang tua si bocah dengan Au Pair. Kontrak kerja sebagai Au Pair hanya berlaku selama setahun, termasuk kewajiban majikan untuk membayar kursus Bahasa Jerman bagi sang Au Pair. Namun bukan artinya Au Pair tak bisa Bahasa Jerman sama sekali. Jika ingin menjadi Au Pair di Jerman, mereka harus lulus kursus Bahasa Jerman tingkat dasar dulu, sebelum melamar. Baru ketika menjalankan program homestay sebagai Au Pair, kursusnya bisa dilanjutkan.
Bagaimana tiket pesawatnya?
Pengalaman serupa mencari informasi untuk mendaftar sebagai Au Pair diceritakan Sylvia Pujiwati. Setiap website yang menyuguhkan informasi Au Pair ditengoknya dengan telaten.
Jika tiket untuk Paradiscoco ditanggung majikan, lain halnya dengan Sylvia: “Sesuai kesepakatanku dengan gasteltern atau orang tua si bocah yang akan saya asuh, kami bayar tiket pesawat setengah-setengah. Uang tiketnya saya bayar dengan uang saku saya selama tiga bulan pertama.” Sylvia mengasuh sepasang balita kembar selama setahun mengikuti program Au Pair.
Pengalaman tak terlupakan
Apa pengalaman tak terlupakan sepanjang mengikuti program Au Pair? Pertama kali datang ke Jerman, Sylvia mendarat di bandara Frankfurt. Ia menceritakan, penerbangan itu merupakan pengalaman terbang pertama kalinya ke luar negeri seorang diri. Rasa takut ditepisnya, mengingat keinginannya yang besar untuk merasakan hidup di negeri empat musim: “Setibanya di bandara, tak ada yang menjemput. Gasteltern saya tinggalnya jauh di.utara, di Pulau Sylt, Kota Westerland. Dari Frankfurt saya masih harus menempuh perjalanan darat dengan kereta selama delapan jam, transit di Hamburg. Ganti kereta di sana.“
Sementara Paradiscoco, punya pengalaman unik saat mengasuh balita putri Loraine. “Orang-orang Jerman bertanya pada saya, apakah saya ayahnya? Muda sekali untuk punya anak. Saya jawab, saya hanya mengasuhnya sebagai Au Pair. Lalu orang-orang heran lagi, kok ada Au Pair laki-laki menjaga balita perempuan. Mungkin jarang ya..”ujar Paradiscoco sambil tertawa.
Setahun setelah mengasuh Loraine, tahun 2012 Paradiscoco mendapat kesempatan untuk bekerja magang di sebuah taman bermain anak-anak selama setahun, sebelum akhirnya mewujudkan cita-citanya untuk melanjutkan pendidikan keperawatan. “Dulu sebenarnya saya sudah sekolah sebagai perawat. Tapi kemudian ijazah saya di Indonesia tak diakui di Jerman. Jadi tak bisa langsung bekerja, saya harus ikut pendidikan lagi.”
Selama sebulan sebelum mengecap pendidikan kembali, ia mengambil liburan panjang, mengunjungi beberapa kota di Eropa. Bertukar budaya, menjalin persahabatan, menatap cakrawala yang lebih luas, meraih cita, lewat program Au Pair.