Menjauhkan Emisi dari Pertumbuhan Ekonomi
2 Februari 2021Pertumbuhan ekonomi dan lingkungan adalah sebuah paradoks, menurut Direktur Program Pembangunan PBB, Achim Steiner. Dia mencontohkan betapa bencana tumpahnya minyak di Teluk Meksiko, AS, justru mendorong pertumbuhan ekonomi, namun menyisakan kerusakan lintas generasi bagi masyarakat di sekitar.
Menurutnya akar masalah terletak pada persepsi kemakmuran, yang berkutat pada sisi finansial, namun melupakan ruang hidup dan kemanusiaan. Akibatnya kerusakan lingkungan ditolelir sebagai jalan menuju kemakmuran.
Kini ekonom dari berbagai disiplin berusaha menemukan rumusan yang lebih baik bagi konsep pembangunan manusia. Berikut kutipan wawancara editor DW, Sonya Angelica Diehn, dengan Achim Steiner.
---
DW: Apakah pembangunan manusia terikat erat dengan pertumbuhan ekonomi?
Achim Steiner: Hal itu sudah menjadi paradigma di abad ke20. Pertumbuhan ekonomi, produk domestik brutto, pendapatan per kapita: semua adalah faktor utama yang kita gunakan untuk mengukur pembangunan, kemajuan dan keberhasilan di dalam masyarakat kita.
Tapi sudah sejak terlalu lama model ini mengabaikan elemen-elemen irasional dalam pengukuran.
Contohnya, tumpahan minyak raksasa menciptakan pertumbuhan ekonomi, karena upaya pembersihan dan pemulihan menyedot uang dalam jumlah besar, dan ikut menyumbang pada pertumbuhan PDB. Tapi ongkos kerusakan terhadap masyarakat, lingkungan, flora dan fauna, terhadap ekosistem yang tidak lagi bisa pulih, ini tidak pernah direkam.
Ini sebabnya kenapa sejak beberapa tahun terakhir, ragam disiplin ekonomi, atau juga bidang ilmu pertumbuhan berkelanjutan, berusaha menemukan cara yang lebih baik buat mengukur pembangunan manusia. Kepunahan spesies, kematian prematur tujuh juta manusia per tahun, menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), atau polusi di dalam dan di luar ruangan. Itulah ongkos sempitnya model pengukuran dan cara kita menginformasikan opsi-opsi pembangunan.
Bagaimana pembangunan manusia bisa dipisahkan dari kerusakan lingkungan?
Dalam hal ini tidak ada peluru perak atau jurus pamungkas. Tapi kita harus melihat, pertama di mana pembangunan bisa membuka peluang dan solusi ketimbang jadi sumber masalah. Sudah jelas, dekarbonisasi yang menggerakkan perekonomian kita dalam lintasan niremisi menuju masa depan, dan sasaran nol emisi, adalah prioritas utama. Anda bisa menciptakan lingkup-lingkup kecil dan membantu warga dengan pendorong utama pembangunan, yakni akses terhadap energi dan listrik.
Area kedua yang harus diperhatikan adalah cara kita melihat infrastruktur lingkungan dan ekologis: yakni berinvestasi kepada lingkungan, pemulihan lahan, menghentikan kerusakan hutan, dan juga kerusakan sungai-sungai atau ekosistem air.
Pada akhirnya kita harus menyambut paradigma baru untuk melibatkan penghitungan semua faktor-faktor tersebut ke dalam sistem statistik perekonomian nasional kita. Karena jika ongkos hilangnya aset-aset lingkungan ikut dihitung dalam neraca ekonomi nasional, maka kita akan melihat munculnya kebijakan-kebijakan baru, serta arus investasi dan pembangunan yang lebih rasional.
Apakah mungkin membangun dukungan politik untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakan ini sebelum terlambat?
Dukungan politik adalah mata uang yang elusif. Kita bisa meletakkan seluruh tanggung jawabnya kepada para politisi, tapi mereka, misalnya dalam negeri demokratis, terikat pada sentimen berjangka pendek. Dan politisi hanya akan memberanikan diri dan berkomitmen untuk bertindak jika akibatnya mereka bisa menjaring dukungan elektoral.
Jadi bergantung kepada masyarakat untuk memaksakan gagasan baru tentang apa yang seharusnya diyakini para politisi sebagai sebuah keberhasilan. Di tengah wabah Covid-19, banyak di masyarakat kita yang mengatakan bahwa kita tidak bisa kembali ke dunia lama. Maka para pemimpin negara, perdana menteri dan presiden mulai membahas kebijakan baru dalam kerangka yang sangat transformatif.
Di dalam Indeks Pembangunan Manusia, negara-negara Eropa dan Anglo-Saxon mewakili peringkat teratas. Tapi negara-negara yang sama juga punya sejarah panjang kerusakan lingkungan demi kemakmuran. Lantas bagaimana negara-negara lain seharusnya mengupayakan pembangunan?
Selama satu atau dua abad, industrialisasi dan kolonialisme memungkinkan sebagian kecil negara untuk tumbuh secara pesat, yakni dengan menghabiskan sumber daya sendiri, dan mengeksploitasi sumber daya di negara lain untuk memajukan ekonomi. Ada ketidakadilan di sana, yang masih sangat sulit diterima di negara-negara industri maju.
Tapi kita sudah tiba di batas Bumi. Jika kita tidak mampu memisahkan pertumbuhan ekonomi global dari jejak emisi, maka kita akan binasa ketika dampak perubahan iklim bukan hanya menjadi tak terelakkan, tetapi menjadi tidak bisa dipulihkan kembali.
Saya kira apa yang lebih menarik dan mungkin lebih optimis adalah bahwa perekonomian masa depan akan menjadi lebih minim emisi, minim polusi dan lebih efisien dalam menggunakan sumber daya. Jadi dalam perencanaan bisnis akan terasa masuk akal jika investasi di sektor-sektor dan teknologi terkait akan menjamin tingginya daya saing di pasar.
Lihat saja pada disrupsi yang teradi pada rantai produksi industri otomotif global. Kebanyakan lalai mendeteksi sinyal tersebut, dan tiba-tiba Anda berhadapan dengan sebuah perusahaan baru bernama Tesla yang kini menjadi merek otomotif paling berharga di dunia. Pasar uang, mereka tidak loyal. Mereka bisa mengubah loyalitasnya dengan cepat.
Jadi pertanyaannya adalah seberapa cepat kita bisa membebaskan diri kita dari warisan ekonomi masa lalu, dan secara aktif membidani perekonomian masa depan.
Sonya Angelica Diehn (rzn/pkp)
Achim Steiner adalah pakar lingkungan yang saat ini mengepalai Program Pembangunan PBB (UNDP). Sebelumnya dia bekerja sebagai Direktur Eksekutif Program Lingkungan PBB (UNEP) dan Sekretaris Jendral Internasional Union for a Conservation of Nature (IUCN), sebuah lembaga lingkungan internasional.