Taiwan: "Kami Bisa Jadi Model untuk Demokrasi di Cina"
14 Februari 2019DW: Selama 70 tahun, ada dua pemerintahan Cina di kedua sisi Selat Taiwan. Bagaimana Anda memandang hubungan Taiwan dan Cina saat ini?
Joseph Wu: Hubungan bilateral ini sulit didefinisikan. Cina mempertahankan postur yang mengancam Taiwan, sambil mengisolasi negara kami dari organisasi internasional. Pada saat yang sama, hubungan perdagangan dan bisnis justru saling terkait erat. Ini adalah hubungan yang sangat rumit, dan setiap upaya untuk menggambarkannya dengan cara yang disederhanakan akan mengabaikan persoalan inti.
Namun, terlepas dari hubungannya dengan Cina, Taiwan bertekad untuk terus hidup dalam kalangan masyarakat internasional yang didasarkan pada nilai-nilai demokrasi yang terus kami kembangkan. Ini adalah tugas setiap pemerintahan. Ketika Taiwan menjadi lebih demokratis, maka itu juga dapat menjadi penting bagi perkembangan Cina. Karena orang-orang-orang di Cina akan melihat bahwa model Taiwan yang berfungsi dengan baik dapat juga dibayangkan untuk Cina di masa depan.
Dalam jangka panjang, sistem demokrasi adalah jaminan untuk pengembangan hubungan yang sehat antara kedua negara.
AS secara formal memutuskan hubungan diplomatik dengan Taiwan 40 tahun lalu dan mengakui Cina. Banyak negara lain yang juga melakukan hal itu. Apakah Taiwan harus menyesuaikan kebijakan luar negerinya dengan kenyataan ini?
Taiwan telah berubah secara mendasar selama empat dekade terakhir. Saat ini, Taiwan adalah entitas politik yang eksis secara independen dari Cina. Jadi Cina harus menghadapi kenyataan ini.
Taiwan tidak pernah berkomitmen pada kebijakan "Satu Cina", dan kami juga tidak menerima apa yang disebut "Konsensus 1992". Kami adalah negara demokrasi, jadi adalah bijaksana untuk mendengarkan suara-suara dari Taiwan, sebelum membahas bagaimana hubungan kami dengan Beijing bisa berkembang di masa depan. Hasil survei memperjelas bahwa penyatuan kembali dengan Cina bukanlah opsi pilihan rakyat Taiwan.
AS juga mengakui bahwa dewasa ini substansi kebijakan "Satu Cina" telah berubah secara dramatis [sejak 1979]. Sekalipun mengakui kebijakan "Satu Cina", AS tidak pernah mengambil posisi mengenai status Taiwan. Karena kami negara demokrasi, AS saat ini fokus untuk memberikan pertimbangan lebih pada kehendak rakyat Taiwan.
Bagaimana perkembangan hubungan antara Washington dan Taipei sejak 1979?
Kehendak rakyat Taiwan sudah jelas: Kami eksis secara mandiri dan kami bukan bagian dari negara lain. Sekarang, fakta-fakta ini juga sudah diterima di Washington. Kami meminta status quo diakui. AS pun menganggap ini sebagai hal yang wajar dan bertanggung jawab.
Pembelian senjata dari AS juga merupakan bagian penting dari pakta pertahanan dan keamanan kami dengan Washington. Kerja sama politik tentang keamanan antara AS dan Taiwan sangat baik - bahkan lebih baik daripada dengan banyak sekutu tradisional Washington.
AS berharap Cina dan Taiwan dapat menyelesaikan perbedaannya secara damai melalui dialog. Apakah pemerintah Anda bersedia mengadakan pembicaraan dengan Beijing?
Kami akan senang duduk dan berbicara dengan pemerintah Cina kapan saja, tetapi tanpa prasyarat. Kebetulan, Taiwan tidak dipanggil untuk memulai pembicaraan seperti itu. Washington mengenal baik posisi Taiwan. Jadi AS juga menuntut agar Cina melupakan dulu prasyarat politiknya untuk suatu perundingan, dan berpegang pada prinsip non kekerasan.
Apakah ini berarti Anda secara pasif menunggu tawaran pembicaraan dari Beijing? Atau Anda juga akan proaktif?
Agar pembicaraan seperti ini bisa dimulai, Beijing harus lebih dulu melepaskan prasyarat untuk berdialog, dan tidak menentukan target hasil akhir sebelumnya. Tanpa syarat-syarat ini dipenuhi, rakyat Taiwan tidak akan setuju untuk berdialog. Kami sudah melakukan segala sesuatu yang mungkin. Kami memanggil semua anggota komunitas internasional, yang ingin ada perdamaian di kedua sisi Selat Taiwan, untuk membujuk Cina agar mau mencabut persyaratannya yang tidak adil untuk memungkinkan dialog.
*Wawancara untuk DW dilakukan oleh Phoebe Kong. (hp/ts)