Menyusuri Jejak Kontribusi Tionghoa di Jakarta
Kontribusi etnis Tionghoa di Indonesia dapat ditelusuri melalui bangunan peninggalan bersejarah yang bertahan hingga kini. Beberapa sudah beralih fungsi dan kepemilikan, namun jadi bagian dari sejarah di tanah air.
Rumah Sakit Husada
Tahun 1924, Dokter Kwa Tjoan Sioe bersama sejumlah dokter dan pengusaha mendirikan klinik bersalin di Jakarta yang kemudian berkembang menjadi Rumah Sakit Jang Seng Ie. Tahun 1965 berganti nama menjadi RS Husada yang kini dikelola oleh yayasan.
Rumah Mayor
Rumah Mayor Khouw Kim An berada di Jalan Gajah Mada dan terapit apartemen serta sebuah hotel di halaman depan. Bangunan Rumah Mayor masih dipertahankan sebagai warisan budaya, dulunya milik seorang mayor Tionghoa sekaligus pengusaha dan pemegang saham Bataviaasche Bank. Meski mendapat penghargaan dari Belanda, Kim An meninggal di kamp Jepang tahun 1945, enam bulan sebelum Indonesia merdeka.
SMU 2 Jakarta
Bangunan yang kini digunakan sebagai Sekolah Menengah Umum tersebut sebelumnya adalah milik Mayor Khouw Kim An, seorang kaya di masa kolonial dulu. Ia memiliki ratusan hektar sawah, penggilingan padi dan membangun gedung yang menjadi sekolah dan satu bangunan yang sempat menjadi kantor Kedutaan Besar Cina yang terletak di Jalan Gajah Mada.
Rumah Souw (Rumah Besar)
Orang terkaya Tionghoa di masa kolonial adalah Souw Siauw Tjong. Rumah miliknya ini masih dipertahankan hingga saat ini meski tidak tampak ada kehidupan. Pagar dan pintu rumah selalu tertutup meski terletak di Jalan Perniagaan yang ramai.
SMU 19 Jakarta Utara
Dulu sekolah ini bernama “Tiong Hoa Hwee Koan” atau lebih terkenal dengan nama Pa Hua. Berdiri sejak tahun 1901 hingga ditutup pemerintah tahun 1960. Sekolah ini merupakan sekolah modern pertama di Hindia Belanda. Sejak 53 tahun yang lalu, sekolah ini diambil alih pemerintah dan menjadi Sekolah Negeri 19. Di gedung ini pula berdiri organisasi Tionghoa modern yang bernama sama.
Sekolah Wijaya Kusuma
Sekolah dwibahasa (Tionghoa dan Inggris) bernama “The Chinese High School” berada di Jl. Wacung. 1965, sekolah ini mengalami persekusi sehingga membutuhkan jasa pengamanan. Fajar Batubara diberikan kuasa untuk pengamanan oleh Pemda DKI Jakarta dan berlanjut hingga kini pengelolaan sekolah berada di tangan yayasannya. Banyak murid dan orangtua yang umumnya non-Tionghoa tak mengetahui hal itu.
Toko Obat Lay An Tong
Terletak di kawasan yang dulunya dikenal sebagai pusat rumah bordil kawasan Glodok, bekas toko obat Lay An Tong masih mempertahankan bentuk bangunan lama. Dari satu toko obat kini menjadi tiga toko kelontong yang berbeda-beda. Nama toko obat masih terlihat dibalik cat putih tembok toko.
Apotek Chunghwa
Tahun 1928, bangunan ini digunakan sebagai Apotek Chunghwa. Pada 1997 hingga 2015, bangunan ini berada dalam keadaan tidak terawat sehingga direvitalisasikan dan difungsikan kembali sebagai restoran dengan nama Pantjoran Tea House atau Rumah Teh Pancoran sejak tahun 2016.
Gereja Patekoan
Gedung Gereja Kristen Indonesia di Jalan Perniagaan ini adalah empat rumah milik Gouw Ko yang dihibahkan untuk gereja. Pemerintah Hindia Belanda memberikan izin resmi beribadah pada tahun 1899, meski jemaat sudah terbentuk sejak tahun 1868 yang berjumlah 17 orang.
Toko Merah
Toko Merah dimiliki oleh Oey Liauw Kong pada tahun 1813 hingga 1851. Bangunan toko dua lantai ini sebelumnya adalah rumah kediaman Gustaaf Willem Baron van Imhoff yang menjabat sebagai Gubernur VOC. Sejak tahun 1993, Toko Merah mendapat Sertifikat Sadar Pemugaran yang membuatnya menjadi salah satu ikon arkeologi Tionghoa di Jakarta.
Kelenteng Lie Thiek Kwai
Berdiri tahun 1768 sebagai tempat ibadah para pendatang dari Cina, kelenteng ini dibangun oleh seorang tukang besi. Kelenteng ini tidak besar tetapi memanjang ke belakang. Hingga saat ini masih berfungsi sebagai tempat ibadah khusus untuk memuja Dewa Lie Thiek Kwai Sian sebagai dewa utama.
Restoran Wong Fu Kie
Tidak pernah membuka cabang sejak berdiri tahun 1925, restoran khas Hakka ini terletak di gang kecil di Tambora. Tjokro Indrawirawan alias Thung Tjok Jin adalah generasi ketiga pemilik restoran. Meski terletak di gang kecil, tanpa fasilitas parkir mobil, ruangan tidak besar dan tidak tampak seperti restoran, Wong Fu Kie turut menjadi saksi perkembangan kuliner Tionghoa di Jakarta.