Merayakan Diskriminasi
1 Maret 2016Dalam upaya membangkitkan rasa anti, seorang teman di grup chat Whatsapp mengirim foto sepasang pria berciuman, diambil dari iklan biro jodoh khusus homoseksual. Reaksi yang muncul macam-macam, meski semua berpusar di wilayah negatif, dari “Uh, menjijikkan”, “Amit-amit, pengen muntah lihatnya” hingga reaksi yang berbau kekerasan “Kalau berani begitu di depan gue, gue tonjok beneran” atau yang paling ekstrem “Kalau gue punya senapan udah gue tembak mati!”
Menurut studi berkaitan dengan skala sensitivitas rasa jijik (Disgust Sensitivity Scale) yang dipublikasikan Jurnal Cognition & Emotion dan dikutip Cornell Chronicle, mereka yang gampang jijik ketika bersinggungan dengan obyek yang menjijikkan (seperti lendir, material yang lengket di kulit, mayat, cacing, atau serangga) cenderung konservatif. Mereka yang gampang jijik ini juga cenderung menentang hubungan sesama jenis dan aborsi. Kedua isu ini berkaitan erat dengan pengertian moralitas dan kemurnian.
David Pizarro sebagai kepala peneliti mencatat perbedaan antara kaum liberal dan konservatif. Konservatif ngotot bahwa rasa jijik mereka terhadap hubungan sejenis cukup untuk menilai sebuah tindakan itu salah atau tak bermoral, meskipun tanpa alasan kongkret. Sementara kaum liberal lebih melihat dari apakah suatu tindakan menyebabkan kerugian pihak lain.
Studi ini mungkin bisa menjelaskan mengapa masyarakat Indonesia menolak kehadiran kaum homoseksual. Secara umum masyarakat Indonesia adalah konservatif. Agama merupakan sumber kekuatan kaum konservatif, dan sikap anti LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgener) selaras dengan ajaran agama atau interpretasi umum ajaran agama. Khusus untuk isu ini, kaum Muslim dan non-Muslim yang sering bertikai pun kompak memusuhi LGBT.
Meskipun negara sekuler, kaum konservatif Indonesia secara tegas menolak pemisahan agama dan kehidupan bernegara, termasuk dalam menyikapi isu LGBT. Harian Nasional Republika memasang headline di halaman muka: LGBT Ancaman Serius. Entah apa ancamannya, karena populasi LGBT sangat kecil dan justru sering mengalami tekanan.
Penghakiman masyarakat
Penghakiman masyarakat terhadap kaum LGBT dilakukan dengan bebas meski tanpa pengetahuan memadai. Ketidaksetujuan masyarakat Indonesia terhadap LGBT bisa dipahami, namun menjadi berbahaya ketika penghakiman dilakukan dengan pemahaman keliru. Pengguna media sosial hampir seragam menjeritkan ketakutan yang tak berdasar, seperti kesimpangsiuran membedakan antara LGBT dan pedofilia. Histeria “Saya bertekad melindungi anak-anak saya dari pengaruh LGBT, jangan sampai mereka tertular”, misalnya, menunjukkan minimnya pemahaman masyarakat terhadap LGBT.
Ironisnya lagi, ketika golongan akademia mencoba menjawab kebutuhan informasi atas isu LGBT lewat Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC) Universitas Indonesia, mereka dianggap sebagai kelompok LGBT yang bertujuan menyebarkan pengaruh LGBT. Padahal lembaga semacam ini justru perlu dihidupkan untuk membantu menjawab persoalan seksualitas dengan semangat keilmuan yang netral, tak hanya menyangkut LGBT, tapi juga persoalan seksualitas lain yang beragam dan kompleks.
Berhentilah melihat mereka sebagai penyakit
Namun tampaknya masyarakat Indonesia lebih suka menghakimi tanpa pengetahuan cukup. Penghakiman terhadap LGBT berdasarkan rasa jijik ini pun tak hanya sekadar suara keras di media massa dan medsos. Kebencian meningkat menjadi kekerasan: sweeping dan ancaman. Front Pembela Islam (FPI), misalnya, merasa berhak melakukan sweeping atas anggota SGRC dengan tuduhan mereka perempuan lesbi (yang ternyata keliru), sehingga aktivitas mereka meresahkan warga. Polisi sebagai penegak hukum juga mengakomodasi sikap diskriminasi terhadap kaum LGBT. Baru-baru ini workshop yang diadakan kelompok LGBT di hotel Cemara, Jakarta, dihentikan atas laporan FPI.
Kelompok LGBT kenyang dengan penghakiman masyarakat. Eksistensi mereka selalu dikaitkan dengan urusan seks, seolah-olah hidup mereka berpusat pada aktivitas seksual. Seperti api disiram bensin, rasa muak akan hubungan sejenis semakin menjadi ketika melibatkan public display of affection, termasuk kampanye yang menyuarakan kepentingan kelompok LGBT. Diskriminasi terhadap kaum LGBT begitu gencar, pejabat negara pun ikut membodohi masyarakat. Bupati Lumajang, seperti dikutip Tempo, dengan enteng mengatakan lebih baik menikah tiga kali daripada jadi LGBT.
Sikap masyarakat Indonesia terhadap kaum LGBT menunjukkan bahwa sebagian masyarakat Indonesia merayakan diskriminasi dengan bangga. Kita masyarakat pemaaf ketika berhadapan dengan perilaku seksual dan beragam deretan dosa yang dilakukan kaum heteroseksual, namun menjadi pembenci dan berpotensi melakukan kekerasan ketika berhadapan dengan kepentingan kelompok LGBT. Bahkan untuk hal yang paling mendasar: menerima keberadaan LGBT sebagai bagian integral dari masyarakat Indonesia yang beragam dengan hak setara, dan berhenti melihat mereka sebagai penyakit, terlebih penyakit menular.
Penulis:
Uly Siregar bekerja sebagai wartawan media cetak dan televisi sebelum pindah ke Arizona, Amerika Serikat. Sampai sekarang ia masih aktif menulis, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai media massa Indonesia.
@sheknowshoney
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Silakan tulis komentar dan pendapat Anda atas artikel ini di forum diskusi.