Mereka Memilih ‘Tobat’ Gula sebelum Terserang Diabetes
6 Oktober 2022Makanan dan minuman kekinian makin bervariasi. Sayangnya, tren itu banyak didominasi tawaran 'bom' gula yang dibungkus dengan bentuk atau variasi nan cantik. Memang, yang manis-manis itu cenderung enak, apalagi es kopi susu atau boba dingin di terik siang hari.
Tapi hati-hati, kebanyakan minum dan makan manis bisa menyebabkan masalah kesehatan, termasuk diabetes melitus tipe 2. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan adanya peningkatan prevalensi diabetes sebesar 1,5 permil pada 2013 menjadi 2 permil pada 2018.
Diabetes atau kencing manis disebut-sebut sebagai 'ibunya' penyakit. Artinya, pasien diabetes berisiko tinggi terserang penyakit lain, termasuk gagal ginjal.
Rutin cuci darah hingga berhenti bekerja
Saat kena diabetes, bukan cuma si pasien yang menderita, tapi juga orang-orang terdekatnya. Salah satunya Gita Ramadian. Ia tidak ingin merasakan penderitaan yang sama dengan suaminya. Sebelum semuanya terlambat, dia mulai 'tobat' mengonsumsi gula tak terkontrol.
Penyakit diabetes yang diderita suami Gita memburuk saat pandemi. "Waktu itu makan dan minum manis masih sesuka hati. Tak kontrol, obat enggak diminum. Sejak pandemi, makin tidak terkontrol. Karena mau vaksin COVID-19 semua kondisi harus baik 'kan, jadi akhirnya ke dokter untuk cek semuanya dan hasilnya sangat buruk," kata Gita kepada DW Indonesia.
"Dia sampai obesitas 100 kg, sudah sempat diet tapi tidak turun juga. Langsung 'dihajar' minum obat, harusnya sehari sekali jadi 3 kali sehari biar bisa vaksin."
"Diabetesnya sudah merusak ginjal, jadinya gagal ginjal stadium 4 mengarah ke 5, jadi saat ini harus cuci darah," ujarnya. Gita menambahkan suaminya harus cuci darah dua minggu sekali.
Gita pun pontang-panting melakukan berbagai cara agar kondisi suaminya membaik, termasuk bolak-balik mengantar suaminya ke rumah sakit dan bekerja. Namun bolak-balik ke rumah sakit serta izin sakit membuat sang suami akhirnya memutuskan untuk berhenti dari tempatnya bekerja.
Tabungan, mas kawin habis buat berobat
Masa-masa drop Gita tidak sampai di situ. Dalam kondisi gagal ginjal, diabetes, dan obesitas pada Januari lalu, suaminya terserang demam berdarah dan harus dirawat di rumah sakit. Perawatan 2 minggu membuat berat badan suaminya melonjak 14 kg.
"Saya sempat stres, karena saya tahu jalannya akan berat banget ke depan, hidup saya akan berubah banget saat ini. Pola hidup akan berubah. Saya stres. Sedih banget dan kasihan melihatnya."
"Suami saya baru resign dan belum dapat asuransi. Saat itu habis-habisan. Dana darurat habis, duit tabungan untuk bayar kontrakan tahun depan dan DP rumah juga terpakai, bahkan tabungan saham, dan mas kawin juga akhirnya dijual buat berobat."
Belajar dari pengalaman dan kisah yang dihadapinya, Gita memutuskan untuk mengubah gaya hidup. Dia memilih untuk lebih ketat lagi mengontrol asupan gula, dibanding teh manis dia memilih teh tawar setiap kali makan di luar. Tidak cuma itu, dia juga kini selalu membawa air minum dalam botol.
Ini memang tidak mudah, Gita termasuk pecinta manis. Dulu setiap hari dia selalu minum minuman kemasan, dan setiap hari membuat kue. Namun kini dia mulai membatasinya habis-habisan.
"Sekarang bikin satu loyang banana bread bisa sampai 2 minggu habisnya, gula dalam resep juga dikurangin sampai setengahnya, kadang lebih dari setengah. Sesekali sih ya pasti masih beli kopi susu, minuman kemasan, tapi sudah jarang."
"Kedua orang tua saya diabetes"
Jika Gita masih sesekali jajan minuman manis dalam kemasan, berbeda dengan Heni Susilowati. Karyawati di Jakarta ini mengaku memangkas habis asupan gula tambahannya. Perubahan pola hidup ini diambilnya untuk menjaga kesehatan.
"Kedua orang tua saya diabetes, sudah sejak bertahun-tahun lalu. Kalau ayah saya diabetes kering. Satu jari kakinya sempat luka dan akhirnya diamputasi," katanya kepada DW Indonesia.
"Kalau dibilang karena genetik sih tidak juga, lebih ke gaya hidup. Keluarga saya suka banget makan dan minum manis-manis yang tidak terkontrol dan merokok."
Awalnya, Heni masih tak terlalu peduli dengan gaya hidup sehat. Dia beranggapan bahwa tubuh kurus tak akan berisiko diabetes. Tahun 2020 lalu, Heni menikah. Menyadari punya 'bakat' diabetes, Heni mulai berkonsultasi ke dokter dan berusaha memperbaiki gaya hidup. Dia juga menyadari bahwa ada kemungkinan akan menurunkan risiko diabetes kepada anaknya.
'Tobat' gula tambahan
"Dokter masih mengizinkan saya buat konsumsi gula 20 gram per hari, tapi saya pikir sudahlah mending cut off saja semua. Karena sebenarnya masih ada banyak gula tersembunyi yang kita tidak bisa kontrol."
"Saya sudah tidak pernah beli lagi yang manis-manis itu. Awal-awalnya berat, tapi karena sudah niat dan tahu buruknya jadi sudah tidak tertarik lagi."
Namun, ada momen-momen di mana dia kesulitan menolak makanan manis. Saat ada temannya yang berulang tahun dia juga hanya mencicip kue sedikit. Dulu, sebelum 'tobat' gula, Heni selalu menyantap 2-3 iris kue, namun kini hanya sedikit. "Yang penting habis itu dibakar dengan olahraga."
Meski memangkas habis asupan gula tambahan, Heni tak serta-merta membawa gula pengganti rendah kalori ke mana-mana.
"Dari konsultasi itu, insulin saya aman tapi ada di batas atas, selain itu ternyata juga ada PCOS (sindrom polikistik ovarium) dan bisa mengarah ke diabetes juga kalau tidak dikontrol. Tapi dokter sendiri bilang tidak perlu pakai pemanis pengganti gula, bukan jawaban."
Boleh minum manis, asal...
Kekhawatiran Gita dan Heni bukan tanpa alasan. Mengubah gaya hidup menjadi lebih sehat adalah keputusan yang baik. Ahli gizi Ika Setyani mengungkapkan bahwa risiko diabetes dipengaruhi oleh banyak hal, termasuk genetik, obesitas, dan gaya hidup.
"Artinya, tidak melulu karena keluarga tidak ada yang diabetes, lantas bisa makan seenaknya tak terkontrol dan tidak kena diabetes. Ya bisa saja kena diabetes kalau gitu caranya," ucapnya kepada DW Indonesia.
"Apalagi sekarang ini, setiap hari minum kopi susu aren dan makan camilan manis, tapi kurang gerak, kurang olahraga."
Data Riskesdas 2018 menyebut sebanyak 61,27% orang usia 3 tahun ke atas mengonsumsi minuman manis lebih dari 1 kali per hari, dan 30,22% orang mengonsumsi minuman manis sebanyak 1-6 kali per minggu. Hanya 8,51% orang mengonsumsi minuman manis kurang dari 3 kali per bulan.
Mengurangi gula memang sulit, pasalnya semua jenis makanan pasti mengandung gula dalam kadar berbeda. Ahli gizi dan tim humas Asosiasi Dietisien Indonesia di Jakarta ini mengungkapkan bahwa cara paling mudah mengontrol gula adalah dengan mengendalikan asupan gula tambahan, misalnya dari teh manis, minuman kemasan, kue-kue manis, sampai kopi susu.
Meski demikian, bukan berarti tidak boleh minum manis sama sekali. Menurut Ika, dalam jumlah ideal gula juga berguna buat tubuh. Gula akan diubah menjadi energi, namun yang berbahaya adalah saat jumlah gula dalam darah terlalu tinggi akan disimpan dan diubah menjadi lemak. Jumlah asupan gula maksimal yang dianjurkan Kemenkes RI adalah 4 sendok makan per hari, termasuk gula dari aneka makanan seperti nasi, kentang, buah, dan makanan pokok lain.
"Beli minuman dan makanan manis itu enggak masalah, boleh saja tiap hari, tapi harus dikontrol. Misalnya pilih yang less sugar atau zero sugar… Bayangkan kalau pakai gula normal, pakai susu full cream, whipped cream, dan topping, berlipat-lipat gulanya. Sudah melebihi jatah gula dalam sehari dalam sekali minum."
Perhatikan detail kemasan produk
Ika mengungkapkan cara paling baik adalah mulai mengurangi asupan gula secara bertahap, atau diet gula. Cara ini akan jauh lebih konsisten dan ampuh dibanding mengurangi gula secara drastis dalam waktu singkat.
"Misalnya mulai mengganti minum teh manis atau kopi manis setiap pagi dengan teh atau kopi tanpa gula. Lebih baik lagi diganti dengan air putih."
Selain itu, Ika mengungkapkan bahwa konsumen harus berhati-hati dengan label less sugar, zero sugar atau sugar free yang sering tercantum di kemasan. Less sugar atau rendah gula artinya kandungan gula di dalamnya maksimal setengah dari gula normal.
"Kalau ada klaim sugar free atau bebas gula juga jangan berpikir tidak ada gulanya sama sekali, karena bisa jadi dia pakai gula pengganti jenis lainnya. Lalu klaim gula 0% itu juga tidak berarti tidak bergula, ada gulanya tapi 0. Cuma 'kan kita tidak tahu, angka di belakang 0 itu, misalnya 0,05, atau 0,4 gram. Itu tetap masih ada gulanya, tapi sedikit.
Ini pula yang dilakukan Gita Ramadian untuk menjaga kesehatannya. "Saya belajar banget untuk membaca takaran saji. Dulu sih cuma baca kalori saja, sekarang lebih ketat lagi bacanya. Cek berapa kandungan gulanya dan karbohidratnya juga takaran sajinya. Kalau memang untuk dua orang, ya saya minum atau makannya dibagi dua," ucapnya.
(ae)