Meretas Sejarah Jerman Pasca PD II
8 Mei 2015Perang dunia berakhir. "Lebih sedikit eforia dan lebih banyak rasa lega yang menekan", ujar pakar sejarah Gerhard Brunn menerawang ke masa lalu. Kesan akhir perang dunia II berbeda pada masing-masing individu.
Serdadu yang jadi tawanan perang Tentara Merah, punya perasaan berbeda dengan warga sipil. Juga yang selamat dari kamp pembantaian Auschwitz menelan kepedihan yang berbeda dengan mereka yang merasakan bencana kehilangan tanah air di Prusia Timur.
Hari kapitulasi, yang disebut dengan istilah "jam nol" itu berulangkali diubah intepretasinya. Beban tanggung jawab perang, juga berbeda antara Jerman Barat dan Jerman Timur. Dalam rentang 70 tahun, muncul ingatan kolektif terkait kejahatan yang dilakukan Adolf Hitler dan rezim Nazi. Sukses Jerman dalam mengatasi dosa masa lalu, baru dapat terwujud beberapa dasawarsa kemudian.
Dua dasawarsa pasca perang
Dua dasawarsa seusai perang, tema kejahatan Nazi tidak banyak dibicarakan. Pidato presiden Heinrich Lübke dari 7 Mei 1965 di Kamar Dagang Hamburg menjadi simbol paling aktual. Tidak sepatah katapun mengenai genosida disinggung dalam pidato itu. Sebaliknya Lübke mengeluhkan, rasa kesetiaan dan cinta tanah air sering dikhianati. Dalam waktu bersamaan, di Frankfurt dibacakan pledoi penutup proses pengadilan kejahatan di Auschwitz.
Pada 20 tahun pertama setelah berakhirnya PD II, yang lebih banyak dibicarakan, dikeluhkan dan dikecam adalah pemisahan Jerman menjadi bagian barat dan timur. Jika menyinggung tema Nazi, yang lebih banyak dibicarakan adalah percobaan pembunuhan Hitler oleh Graf von Stauffenbergs 20 Juli 1944. Atau yang lebih aktual saat itu, aksi pembangkangan buruk Jerman Timur 17 Juni 1953.
Pola pikir asmetris
Juga antara Jerman Barat dan Jerman Timur ketika itu, ada pola pikir yang berbeda tentang akhir PD II tanggal 8 Mei 1945. Di Jerman Barat tanggal itu adalah simbol dari kapitulasi dan berakhirnya rezim Nazi Hitler. Di barat hingga beberapa dasawarsa dibicarakan tentang kekalahan perang atau pembebasan dari diktatur, tergantung dari visi intrepretasi warga.
Sementara di Jerman Timur, berakhirnya PD II dirayakan sebagai hari kemenangan, saat Tentara Merah Uni Soviet berhasil menaklukan Nazi Jerman di bawah pimpinan Hitler. Hingga 1989 tahun dimana Tembok Berlin runtuh, tanggal 8 Mei tetap dirayakan sebagai hari kemenangan, dan Jerman Timur bukan pecundang melainkan pemenang PD II bersama Uni Soviet.
Tekuk Lutut di Warsawa
Sikap berusaha melupakan genosida Nazi tetap marak di Jerman Barat. Tokoh politik partai Uni Kristen Sosialis-CSU Franz-Josef Strauß pada tahun 1968 mengatakan:"Rakyat yang sukses dengan kinerja ekonomi setinggi ini, punya hak untuk tidak mau lagi mendengar kasus Auschwitz". Pernyataan ini menegaskan fokus politik Jerman Barat saat itu: konjukturr ekonomi! Sekaligus upaya menekan dan kurangnya rasa bersalah atas dosa sejarah zaman Nazi.
Tapi di ujung laing spektrum politik penuntasan masa lalu, terlihat dari gestik kanselir Jerman Willy Brandt pada 7 Desember 1970 di Warsawa. Kanselir Jerman saat itu, Brandt menekuk lutut saat meletakan karangan bunga di monumen peringatan Ghetto, sebagai simbol permohonan maaf tanpa kata dari warga Jerman terhadap para korban tirani rezim Nazi.
"Ini sebuah titik balik sejarah, sebagai simbol serius pertama pengakuan dosa masa lalu Jerman", kata pakar sejarah Peter Hurrelmann. Tindakan kanselir Jerman Barat itu merupakan sinyal dari perubahan perspektiv terhadap era Nazi, dan secara pelahan mendesak tesis lama mengenai kekalahan perang.
Perspektiv bau yang mengakui dosa sejarah Jerman, ditegaskan dalam pidato presiden Rede Walter Scheels pada 1975. Genap 30 tahun setelah PD II berakir, kepala negara Jerman Barat itu secara terbuka mengakui tanggung jawab Jerman. Ia mengatakan peristiwa yang terjadi diantara tahun 1933 hingga 1945, adalah kegagalan seluruh generasi bersangkutan.