Militer Kembali Tewaskan Warga Sipil Suriah
28 Februari 2012Serangan tak kunjung henti oleh pasukan Suriah menyebabkan semakin banyak orang tewas di daerah-daerah yang dikuasai pemberontak, di provinsi Homs dan Idlib Senin kemarin (27/02). Di daerah pedesaan, orang-orang bersenjata menewaskan 68 orang.
Kota Qusayr, yang terletak sekitar 15 km dari kota Homs ditembaki dengan roket dan senapan mesin. Suara ledakan dan tembakan terdengar dalam jarak teratur di semua penjuru kota, yang berpenghuni 40.000 orang. Seluruh provinsi Homs sudah menjadi sasaran bom dan mortir dari pasukan pemerintah sejak 4 Februari lalu.
Bantuan Tidak Bisa Diberikan
Seorang desertir yang tergabung dalam Free Syrian Army atau FSA mengatakan, mereka punya geranat roket, tetapi terutama Kalashnikov. Menurut FSA, 35 tank ditempatkan di sekitar Qusayr dan 200 lainnya di sekitar kota Homs. Seorang reporter kantor berita AFP melaporkan melihat sebuah pesawat terbang tak berawak beredar di atas kota. Malam kemarin (Senin, 27/02) tembakan senapan juga terdengar.
Seorang dokter yang merawat pasien di lokasi rahasia mengatakan ia tidak kedatangan pasien Senin kemarin, dan menyebutnya mujizat. Ia menceritakan, kondisi sanitasi sangat buruk. Militer Suriah menempatkan tentara di rumah sakit milik pemerintah dalam lima bulan terakhir. "Yang tampak hanya tank dan tentara," tuturnya sambil menambahkan, pasokan oksigen dan obat bius tidak ada. Menurut tentara yang membelot, kontak dengan warga kota Homs sulit diadakan. Sebuah terowongan yang digunakan pemberontak untuk memasuki kota telah dihancurkan tentara yang setia kepada Assad.
Dukungan bagi Pembangkang
PM Qatar Sheikh Hamad bin Jassim al Thani menyatakan dukungannya bagi oposisi Suriah, dalam kunjungannya di Norwegia, Senin (27/02). Ia mengatakan, semua langkah harus diambil untuk membantu para pemberontak. Termasuk juga memberikan senjata untuk mempertahankan diri sendiri.
Tetapi Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton memperingatkan hari Minggu lalu, bahwa memberikan senjata kepada pemberontak Suriah bisa berdampak buruk, yakni menjadi dukungan tidak langsung bagi Al Qaeda dan kelompok Syiah militan. Menurut organisasi Syrian Observatory for Human Rights, sejauh ini, lebih dari 7.600 orang tewas akibat kekerasan yang terjadi di seluruh Suriah sejak protes dimulai Maret 2011.
Referendum Hanya Lelucon
Sementara itu rezim di bawah Presiden Bashar al Assad menyambut baik persetujuan bagi konstitusi baru, yang diberikan oleh 90% warga yang memberikan suara. Itu disebut rezim sebagai reformasi demokratis yang sukses. "Jumlah keikutsertaan dalam referendum sangat tinggi, meskipun ada kelompok yang berusaha menteror warga," demikian laporan kantor berita pemerintah SANA, yang mengutip pernyataan Menteri Dalam Negeri Mohammed al Shaar.
Ia menambahkan, proses demokratis ini diadakan dalam suasanya yang damai, transparan dan adil. Oposisi memboykot referendum yang diadakan hari Minggu lalu (26/02). Assad dituduh akan menggunakan hasil referendum untuk mengintensifkan serangan militer terhadap pembangkang. Pemerintah negara-negara Barat juga menilainya hanya lelucon belaka.
Tekanan dari Uni Eropa
Uni Eropa melancarkan tekanan terhadap pemerintah Suriah. Di satu pihak Uni Eropa mempertajam sanksi. Kini lebih banyak lagi pejabat tinggi di kalangan Assad yang tidak mendapat ijin masuk Eropa, dan rekeningnya dibekukan. Seluruh kekayaan Bank Sentral Suriah di Eropa juga dibekukan. Pembelian emas, mineral berharga dan berlian dari negara itu juga dilarang. Lalu lintas pesawat terbang antara Eropa dan Suriah dihentikan.
Menteri Luar Negeri Austria, Michael Spindelegger menilai positif keputusan Uni Eropa. "Jika kita membekukan kekayaan bank sentral Suriah, pasti ada gunanya. Karena rezim pasti merasakan dampaknya. Mereka kini harus mencari jalan lain, dan itu tidak mudah.“
Tetapi jika di Suriah ada perubahan politik, Uni Eropa bersedia memberikan dukungan secara finansial dan keuntungan lainnya lewat hubungan perdagangan dan ekonomi. Syaratnya, Presiden Bashar al Assad harus mengundurkan diri. Perubahan politik harus bebas sepenuhnya dari Assad.
afp/dpa/Christoph Hasselbach/Marjory Linardy
Editor: Edith Koesoemawiria