"Mengapa saya tidak pernah mengunjungi negara ini sebelum perang?" tulis seorang jurnalis Jerman baru-baru di Twitter tentang Ukraina. Sebuah ungkapan penyesalan karena dia dulu tidak pernah mengunjungi Ukraina di masa damai dan melihat jalan-jalan megah kota Lviv dan Odesa.
Banyak orang di Barat sekarang merasakan hal yang sama. Barulah setelah invasi Rusia ke Ukraina bulan Februari lalu, para jurnalis, politisi, dan pekerja bantuan datang ke negara itu untuk pertama kalinya. Sejak runtuhnya Uni Soviet, Ukraina tidak pernah mendapatkan perhatian seperti yang diterimanya saat ini.
Wartawan tersebut di atas berhak merasa kesal dengan dirinya sendiri. Dia tidak akan pernah tahu suasana Ukraina sebelum perang. Ukraina pasca-Soviet sudah lama menghilang, sekarat dalam serangan Rusia, menghancurkan orang-orang, rumah, pabrik — dan impian.
Ukraina dan Rusia tidak akan pernah lagi bisa membangun hubungan persaudaraan yang positif yang ada sebelum perang. Aneksasi Krimea oleh Rusia pada tahun 2014 telah mendorong perpecahan antara kedua negara. Sekarang mereka lebih terasing lagi satu sama lain. Generasi masa depan di kedua negara akan dikuasai oleh kebencian dan kemarahan timbal balik.
Ancaman terbesar bagi Ukraina dalam satu abad
24 Agustus adalah hari kemerdekaan Ukraina. Tahun ini, perayaannya menjadi sedih dan muram, tetapi juga merupakan tantangan besar. Sejak enam bulan Rusia melancarkan perangnya terhadap Ukraina dalam kampanye biadab untuk menghancurkan kemerdekaannya. Ukraina berdarah-darah dan menderita, tetapi belum jatuh — ia masih terus berjuang!
Perang ini adalah ancaman paling mendasar yang dihadapi Ukraina dan rakyatnya dalam 100 tahun. Terakhir kali menghadapi bahaya besar seperti itu adalah ketika kaum Bolshevik dengan paksa mengakhiri masa singkat kemerdekaan Ukraina dan kemudian memulai kampanye Rusifikasi. Akankah sejarah berulang?
Tidak ada keraguan bahwa inilah yang ingin dicapai oleh Presiden Rusia Vladimir Putin. Tujuannya yang dia sebut sebagau "de-Nazifikasi" pada kenyataannya merupakan upaya "de-Ukrainaifikasi." Laporan dari wilayah yang dikuasai Rusia di Ukraina menceritakan bagaimana pasukan pendudukan bekerja untuk menekan dan menghancurkan budaya Ukraina, terutama bahasanya. Rencana gila Putin adalah memusnahkan Ukraina dalam perang berkepanjangan. Namun dia akan gagal.
Generasi Ukraina memimpin perlawanan
Presiden Rusia merencanakan serangannya ke Ukraina cukup lama. Baginya, Ukraina tampak seperti mangsa yang mudah: secara ekonomi dan militer Ukraina jauh lebih lemah daripada Rusia, kalangan politik dan masyarakatnya sering terpolarisasi, dan dukungan dari Barat hanya setengah hati. Itu adalah fakta, namun Putin melakukan kesalahan yang sangat besar dalam penilaiannya.
Enam bulan setelah mengirim pasukannya menerobos ke Ukraina, Putin sekarang berurusan dengan Ukraina yang penuh semangat baru. Perubahan sudah dimulai sebelum perang, tetapi serangan gencar Rusia justru mempercepat transformasi ini. Ukraina yang baru dengan cepat meninggalkan banyak hal yang lama menghubungkannya dengan Rusia: bahasa bersama, nama jalan bersama, monumen, dan sebagainya. Ukraina yang baru dengan cepat belajar untuk mempertahankan diri.
Negara ini secara militer sekarang lebih kuat dari sebelumnya, dan masih tumbuh makin kuat — sebagian, tentu saja, karena bantuan Barat, tetapi juga karena tekadnya sendiri. Ukraina saat ini lebih tangguh daripada 100 tahun yang lalu berkat "generasi merdeka".
Pada usia 44, Presiden Volodymyr Zelenskyy, yang lahir di bekas Uni Soviet, berada di pucuk pimpinan, dan sudah termasuk "orang tua”. Para pemuda Ukraina berusia 20 hingga 30 tahun yang membentuk jantung perlawanan di negara itu. Mereka berjuang di garis depan dan mengorbankan hidup mereka, membantu angkatan bersenjata dalam kapasitas sipil, atau merawat orang-orang yang terlantar. Generasi ini benar-benar merasakan apa artinya menjadi warga Ukraina, mereka belajar dari apa yang benar-benar mereka alami. Dan untuk Ukraina, mereka akan rela terus berjuang. Dan mereka akan berhasil. (hp/yf)