Monitoring Penyu di Kawasan Konservasi Abun
13 Juni 2009Penyu belimbing dan lekang kerap ditemukan di pantai Jamursba Medi dan pantai Warmon, yang berada di kawasan Konservasi Abun, Papua. Pantai-pantai ini menjadi tempat peneluran terbesar di Pasifik Barat.
Kedua jenis penyu ini termasuk jenis satwa yang terancam punah. Karena itu, organisasi lingkungan WWF memantau siklus peneluran penyu langka ini.
Untuk mencapai pantai tempat peneluran penyu di kawasan Konservasi Abun, kami menumpang speedboat. Pukul 7 pagi tim WWF berangkat dari pelabuhan perikanan Sorong. Cuaca pagi itu cukup cerah. Kami sengaja berangkat pagi karena berpacu dengan besarnya ombak di laut utara Papua.
Perjalanan menuju lokasi tempat peneluran penyu lekang dan penyu Belimbing bukanlah perkara mudah. Tidak ada alternatif jalan darat. Kami harus menyusuri bentang laut Kepala Burung Papua dengan kapal cepat.
Setelah menempuh perjalanan 10 jam speedboat yang kami tumpangi akhirnya merapat di Kampung Wau, lokasi terdekat dengan pantai Warmon dan Jamursba Medi.
Kami tidak langsung menemukan penyu yang kami cari. Untuk memantau keberadaan penyu kami harus bersabar menunggu malam tiba. Saat jam menunjukkan sekitar pukul 10 malam, pencarian pun dimulai. Ditemani lampu senter dan cahaya bintang kami mulai menyusuri bibir pantai Jamursba Medi sepanjang lima kilometer.
Untuk memudahkan pencarian, tim konservasi penyu menyebar patroli di beberapa titik lokasi peneluran penyu. Dengan menelusuri jejak penyu ketika naik ke darat maupun kembali ke laut, tempat penyu bertelur dapat ditemukan.
Dua jam kemudian, kami berhasil mengidentifikasi jejak penyu lekang seberat 70 kilogram dan penyu belimbing seberat hampir setengah ton yang akan bertelur. Kami pun mulai mengamati proses peneluran hingga selesai. Mulai dari menentukan lokasi sarang hingga kembali ke laut. Penyu berjalan dengan sirip depan sejauh 10 meter dari bibir pantai, kemudian dengan sirip belakang penyu mulai menggali lubang sarang sedalam 60 hingga 80 sentimeter.
Butuh waktu sekitar 40 menit untuk bertelur dan menutup sarang dengan pasir. Sebelum kembali ke laut, penyu membuat sarang kamuflase atau sarang tipuan untuk mengelabuhi para predator seperti manusia, biawak, dan babi hutan. Biasanya sarang penyamaran hanya berupa bekas gerakan memutar sirip depannya yang berjarak sekitar 2 meter dari sarang asli.
Selain mengamati proses peneluran, kami juga menandai penyu dan mengambil contoh kulit untuk dijadikan sample genetika. Pencarian malam itu selesai dengan membawa penyu lekang betina ke pos untuk dipasang alat pemancar satelit esok hari.
Alat yang biasa disebut transmitter dipasang di punggung penyu lekang untuk memantau gerakan penyu. Anggota tim Konservasi penyu Universitas Udayana, I Made Jaya Ratha mengatakan, pemasangan transmitter dilakukan untuk mengetahui jalur migrasi penyu di pantai Jamursba Medi dan Warmon.
“Ada spot-spot di mana penyu itu naik ke permukaan, mengirimkan sinyal dan lokasi itu kemudian saling dihubungkan. Jadilah satu track migrasi penyu. Saya rasa cukup penting memberikan gambaran mengenai pemanfaatan habitat untuk penyu. Selama ini melakukan konservasi, orang masih konsen di habitat peneluran. Sedangkan penyu, selain tinggal di habitat peneluran, pada masa reproduksi juga memiliki habitat pakan yang jaraknya ribuan kilometer dari pantai peneluran. Dan tidak banyak orang tahu misalnya penyu dari Papua ini, dia cari makannya dimana, trus dia lewat jalur mana, apakah itu juga merupakan jalur penangkapan ikan. Jadi itu salah satu cara identifikasi bahaya yang ditemui penyu di perairan yang tidak bisa kita pantau dengan kasat mata.”
Menurut Jaya Ratha, dari hasil pantauan hingga kini diketahui, penyu lekang migrasi di sekitar laut Arafura. Sedangkan penyu Belimbing di pantai Jamursba Medi dan Warmon pergi bermigrasi ke segala arah, menyusuri Papua hingga ke Kepulauan Solomon, ke selatan hingga ke Kepulauan Kei di Maluku Tenggara, ke utara melampaui Filipina hingga ke Jepang, dan menyeberang Samudera Pasifik hingga pantai barat California.
Sejak 2003, 22 ekor penyu belimbing dan 13 penyu lekang telah dipasangi alat pemancar satelit yang mengirimkan sinyal setiap penyu muncul ke permukaan.
Selama musim peneluran pada bulan April hingga September, monitoring penyu dilakukan pagi dan malam oleh para patroller. Mereka adalah masyarakat lokal yang bekerja sebagai tenaga patroli. Salah satunya David warga Saubeba, satu dari 40 patroller yang ada.
“Kita patroli untuk mengambil jejaknya, kita harus mengambil data setiap malam maupun pagi. Jadi ambil datanya itu, kita hitung jejaknya penyu yang naik dan bertelur maupun jejaknya. Selain itu juga menghitung sarang penyu yang dirusak predator. Harus kita jumlah semua. Selain itu, mendata berapa yang berhasil bertelur, atau cuma jejaknya saja. Sepanjang musim peneluran, enam bulan selama musim kita harus mendata itu. Dengan cara berjalan menyusuri pantai.”
Setiap sarang telur penyu akan ditandai untuk mengetahui berapa jumlah penyu yang datang dan bertelur hingga aman dari para predator atau pemangsa. Jika perlu dilakukan relokasi atau pemindahan telur. Ini harus dilakukan dengan sangat berhati- hari, ungkap William Iwanggin, salah satu tim konservasi penyu dari Universitas Negeri Papua
“Ini direlokasi karena kedalamannya rentan terhadap predator. Tidak terlalu dalam galian lubang sarang ini. tidak ukuran standarnya. Kami lihat jumlah telur yang dikeluarkan sedikit jadi kami perkirakan penyu lekang ini baru pertama kali bertelur.
Sebenarnya, kenapa konservasi dan monitoring penyu di Papua sangat penting dilakukan? Barnabas Wurlianty, kepala proyek untuk perlindungan penyu organisasi lingkungan WWF mengatakan:
“Kawasan ini adalah kawasan penting dengan populasi penyu yang datang untuk bertelur itu merupakan populasi yang tertinggi di kawasan Jamursba Medi dan Warmon. Ketika WWF masuk ke sini tahun 1993 kita berikan pemahaman kepada masyarakat bahwa kawasan ini merupakan kawasan penting bagi penyu khususnya penyu belimbing. Awalnya masyarakat tidak mengerti karena mereka mengkonsumsi telur penyu. WWF memberikan penjelasan bagaimana dampak ketika kita mengkonsumsi telur penyu, merusak habitat pantai penelurannya, terhadap kehidupan penyu itu sendiri. Pada saat itu masyarakat mulai memahami dan mengerti benar bahwa tanpa menghentikan konsumsi telur penyu akan mengakibatkan kepunahan penyu.”
Ditambahkan, bahwa selama 20 tahun terakhir, jumlah ke 2 spesies penyu ini menurun drastis, khususnya di kawasan pasifik. WWF memperkirakan di kawasan ini hanya sekitar tiga ribuan penyu belimbing betina dewasa yang bertelur dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Padahal di tahun 1984 masih ditemukan 13.000 sarang penyu.
Banyak faktor yang mengancam keberlanjutan populasi penyu belimbing dan lekang di pantai utara Papua. Penyebabnya kata Barnabas, antara lain faktor lingkungan seperti rusaknya habitat penyu akibat abrasi pantai dan pemburuan oleh pemangsa alami. Faktor lainnya adalah penangkapan liar yang sering terjadi di kawasan laut lepas dan pemanfaatan telur penyu oleh masyarakat setempat. Masyarakat Kampung Wau, Chistopher dan August Yesnat bercerita:
“Masyarakat ambil untuk makan dan beli kebutuhan, tapi tidak banyak paling hanya 1 atau 2 sarang saja. Masyarakat ambil hanya secukupnya saja.”
“Untuk kebutuhan, orang sini makan terus, bisa buat campuran makanan. Telurnya dimakan enak. Kalau dijual orang bisa beli banyak bisa 500 ribu dulu kan kita banyak jual ke Sorong, Manokwari. Dijual tidak mahal satu atau dua butir hanya seribu. Semua orang juga suka makan telur karena di daerah lain tidak ada.”
Hal ini juga diakui Kepala Kampung Saubeba, Damianus Yesawen
“Telur penyu sebagai konsumsi masyarakat di sini. Itu satu bagian kesejahteraan kehidupan masyarakat di sini dari awal. Tukar dengan kain sarung, barang, piring, tukar dengan celana, dulu uang kurang. Mereka belum paham jadi masih dikonsumsi.”
Padahal, kawasan pantai di sepanjang kepala burung Papua merupakan salah satu tempat peneluran terakhir penyu lekang dan belimbing. Di kawasan lainnya seperti Malaysia dan Meksiko tercatat makin sedikit penyu betina yang kembali ke kawasan pantai untuk bertelur. Terlebih lagi proses keberhasilan penetasan sangat rendah. Dari sekitar seribu telur penyu, hanya satu yang selamat hingga dewasa. Akibatnya populasi penyu lekang dan belimbing termasuk penyu laut yang paling terancam di dunia.
Karenanya usaha konservasi penyu pun mulai aktif dilakukan masyarakat dan LSM Lingkungan WWF sejak tahun 1993. Awalnya dilakukan survei udara di pantai Jamursba Medi. Hasil survei menunjukkan pentingnya pantai ini sebagai habitat penyu belimbing dan lekang. Di sepanjang 20 kilometer garis pantai ditemukan lebih dari 250 ekor penyu betina yang datang untuk bertelur setiap malam pada puncak musim peneluran.
Kawasan sekitar pantai Jamursba Medi dan Warmon ditetapkan sebagai kawasan konservasi laut daerah (KKLD). Kasi Konservasi dan Pesisir pada Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sorong, Linder Rouw mengatakan, upaya ini dilakukan agar habitat peneluran penyu tetap terjaga.
“Kita punya aset yang begitu besar yaitu penyu. Penyu ini menjadi payung utama sehingga terbentuk KKLD . Kita ketahui bersama mungkin penyu belimbing lain dari pada penyu lainnya. Memang penyu ini agak langka di dunia, sehingga dengan kelangkaan itu pemerintah berpikir untuk perlu dilestarikan. Dengan demikian pada tahun 2006 dikeluarkan SK Bupati no. 42 tentang wilayah yang akan dilindungi yaitu wilayah pantai Jamursba Medi dan pantai Warmon. Di dalam SK itu dicantumkan luas pantai yang mencapai 1.600 hektar. Dari garis pantai ke darat itu ada lebih dari 5 kilometer. Wilayah hidup ini perlu kita amankan bersama, dari sisi regulasi, ketika memberikan izin bagi penangkapan ikan, kita memberikan izin dengan prinsip kehati-hatian.”
Upaya perlindungan tempat peneluran dan habitat penyu langka di sepanjang pantai kepala burung Papua tampak berhasil. Kesadaran masyarakat untuk menjaga populasi penyu di kawasan konservasi sudah meningkat. Kembali Damianus Yesawen, Kepala Kampung Saubeba.
“Kalau masyarakat ingin penyu punah pasti makan terus sampai saat ini. Tapi mereka mau penyu berkembang jadi sudah tidak konsumsi lagi. Penyu di Jamursba Medi cukup banyak, tapi satu tahun bisa kehilangan ribuan tukik. Yang selamat hanya 10 atau 15 tukik. Jadi 1 tahun ini dalam jumlah yang besar ribuan 20 hingga 30 ribuan tukik tapi yang selamat hanya 10. jadi dengan jalan gimana penyu bisa diselamatkan semua.”
Misalnya dengan mempromosikan kawasan Konservasi Abun di Papua sebagai salah satu kawasan peneluran terbesar penyu belimbing dan lekang di pasifik. Pantai ini menjadi harapan besar untuk mempertahankan dua jenis penyu ini dari kepunahan sehingga masyarakat internasional tentu berkepentingan untuk turut melestarikannya.
Noni Arni
Editor: Ziphora Eka Robina