Museum Pustaka Peranakan Tionghoa Buka Kunci Sejarah Indonesia
Terletak di kawasan perumahan di Tangerang, ruko berlantai dua ini diubah menjadi penyimpanan berbagai buku, majalah, koran, komik dan literatur tentang Tionghoa yang diberi nama “Museum Pustaka Peranakan Tionghoa”.
Mengenal Museum Peranakan Tionghoa
Proses pengumpulan pustaka dilakukan sejak 2005. Kehadiran museum ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang peran orang Tionghoa di Indonesia dan memupus kesan negatif yang masih melekat pada segelintir orang Indonesia.
Kontribusi Nyata Non Tionghoa
Azmi Abubakar bukan keturunan Tionghoa dan tidak berkaitan dengan Tiongkok. Namun ia berkontribusi bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia dengan mendirikan Museum Pustaka Peranakan Tionghoa. Koleksinya dilirik hingga ke luar negeri dan membawa Azmi jadi pembicara tentang peranakan Tionghoa. Setelah museum, Azmi Abubakar berupaya membangun Universitas Cheng Ho di Aceh, tanah kelahirannya.
Koleksi Pustaka, Koleksi Pengetahuan Sejarah
Bambang Sriyono, kawan seperjuangan Azmi Abubakar dalam membangun Museum ini memperkirakan hingga awal 2018 sudah ribuan buku ada di sini. Buku-buku itu berasal dari toko buku bekas di beberapa kota, diberikan orang hingga perburuan ke orang yang pindah rumah. Menurut Bambang Sriyono atau akrab disapa Ibeng, koleksi museum bisa dipamerkan di luar museum sebagai sarana edukasi kepada masyarakat.
Bahasa Mandarin Dalam Aksara Jawa
Pengelola museum, Bambang Sriyono berkata, “Karena tak tahu bahasa Mandarin, banyak buku yang belum ketahuan isinya.” Ia berharap ada yang berminat menerjemahkan buku-buku ini ke bahasa Indonesia agar menambah khazanah pengetahuan. Buku tertua ini misalnya, ditulis dalam aksara Jawa kuno tetapi berbahasa Mandarin sehingga butuh penerjemah bahasa Jawa yang bisa bahasa Mandarin.
Pendidikan Untuk Murid Tionghoa
Dari buku-buku tahunan ini diketahui ada sekolah khusus Tionghoa di Jakarta, Semarang dan Cirebon. “Tiong Hoa Hwee Koan” adalah sekolah di Jalan Patekoan 31 Jakarta yang berdiri sejak 1901 hingga ditutup pemerintah 1960. Di Jl Kampung Baru Utara 80, Jakarta ada sekolah dwibahasa bernama “The Chinese High School”. Kini di Tangerang ada upaya membangun kembali sekolah serupa yaitu Sekolah Pa Hoa.
Pemakaman Bersejarah di Cirebon
Dari biografi “Majoor Tan Tjin Kie” yang disusun Tan Gin Ho, anak almarhum membawa pembaca pada peristiwa kematian Tan Tjin Kie, pemilik pabrik gula “Suikerfabriek Luwunggadjah”, orang terkaya di Cirebon, Jawa Barat. Saat meninggal 1919, peti matinya ditarik 240 orang dan dihadiri masyarakat Cirebon yang kehilangan sosoknya yang membangun masjid dan Rumah Sakit “Dr. Gottlieb” (RSUD Gunung Jati).
Pendiri Rumah Sakit Husada di Jakarta
Dokter Kwa Tjoan Sioe pada 1924 sudah mengajak rekan-rekan dokter dan pengusaha Tionghoa dirikan perkumpulan Jang Seng Ie guna membangun klinik bersalin di Jakarta. Saat itu angka kematian bayi mencapai 45% dari jumlah kelahiran. Saking banyaknya pasien, kadang para pasien harus diinapkan di rumah dokter. Pada tahun 1965, Rumah Sakit Jang Seng Ie diganti nama jadi RS Husada oleh pemerintah.
Lie Kim Hok, Tokoh Sastra Tionghoa-Melayu
Catatan kesusasteraan Melayu-Tionghoa banyak menyebut nama Lie Kim^Hok sebagai penulis Melayu-Tionghoa pertama yang sangat mempengaruhi perbendaharaan kata bahasa Indonesia. Ia merintis penggunaan bahasa Melayu yang kemudian jadi bahasa Indonesia di Jawa, Padang, Medan, Palembang, Banjarmasin dan Makassar. Buku pada foto ini ditulis oleh Tio Ie Soei untuk mengenang ulang tahun Lie KimHok ke-105.
Cita Rasa Tionghoa Dalam Keberagaman
Cita rasa Tionghoa sangat mempengaruhi masakan di Indonesia. Dari buku resep masakan yang dikompilasi oleh Lie Tek Long terbitan Batavia tahun 1915, pembaca bisa mengetahui aneka bumbu dan bahan dalam makanan Betawi, Jawa dan Melayu seabad silam. Untuk sambal saja, buku ini memuat 40 resep sambal. Selain sambal, ada pula resep laksa, perkedel nyonya, sate Njo Kim Poei, sop telor burung, dll.
Daur Ulang Komik Tionghoa Kekinian
Banjir sejak dahulu rupanya sudah menjadi momok bagi warga Jakarta. Hal ini bisa dilihat dalam komik yang menggambarkan kritik sosial dan keseharian seorang Tionghoa yang digambarkan selalu sial dalam komik yang berjudul Put On atau “Si Gelisah”. Put On menjadi judul komik karya Kho Wan Gie yang diterbitkan setiap edisi majalah Sin Po mulai tahun 1931.
Koleksi Foto Museum Pustaka Peranakan Tionghoa
Saat rumah Jon Lie mau dijual, pendiri museum, Azmi Abubakar datangi rumah itu dan mendapat koleksi surat dan album foto pahlawan nasional Tionghoa pertama Indonesia itu. John Lie atau Lie Tjeng Tjoan dikenal sebagai mayor, komandan maritim Jakarta. Kisah tentangnya sangat minim karena profesinya sebagai penyelundup senjata untuk kebutuhan Angkatan Laut Indonesia melawan Belanda.
Nama Indonesia dari Majalah Sin Po Tahun 1926
Membuka lembar-lembar halaman koleksi museum ini sesungguhnya menyelami rekam jejak sejarah Indonesia. Nama Indonesia dahulu digunakan oleh penulis-penulis Belanda dan Jerman pada rentang 1850-1880. Namun koran Sin Po yang terbit sejak 1910 dianggap mempopulerkan Indonesia. Pada terbitan mingguan Sin Po tahun 1926, Indonesia dipilih menjadi nama kolom yang memuat tulisan tentang beragam hal.
Menjadi WNI
Meski peranakan Tionghoa di Indonesia berkontribusi pada bangsa ini, namun kebijakan politik Orde Lama hingga Orde Baru sisakan luka. Museum ini memiliki segepok dokumen kependudukan yang menorehkan catatan kelam dalam sejarah Indonesia. Surat pernyataan melepas kewarganegaraan Republik Rakyat Tiongkok untuk menjadi Warga Negara Indonesia di foto ini dikeluarkan di Surabaya pada tahun 1961.
Ketika Ada "Staf Chusus Urusan Tjina"
Mengacu pada dokumen Laporan Tahunan Kabinet Pembangunan tahun 1968, berdasarkan Undang-undang No 4/1961 WNI yang masih memakai nama Cina wajib mengubah namanya sesuai nama Indonesia asli. Repotnya nama yang dipilih itupun masih bisa digugat oleh pihak yang keberatan pada pilihan nama baru tersebut. Dalam dokumen ini disebutkan masa tunggu ada-tidaknya gugatan selama tiga bulan.
Di Balik Papan Nama Bolak-Balik
Berbagai papan nama Tionghoa - saksi bisu asimilasi identitas - jadi bagian penting koleksi museum. Papan nama yang dulu umumnya dipasang di depan rumah ini bisa dibolak-balik tergantung situasi. Jika ada keluarga yang akan berkunjung, papan bertuliskan Tan Lian Tjhoen yang ditampilkan. Setelah keluarga pergi, demi kenyamanan bertetangga, papan nama kembali menjadi nama Indonesia, Djoenaedy.
Merawat Sejarah, Merajut Keberagaman
Dudi Duta Akbar, rekan Azmi Abubakar mengumpulkan bahan tulisan tentang koleksi museum. Kelak, seluruh pustaka yang ada diharapkan bisa jadi sumber sejarah Tionghoa dan rujukan jejak nenek moyang keluarga keturunan Tionghoa. Koleksi museum sudah berhasil menghadirkan bukti keberagaman di Indonesia yang harus selalu dirajut tanpa lelah. Penulis: MoniqueRijkers (ap/vlz)