Muslim "Terintegrasi" Dengan Lebih Baik di Jerman
24 Agustus 2017Umat Muslim di Jerman terintegrasi dengan sangat baik dalam masyarakat – khususnya bila dibandingkan dengan negara lainnya di Eropa – demikian hasil riset berskala internasional yang dirilis Selasa (22/8) oleh Bertelsmann Stiftung.
Sebagian besar warga Muslim merasa memiliki ikatan yang erat dengan negara Jerman, namun bukan berarti mereka tidak mengalami Islamofobia, sebab satu dari lima warga Jerman mengaku tidak nyaman bertetangga dengan warga beragama Islam.
Studi yang dilakukan di lima negara Eropa tersebut mengungkapkan 60% dari 4,7 juta warga Muslim di Jerman yang masuk ke bursa kerja mendapat kesempatan kerja yang hampir sama dengan warga Jerman. Jumlah pengangguran di antara warga Muslim juga setara dengan rata-rata persentase nasional.
Studi yang digagas Yayasan Bertelsmann Jerman ini mengukur tingkat kemampuan bahasa, pendidikan, serta ikatan sosial dan kerja di antara warga yang beridentitas Muslim di Jerman, Swiss, Perancis dan Inggris. Riset ini tidak mengikutsertakan umat Islam yang tiba setelah tahun 2010.
“Studi ini memperlihatkan bahwa meski sebagian besar warga Muslim merasa terintegrasi, namun mereka masih merasa kurang diterima ,“ ujar Ayse Demir, juru bicara organisasi komunitas Muslim di Berlin, TBB.
Demir menyalahkan media sebagai penyebab yang memperkeruh situasi ini. “Di Jerman dan di Eropa sedang berkembang haluan kanan. Banyak hal yang diinstrumentalisasi gerakan ini: Muslim digambarkan sebagai “musuh“ – kemudian warga pun secara verbal menyerang Muslim.“
Pendidikan Mendukung Integrasi
73% anak-anak yang lahir dari orang tua Muslim tumbuh besar dengan menggunakan bahasa Jerman sebagai bahasa utama. Meski angka lulusan sekolah menengah atas sudah membaik, namun jumlahnya harus lebih ditingkatkan, sebab hasil riset memperlihatkan di Perancis hanya 11% pelajar Muslim yang tidak lulus dari sekolah menengah atas, sedangkan di Jerman mencapai 36%.
Peneliti berkesimpulan perbedaan ini terjadi karena di Perancis anak-anak belajar bersama dalam kurun waktu lebih panjang. Imigran juga lebih mengetahui Perancis karena latar belakang penjajahan. Meski demikian, angka kelulusan yang tinggi di Perancis tidak menjamin angka pengangguran warga Muslim berada di atas rata-rata.
"Perbandingan ini memperlihatkan bukan afiliasi agama yang menentukan suksesnya proses integrasi, melainkan sistem suatu negara dan ekonominya," ungkap Stephan Vopel, ahli kohesi sosial dari Yayasan Bertelsmann. Sistem negara yang dianggap berhasil menciptakan integrasi dapat ditemukan di Inggris. Yasmin El-Manouar, ahli Islam yang mewakili Yayasan Bertelsmann menyebutkan Inggris menciptakan “tingkatan arena bermain” untuk Muslim yang saleh: Polisi perempuan di negara itu dapat menggunakan jilbab ketika bekerja sejak 10 tahun terakhir.
Studi berjudul "Muslim di Eropa, Terintegrasi namun tidak Diterima?", juga menyingkap Islamofobia yang tersebar di Jerman, Austria, Swiss, Inggris dan Perancis. Dari seluruh negara yang disurvei, sebagian besar warga mengaku lebih enggan tinggal bersebelahan dengan Muslim daripada bertetangga dengan kelompok lainnya – seperti imigran, homoseksual, Yahudi, ateis, warga non-kulit-putih, Kristen dan keluarga beranak banyak. Hanya di Inggris yang menolak tinggal dengan tetangga dari keluarga besar lebih banyak daripada dengan tetangga Muslim.
ts/ (dpa, kna, AFP)