Myanmar dan "Dongeng" Tentang Rohingya
20 Juni 2015Ratusan biksu turun ke jalan sembari meneriakkan yel-yel anti Rohingya. "Tolak pengungsi kapal di Myanmar!" Mereka datang ke Yangon dengan kereta. Seluruhnya berjumlah 500 demonstran. "Berhentilah menyalahkan Myanmar," bunyi tulisan pada baju kaos yang dibagi-bagikan secara gratis.
Di saat yang bersamaan ribuan pengungsi masih terapung di laut Andaman. Mereka berniat ke Thailand yang sedang menggelar konfrensi pengungsi. Sementara di Myanmar simpatisan kelompok Buddha Nasionalis memprotes dunia internasional yang menyalahkan negaranya, terkait krisis manusia perahu itu.
Tapi tanggungjawab moral Myanmar sulit dibantah. "Sebagian besar pengungsi adalah etnis Rohingnya yang melarikan diri dari situasi represif di Myanmar," kata Wakil Menteri Luar Negeri AS, Antony Biken, pekan lalu.
"Dongeng" PBB tentang Rohingya
Myanmar hingga kini menolak mengakui kewarganegaraan sekitar 1,3 juta anggota etnis Rohingya. PBB mencatat mereka sebagai kaum minoritas yang paling diburu. Pemerintah di Naypyidaw berulangkali menegaskan, etnis Rohingya tidak lain adalah pendatang ilegal asal Bangladesh.
Pandangan serupa juga disuarakan oleh demonstran Sandi Thwin Mar Oo. "Akhirnya kebenaran terbuka," tuturnya. Pengungsi kapal harus diidentifikasi agar menegaskan negara asal mereka yang menurutnya adalah Bangladesh. Buat Sandi Thwin klaim tersebut adalah kebenaran satu-satunya.
Kebanyakan penduduk Myanmar meyakini hal yang sama. Mereka menolak menyebut pengungsi dengan sebutan etnis "Rohingya." Pada sensus penduduk pertama sejak 30 tahun, kelompok minoritas itu cuma diberi satu opsi pada kolom negara asal, yakni "Bangladesh."
"Ketika mereka mulai menyebut dirinya Rohingya, mereka mengklaim diri sebagai korban," tukas Sandi Thwin Mar Oo dalam nada makian. Di belakangnya pria-pria berjubah merah memegang spanduk yang bertuliskan "PBB, hentikan dongeng tentang Rohingya."
Pengalihan Isu?
Buat Sandhi Thwin, keberadaan etnis Rohingya telah mencoreng wajah Myanmar. Dan ia ingin melawan. Dengan sigap demonstran perempuan bertubuh ramping itu menaiki kursi plastik sembari meneriakkan yel-yel kepada massa yang berkumpul.
"Dunia barat tidak mengerti, bahwa kami di Myanmar sudah punya banyak masalah," ujar Biksu U Sandar Thiri. "Kenapa negara Muslim kaya tidak menampung pengungsi manusia perahu itu?" tanyanya. Sebagai penganut agama Buddha, ia harus menjaga keyakinannya. Ia mengaku punya perasaan belas kasihan terhadap sesama manusia. "Tetapi jika ada masalah, biasanya kaum Muslim yang berada di belakangnya", kata U Sandar yang mengaku banyak mendapat informasi dari media.
Pemerintah Myanmar sejauh ini masih bersikap diam. Secara hati-hati delegasi dari negara mayoritas rakyatnya beragama Buddha itu menghindari istilah "Rohingya" selama konfrensi pengungsi di Thailand.
Tapi tidak semuanya bersuara sama. Seorang biksu yang dikenal bersikap moderat, Ashin Issariya, menilai aksi protes secara kritis. Menurutnya "konflik semacam ini cuma mengalihkan perhatian publik dari masalah sesungguhnya di Myanmar."