Nasib Malang Pekerja Kamboja
24 Januari 2014Tola Moeun, kepala pusat pendidikan hukum masyarakat (CLEC) mengatakan, 80 persen populasi di Kamboja adalah petani di pedesaan. Semakin banyak dari mereka yang menanggung hutang karena melakukan pinjaman dengan bunga tinggi. Inilah yang menjadi penyebab kaum muda di Kamboja pergi meninggalkan rumah dan mencari pekerjaan ke luar negri.
Selain itu, Tola juga menyinggung tentang buruknya masa depan para buruh tekstil yang mengakibatkan para wanita mau melakukan apa saja untuk bisa lari dari nasib malang. “Para pekerja tekstil wanita sering memilih pergi ke Korea Selatan untuk melarikan diri dari kondisi ini“, ujar Tola.
Kadang menjadi simpanan
CLEC menyatakan telah menerima beberapa pengaduan lewat telefon dari keluarga yang anak-anak perempuannya mengalami permasalahan setelah menikah dengan laki-laki yang berasal dari Korea Selatan dan Cina karena kemudian diketahui bahwa pernikahan mereka adalah palsu.
Tola mengatakan, keluarga ini menerima uang dari makelar pernikahan tanpa mengerti situasi yang sedang terjadi. Kebenaran muncul saat para perempuan itu sampai di Korea Selatan. Mereka dibariskan di sebuah ruangan untuk dipilih oleh seorang suami.
“Saya pergi ke Korea Selatan tahun 2011. Saya mendapat penjelasan bahwa para istri di Korea Selatan tak khawatir terhadap prostitusi karena suami mereka telah mempunyai simpanan. Suami-suami itu memilih seorang wanita Kamboja untuk dinikahi”, ungkap Tola.
“Daerah pedesaan di Cina kekurangan wanita. Seorang laki-laki menginginkan seorang istri agar bekerja tanpa dibayar, sehingga perempuan itu tak hanya menjadi budak kerja tapi juga budak sex”, cerita Tola. Meski demikian ia mengakui bahwa tak semua pernikahan internasional adalah pernikahan palsu.
“Banyak gadis-gadis Kamboja menikah dengan laki-laki dari Korea Selatan. Ini adalah pernikahan asli. Orang-orang yang benar-benar miskin melakukan ini. Kadang-kadang gadis-gadis itu kembali dan bisa membangun sebuah rumah untuk keluarganya dan bisa memperbaiki kondisi hidup mereka”, kata seorang perempuan berusia 24 tahun di Pnom Penh.
Nasib pemuda kamboja
Para pemuda Kamboja yang pergi ke Thailand untuk bekerja biasanya bekerja sebagai buruh di sektor konstruksi, kapal-kapal penangkapan ikan dan perusahaan-perusahaan pemroses ikan. Mereka bisa menjadi pekerja dengan berbagai cara, secara legal, ilegal dan lewat makelar.
“Dalam kasus penawaran ilegal, para perekrut akan menelfon dan mengatakan `kamu ingin pekerjaan?´ Orang itu kemudian akan menyebrang perbatasan pada malam hari, tak melewati pos pemeriksaan, bersembunyi di bagian belakang truk, berbaring menumpuk dengan orang lain dan ditutupi dengan barang barang yang sedang dikirim“, kata Tola.
Si Ngoun, seorang ayah yang anaknya pergi ke Thailand mengatakan, baru-baru ini ada 11 orang laki-laki dan dua orang perempuan yang usianya antara 15 sampai 23 tahun masuk ke Thailand dengan bantuan para makelar dimana masing-masing dari mereka membayar 500 Dolar.
Mereka bekerja di perusahaan karet, logam dan konstruksi. Dan kesusahan itu muncul ketika mereka bekerja di sektor konstruksi.
“Kami dibayar sekitar 120 baht (4 Dolar) setiap hari. Kami tak mau lagi bekerja karena kami sangat lapar“ kata seorang pekerja yang berusia 20 tahun.
Tola mengatakan, para pekerja itu meminta makanan dan memprotes, akan tetapi majikan pemberi kerja malah memenjarakan mereka sebagai pekerja ilegal, dimana penahanannya bisa berlangsung antara 6 sampai 9 bulan.
Brahm Press, aktivis Raks Thai Foundation, yakni sebuah organisasi yang membantu para pekerja migran mengatakan, kondisi kerja di perkapalan ikan sangat sulit sekali untuk diawasi. Pekerjaan disana banyak dihubungkan dengan penggunaan obat terlarang oleh para buruh dengan tujuan agar bisa bertahan kerja yang terkadang durasi kerjanya bisa mencapai 20 jam.
asb/hp (ips, dpa)