1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Negara Berkembang Bisa Bantu Atasi Resistensi Antimikroba

Zulfikar Abbany
17 Januari 2025

Fenomena global kekebalan antimikroba, AMR, menuntut pengembangan jenis baru antibiotika di tingkat lokal, terutama di negara berkembang. Namun prosesnya terhambat dominasi Amerika Serikat dan Eropa dalam sertifikasi.

https://p.dw.com/p/4pEsh
Ilustrasi resistensi antimikroba
Gambar bakteri Enterobacteriaceae yang kebal terhadap antibiotik KerbapenemFoto: Melissa Brower/Centers for Disease Control and Prevention/AP Photo/picture alliance

Ringkasan berita

  • Resistensi antibiotika meningkat di dunia. Diperlukan jenis obat-obatan baru untuk mengatasi bahaya mikroba.

  • Negara berpenghasilan menengah dan rendah terancam oleh beberapa bakteri yang paling resistan.
  • Pengembangan obat lokal berpotensi besar bagi kesehatan global.

Ada kebutuhan mendesak untuk pengembangan antibiotika baru di tengah meningkatnya resistensi antimikroba, AMR, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Sebabnya di India, produsen farmasi seperti Wockhardt menguji antibiotika baru terhadap jenis patogen yang menunjukkan tanda resistensi.

Mengingat kemajuan pesat dengan terapi khusus — seperti vaksin mRNA selama pandemi COVID-19 — produsen obat diharapkan mampu mengembangkan antibiotika baru dengan kecepatan yang sama.

Masalahnya, proses di laboratorium tidak sesederhana itu. Dibutuhkan waktu dan biaya yang lebih besar untuk mengembangkan dan memproduksi antibiotik daripada vaksin.

Antibiotika dikenal sebagai obat-obatan yang kompleks. Tidak seperti vaksin, yang dirancang khusus untuk virus tertentu, antibiotika didesain untuk menargetkan beberapa bakteri sekaligus, yang masing-masing punya cara berbeda melawan pengobatan.

"Dengan antibiotika, kita bisa menargetkan 8-10 patogen, dan masing-masing patogen ini menyebabkan infeksi di tempat yang berbeda, ada yang di rumah sakit seperti bakteri super, ada juga yang di rumah, dan masing-masing patogen ini juga memiliki mekanisme resistensi yang berbeda,” kata Mahesh Patel, kepala staf ilmiah di perusahaan farmasi India, Wockhardt.

Pandemi Senyap akibat Resistensi terhadap Antibiotika

Pendekatan regional pengembangan antibiotik baru

Perusahaan farmasi di wilayah berpendapatan rendah dan menengah mulai menggunakan pendekatan lokal, yakni menguji "kandidat" antibiotik di negara masing-masing, jika ada kebutuhan khusus di antara populasi yang sudah dikenal baik.

Di Afrika Selatan dan Brasil, fokusnya adalah pada sepsis neonatal di lingkungan rumah sakit, di mana antibiotik tidak lagi berfungsi, atau perawatan untuk gonore dan infeksi menular seksual, IMS, lainnya. Adapun di India, bakteri super di rumah sakitlah yang menjadi penyebab merebaknya AMS.

Sachin Bhagwat, juga kepala staf ilmiah di Wockhardt, mengatakan pendekatan regional dapat memberikan dampak positif pada kesehatan masyarakat global.

"Yang penting dalam hal sains adalah bahwa patogen India, bakteri India, merupakan salah satu tingkat resistensi tertinggi di dunia," kata Sachin.

Dengan menguji antibiotik melawan bakteri lokal, "keuntungannya adalah obat itu akan secara otomatis efektif melawan patogen di seluruh dunia, karena kami telah mengujinya terhadap salah satu tingkat resistensi tertinggi di India, dan tingkat resistensi cenderung lebih rendah di wilayah lain," kata Sachin.

Tantangan pengembangan antibiotik regional

Hambatan terbesar bagi produsen lokal adalah proses persetujuan atau sertifikasi yang bersifat terpusat secara global. Setiap produk medis baru, baik itu antibiotik, vaksin, atau obat untuk mengobati penyakit atau kondisi lain, biasanya baru mendapat pengakuan pasar setelah dinyatakan lolos uji oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Federal AS, FDA, dan Badan Obat Eropa, EMA.

Namun, praktik tersebut menimbulkan tantangan bagi perusahaan seperti Wockhardt, yang bertujuan untuk memasarkan obat di wilayah tempat mereka mengujinya.

Artinya, Wockhardt harus menjalankan dua studi pada saat yang sama, satu ditujukan pada populasi lokal, di antara pasien di komunitas lokal atau regional, dan yang lainnya yang memprioritaskan peraturan global.

"Kita harus mencoba memastikan bahwa kita memprioritaskan antibiotik yang benar-benar kita ketahui akan mengatasi patogen prioritas dan di mana kita melihat beban penyakit terbesar, dalam hal infeksi," kata Seamus O'Brien, Direktur R&D di Kemitraan Penelitian dan Pengembangan Antibiotik Global.

GARDP bekerja sama dengan tim regional di Afrika, Asia Tenggara, dan Amerika Latin untuk memahami AMR dan mengembangkan cara untuk melawannya.

Unsur Aktif Baru Antibiotika Dari Hutan Bakau

Setiap lokasi memiliki tantangannya sendiri. India, misalnya, memiliki basis produksi obat generik yang kuat. Namun, di Afrika, O'Brien mengatakan sektor industri yang melakukan "penemuan dan penelitian eksplorasi" membutuhkan lebih banyak dukungan.

Dukungan yang dibutuhkan termasuk meningkatkan data lokal tentang penyakit penyerta yang dapat memengaruhi kemampuan antibiotik untuk bekerja.

Patogen mana yang menimbulkan ancaman terbesar?

Salah satu target AMR yang paling penting adalah bakteri yang resistan terhadap karbapenem.

Di Amerika Latin, bakteri yang resistan terhadap antibiotik karbapenem memiliki mekanisme resistensi yang berbeda dari bakteri serupa yang ditemukan di Afrika dan Asia. Dua patogen menjadi perhatian khusus, yakni spesies Acinetobacter baumannii dan Enterobacter.

"Kedua patogen tersebut sudah dalam level mengkhawatirkan di Amerika Latin dan ada kecenderungan peningkatan resistensi,” kata O'Brien.

Bakteri penyebab IMS, seperti klamidia, gonore, dan sifilis, juga semakin resistan terhadap antibiotik. Beberapa bakteri lain, yang biasanya tidak dikenal sebagai IMS tetapi dapat ditularkan secara seksual, seperti spesies shigella dan Neisseria, juga mengkhawatirkan.

Klebsiella pneumoniae, Escherichia coli, dan Pseudomonas aeruginosa menyebabkan berbagai penyakit umum namun berpotensi fatal, seperti pneumonia, infeksi aliran darah atau Sepsis, infeksi saluran kemih, dan infeksi yang didapat di rumah sakit yang disebut "superbug”.

Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Inggris