Olahraga Berperan Mengakhiri Rejim Apartheid
2 Juni 2010Ada saatnya ketika peristiwa olahraga memiliki dampak politik yang besar. Salah satunya adalah "keajabian dari Bern" ketika pada 4 Juli 1954 tim nasional Jerman mengalahkan Hungaria 3:2 di final Piala Dunia dan memberikan rasa percaya diri baru kepada bangsa yang hancur oleh perang.
Hal yang sama terjadi ketika pada 24 Juni 1995 timnas rugby Afrika Selatan mengalahkan Selandia Baru yang jauh lebih difavoritkan melalui perpanjangan waktu di final Piala Dunia. Saat Nelson Mandela yang mengenakan trikot "Springboks" berwarna hijau emas menyerahkan trophy kepada tim pemenang, Afrika Selatan mengalami salah satu momen terbesar dalam proses rekonsiliasi antar ras yang hingga kini dikenal dengan nama "keajaiban dari Johannesburg."
Bahwa seorang presiden kulit hitam memberikan penghargaan tinggi terhadap cabang olahraga yang menjadi salah satu simbol kedigdayaan penguasa kulit putih di era Apartheid, tidak pernah bisa dibayangkan sebelumnya. Bagi Afrika Selatan, olahraga telah ikut memupus tabu dan mempercepat berakhirnya rejim Apartheid.
Jalan panjang menuju keterbukaan
Antara tahun 1950 dan 1953, pemerintah kulit putih meletakkan pondasi konstitusional bagi Apartheid dengan membagi-bagi masyarakat berdasarkan ras masing-masing, yakni warga kulit putih, kulit hitam, kulit berwarna dan Asia. Undang-undang tersebut juga mengatur pemisahan pemukiman antara warga kulit putih dan kulit hitam serta melarang pembauran antara kedua ras di tempat-tempat umum.
Tahun 1956 pemerintah Afrika Selatan memperketat undang-undang olahraga. Siapapun yang terlibat dalam pertandingan olahraga yang mencampurkan kedua ras akan dihukum. Hanya warga kulit putih saja yang berhak mewakili Afrika Selatan dalam turnamen olahraga internasional.
Setiap ras memiliki persatuan olahraganya sendiri. Olahragawan dunia berkulit hitam seperti petenis Amerika Serikat Arthur Ashe mendapat larangan masuk ke Afrika Selatan dan ketika timnas Kriket Inggris yang diperkuat pemain berkulit hitam Basil D'Oliveira pada 1968 melakukan tur di Afrika Selatan, PM John Vorster melarang penyelenggaraan turnamen tersebut.
Dunia internasional saat itu bereaksi keras. Perserikatan Bangsa Bangsa menyerukan seluruh negara untuk memboikot turnamen olahraga yang digelar di Afrika Selatan dan membentuk komisi pengawasan. Sebuah daftar hitam dibuat untuk mencatat setiap olahragawan yang tampil di Afrika Selatan, termasuk di antaranya bekas pembalap Formula 1 Niki Lauda.
Komite Olympiade Internasional (IOC) melarang keikutsertaan Afrika Selatan pada Olympiade Tokyo (1964) dan di Mexiko (1968). Tahun 1970 organisasi tersebut mengeluarkan Afrika Selatan dari keanggotaannya. Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) mengikutinya pada tahun 1964 dan 1976.
15 tahun persamaan ras
Ketika 1976 pemerintah Selandia Baru mengizinkan tur tim nasional kriket Afrika Selatan di negaranya, sekitar 30 negara-negara Afrika dan Asia mengancam akan membatalkan keikutsertaannya pada Olympiade di Montreal lantaran IOC menolak mengecam kebijakan Selandia Baru. Sejumlah atlet kulit hitam, seperti pelari Marathon Zola Budd, terpaksa pindah kewarganegaraan untuk menghindari isolasi internasional.
Semua itu berujung pada kemunduran olahraga Afrika Selatan dan menciptakan tekanan besar terhadap pemerintahan kulit putih. Pada paruh kedua dekade 70-an, olahraga menjadi yang pertama mendombrak pembatasan ras di Afrika Selatan. 1991 IOC kembali menerima keanggotaan negara tersebut yang kemudian diikuti FIFA satu tahun kemudian.
Kini, 15 tahun sejak "keajaiban dari Johannesburg" Afrika Selatan kembali ke panggung olahraga internasional dengan menyelenggarakan Piala Dunia sepak bola. Meski demikian, upaya rekonsiliasi dan persamaan ras di negeri tersebut masih menemui hambatan. Contohnya adalah pemain bertahan, Matthew Booth, yang masih menjadi satu-satunya pemain berkulit putih di tim nasional Afrika Selatan.
Booth sendiri berisiterikan Sonia, perempuan berusia 30 tahun yang hidup di Soweto dan pernah menjadi ratu kecantikan Afrika Selatan. Setelah 15 tahun proses demokratisasi, pernikahan campur di negeri tersebut masih merupakan sebuah kelangkaan.
Rizki Nugraha/dpa/sid/ap
Editor: Yuniman Farid