Otak Pangkal Kebiasaan dan Perubahan
30 Oktober 2021Ada yang bilang, kita bisa mengubah diri sendiri, kalau kita benar-benar mau. Tapi jika seseorang ingin mengubah kepribadian yang sudah terbentuk seumur hidupnya, maka ia pertama-tama harus melewati sejumlah rintangan.
Sifat manusia sebenarnya hanya sebagian yang tertanam di dalam gen. Lagi pula, sifat juga berubah selama kita hidup, sejalan dengan pengalaman yang kita dapat. Demikian halnya dengan neuroplastisitas, yaitu kemampuan otak untuk belajar bahkan hingga usia lanjut, yang membuat perubahan bisa terjadi.
Sesungguhnya demikian. Tapi tentu naiv jika kita berpikir, pola tertentu pada pikiran, perasaan, juga kebiasaan, jadi singkatnya: kepribadian, bisa diubah begitu saja.
Catatan otak bentuk kepribadian
Kepribadian kita terbentuk karena berbagai pengaruh sejak kita kecil, bahkan sebelum lahir. Itu tersimpan di bagian dalam dan tengah sistem limbik. Bagian otak itu sulit diakses oleh kemauan sadar kita.
"Area-area di otak yang bekerja tanpa kita sadari, melakukan sejumlah hal penting.“ Begitu dikatakan Gerhard Roth, seorang ahli ilmu saraf dan peneliti otak.
Bagian-bagian otak itu menilai segala sesuatu yang kita tangkap dengan indra. Juga yang kita alami, yang kita pikirkan, rasakan dan apa yang kita lakukan. Kemudian mencatat: itu bagus, itu bisa diulang. Juga: itu tidak baik, menyakitkan. Jangan diulang.
Karena manusia punya tendensi untuk menghindari perasaan menyakitkan, maka kita tetap setia pada kebiasaan. Oleh sebab itu, kebiasaan yang menetap kerap yang berkuasa, juga saat kita sebenarnya ingin mengubah diri.
Perubahan hanya terjadi akibat hal-hal tertentu
Hanya jika kita sangat menderita akibat sesuatu hal, perubahan mendasar bisa terjadi. Hanya mereka yang selalu menghadapi masalah dengan kebiasaan-kebiasaannya, dan tidak menemukan jalan keluar lain, yang otaknya kemungkinan siap untuk mengadakan perubahan.
Gerhard Roth menjelaskan lebih lanjut, "Situasi kedua yang bisa menyebabkan perubahan adalah: jika ada keuntungan. Jika kita mendapat keuntungan yang bisa menutupi penderitaan, atau setidaknya menguranginya. Faktor ketiga, setelah penderitaan dan keuntungan adalah: kesabaran.“
Artinya: walaupun menderita berbagai pukulan, tetap berusaha dan menahan penderitaan, sehingga diskrepansi antara keinginan dan kenyataan lebih terasa. Yang penting juga, pertanyaan: apakah kita juga ingin berubah untuk diri sendiri, atau hanya untuk orang lain?
Perubahan perlu sokongan
Hal penting lainnya, ada sumber sokongan lain yang pernah dikenal. Profesor Roth sudah melihat hal ini dalam sejumlah terapi dengan remaja kriminal. Beberapa dari mereka berubah ke arah yang benar, walaupun mereka ketika kecil dianiaya dan diabaikan.
"Dalam kasus-kasus itu ada orang lain yang bisa dijadikan referensi. Misalnya paman, atau bibi, atau seorang guru. Dan menurut mereka, hubungan inilah, yang memberikan pegangan bagi mereka,“ papar Gerhard Roth. Sesuai pengetahuan kita saat ini, itulah juga yang mengurangi perasaan sakit akibat perbuatan orang lain, dan jadi sumber kekuatan.
Dengan dasar itu bisa dibangun sesuatu yang baru. Itu memberikan sebersit cahaya untuk bisa lebih percaya orang, bersikap terbuka dan bagi empati. Karena hal itulah yang jadi landasan bagi perubahan mendasar.
Perubahan mengandung risiko
Menurut Gerhard Roth, semakin tinggi posisi seseorang, perubahan semakin sulit terjadi. Di taraf bawah atau pertengahan, orang lebih bersedia mendengarkan saran. Roth mengungkap,semakin tinggi seseorang mendaki karir, semakin besar juga jarak yang ia tetapkan dengan orang lain. “Karena perubahan tentu juga berarti perubahan dalam posisi kekuasaan.“
Bagi kita, melepaskan kebiasaan juga berarti menanggung risiko, dan kerap perasaan sakit. Mereka yang sadar akan hal itu, punya kesempatan lebih besar untuk mengubah hidupnya dengan sukses. (ml/yp)