OTT Edhy Prabowo jadi Bukti KPK Tidak Lemah?
27 November 2020Penangkapan seorang menteri aktif di kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini menjadi sorotan utama di tanah air. Kabar penangkapan ini mencuat di tengah derasnya kritikan terhadap lembaga antirasuah yang dinilai semakin kehilangan taji pasca disahkannya UU KPK yang memicu gelombang protes besar tahun 2019 lalu.
Edhy Prabowo, seorang elit Partai Gerindra yang ditunjuk Presiden Joko Widodo menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam kabinetnya, diciduk KPK sepulang dari Amerika Serikat (AS) pada Rabu (25/11) dini hari di Bandara Sokerano-Hatta, Tangerang, Banten.
Edhy diduga terlibat dalam kasus suap ekspor benur. Dan setelah menjalani pemeriksaan intensif oleh KPK selama kurang dari 1 x 24 jam, status Edhy resmi dijadikan tersangka bersama dengan 7 orang lainnya, termasuk beberapa staf khususnya, staf khusus istrinya dan beberapa pihak swasta.
Dengan tangan diborgol dan memakai rompi tahanan khas KPK berwarna oranye, Edhy keluar dari ruang pemeriksaan pada Rabu (25/11) malam. Sambil menyampaikan sederet permohonan maaf kepada Jokowi, Prabowo dan keluarganya, Edhy mengaku bahwa apa yang terjadi kepadanya adalah sebuah "kecelakaan".
“Kemudian saya juga mohon maaf pada seluruh masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Kelautan dan Perikanan yang mungkin banyak terkhianati, seolah-olah saya pencitraan di depan umum, itu tidak, itu semangat. Ini adalah kecelakaan yang terjadi, dan saya bertanggung jawab terhadap ini semua,” kata Edhy di gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (26/11) dini hari.
ICW apresiasi kinerja penyidik KPK
Kinerja penyidik KPK menangkap Edhy Prabowo tak sedikit mendapat apresiasi, salah satunya datang dari Indonesia Corruption Watch (ICW).
KPK yang berada di tengah kesulitan dinilai bisa bekerja menindak kasus yang diduga melibatkan seorang menteri Kabinet Indonesia Maju, yaitu Edhy Prabowo.
Namun, apakah penangkapan Edhy lantas jadi bukti bahwa KPK tidak melemah seperti yang banyak dinarasikan belakangan ini?
Menurut Peneliti ICW, Egi Primayogha, penangkapan Edhy oleh penyidik KPK perlu diberikan apresiasi, tapi hal itu tidak lantas menghilangkan masalah revisi UU KPK yang menjadi poin utama penolakan mahasiswa dan masyarakat sipil pada tahun lalu.
“Dalam hemat saya tidak bisa satu kasus KPK langsung dianggap berhasil gitu ya. Atau permasalahan yang sudah pernah dilontarkan sebelumnya dan direspons besar-besaran dalam demonstrasi tahun lalu itu hilang. Tidak,” kata Egi Primayogha, Peneliti ICW saat dihubungi DW, Kamis (26/11).
“Bahkan kalau kita lihat di kinerja KPK dari aspek penindakan misalnya. Kalau dalam catatan kami dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, jumlah operasi tangkap tangan (OTT) ini menurun drastis,” tambah Egi.
Menurut catatan ICW, pada enam bulan pertama tahun 2016 KPK berhasil menggelar 8 Operasi Tangkap Tangan. Demikian pula pada 6 bulan pertama 2017 (5 OTT), 6 bulan pertama 2018 (13 OTT), dan 6 bulan pertama 2019 (7 OTT). Namun, di tahun ini, di masa kepemimpinan Firli Bahuri dkk, KPK hanya berhasil menggelar 2 OTT di enam bulan pertama.
“Dan kalau ditotal tahun ini OTT-nya hanya ada 4 dengan kasus Pak Edhy Prabowo,” kata Egi.
KPK diminta lakukan penyelidikan kasus Edhy yang lebih luas
Egi mengatakan bahwa keseriusan KPK benar-benar diuji dalam kasus ini. KPK ia sebut harus mampu membuktikan diri dengan memperluas penelusuran terkait dugaan suap eskpor benur yang menjerat Edhy Prabowo.
“Perlu ada penelusuran dan keseriusan dari KPK untuk menelusuri kasus ini. Jangan sampai seperti kasus sebelumnya, ada kasus Harun Masiku yang mana hingga sekarang kasusnya belum tuntas karena Harun Masikunya belum diketahui keberadaannya,” ujarnya.
Selain itu, Egi juga menyinggung masalah kolektifitas di tubuh KPK terkait penangkapan Edhy Prabowo. Apakah benar dalam penangkapan Edhy tidak ada pertentangan satu sama lain?
Apresiasi terhadap KPK yang berhasil menangkap Edhy juga datang dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati seperti dilansir dari siaran pers resmi KIARA, Rabu (25/11) lalu, menyebutkan bahwa pemberian izin ekspor benih lobster memang sudah sangat bermasalah sejak awal.
Senada dengan Egi dari ICW, Susan juga mendesak KPK untuk melakukan penyelidikan dan pengusutan lebih dalam kepada sejumlah perusahaan yang telah melakukan ekspor benih lobster berdasarkan izin yang diberikan Edhy Prabowo. Setidaknya ada 9 perusahaan yang menurut Susan telah melakukan ekspor benih lobster per Juli 2020.
Mekanisme pemberian izin ekspor bagi 9 perusahaan ini menurutnya wajib diselidiki terus oleh KPK.
“KPK jangan hanya berhenti pada kasus ini. Perlu pengembangan dan penyelidikan lebih lanjut supaya kasus ini terang benderang dan publik memahami betul duduk perkaranya,” tegas Susan.
7 tersangka kasus suap ekspor benur
Sebelumnya KPK telah mengamankan Edhy Prabowo dan 16 orang lainnya dalam OTT di lima lokasi berbeda, yaitu di Bandara Soekarno Hatta, Jakarta, Tengarang Selatan, Depok dan Bekasi pada Rabu (25/11).
OTT dilakukan terkait dugaan suap dalam Perizinan Tambak, Usaha dan Pengelolaan Perikanan Atau Komoditas Perairan Sejanis Lainnya Tahun 2020.
Dari 17 orang yang diamankan, KPK menetapkan tujuh orang sebagai tersangka. Enam orang diduga sebagai penerima suap, yaitu Edhy Prabowo (Menteri KKP), Safri (Stafus Menteri KKP), Andreau Pribadi Misanta (Stafus Menteri KKP), Siswadi (Pengurus PT Aero Citra Kargo, swasta), Ainul Faqih (Staf istri Menteri KKP), dan Amiril Mukminin (pihak swasta).
Sementara, satu orang lainnya sebagai pemberi suap yakni Suharjito (Direktur PT Dua Putra Perkasa, swasta).
gtp/hp (dari berbagai sumber)