Pakaian Lawas Bidani Tren Fesyen Ramah Lingkungan di Irak
23 Maret 2023Diiringi tatapan geli para penggembala, model-model muda Irak berjalan memeragakan busana di atas catwalk yang dibangun di atas belukar yang menghampar di antara pepohonan palem di utara Baghdad
Peragaan tersebut bermisikan kesadaran lingkungan. Semua pakaian adalah barang bekas yang diramu ulang dengan paras modern. Ketika krisis iklim kian marak diwartakan, kaum muda Irak pun menemukan adibusana gaya lawas sebagai wadah kreativitas ramah iklim.
"Kami tidak ingin produksi pakaian berlebihan, jadi kita harus menggunakannya kembali,” kata Mohammed Qasem, seorang penata rambut yang ikut mengorganisir peragaan busana di Desa al-Hussainiya itu.
Pakaian lawas bergaya 80an atau 90an menginspirasi pecinta fesyen di Irak untuk mempopulerkan mode ramah lingkungan. Saat seisi negeri berusaha kembali pulih setelah dua dekade peperangan, Irak dibanjiri produk "fesyen cepat” dari luar negeri yang memperparah polusi limbah.
"Pakaian bekas banyak yang berkualitas tinggi,” kata Ahmed Taher, mahasiswa pecinta fesyen di Irak. "Jika kamu mengenakannya, kami akan merasa seperti mengenakan pakaian mewah. Sangat berbeda dengan pakaian di toko.”
Desain lawas saingi fesyen cepat
Taher menjual pakaian lawas di komunitas hipster Baghdad. Akun Instagram-nya saat ini sudah memiliki 47.000 pengikut. Biasanya, setiap potong pakaian bertukar tangan dengan harga rata-rata USD 20.
"Kita ingin mengenakan pakaian unik dan tidak terlihat serupa seperti yang lain,” imbuhnya.
Popularitas pakaian lawas di kalangan muda tak terlepas dari kemiskinan yang dihadapi sepertiga dari 42 juta penduduk Irak. Bagi kebanyakan, merawat usia pakaian selama mungkin adalah keharusan, bukan pilihan.
Pasar pakaian bekas bermunculan bak jamur di jalan-jalan kota Baghdad. Baju, sepatu dan celana dijual antara harga USD 2 hingga USD 200. "Bukan artinya kita tidak mampu membeli baju baru,” kata Mohamed Ali, mahasiswa berusia 20 tahun. "Tapi di sini saya bisa mendapat barang unik dengan kualitas lebih baik.”
Lawas tapi berkualitas
Dia masih mengingat kisah orang tuanya dari dekade 1990an, ketika embargo Barat memaksa sebagian besar penduduk mengenakan pakaian "bolak-balik sampai rusak, karena tidak punya uang” untuk membeli pakaian baru.
Ali mengaku, dia dan teman-temannya lebih suka berbelanja pakaian bekas karena lebih tahan lama dan berkualitas.
Pakaian-pakaian lawas di Irak kebanyakan diimpor dari luar negeri, antara lain oleh Hassan Refaat, pedagang berusia 22 tahun. Dia mengaku berbelanja di willayah otonomi Kurdistan, karena berbatasan dengan Turki yang merupakan produsen fesyen terbesar di kawasan.
"Pakaian bekas biasanya berkualitas lebih baik ketimbang pakaian baru yang dijual saat ini,” kata dia merujuk pada produk fesyen cepat. "Seringkali, barang yang saya dapat adalah pakaian bermerek. Dan biasanya produk bermerek bisa bertahan lama.”
rzn/hp (afp)