Pakar Informatika yang Mendirikan Startup di Berlin
7 September 2019Markas Vivy berlokasi di pusat kota Berlin yang sangat hidup, tidak jauh dari salah satu pusat atraksi turis Checkpoint Charlie. Suasana di dalam kantor Vivy senada dengan ciri khas Berlin sebagai kota penuh startup modern: tim internasional yang anggotanya kebanyakan muda dan terlihat santai. Bahasa yang dominan terdengar adalah Bahasa Inggris.
Vivy adalah sebuah aplikasi asisten kesehatan, yang diluncurkan September 2018 silam. Ide awal datang dari Christian Rebernik, yang kemudian memulai startupnya bersama pakar informatika Rowanto. Co-Founder berusia 29 tahun ini sekarang menjabat sebagai CTO (Chief Technology Officer) perusahaan. Sejak Christian dan Rowanto mulai membangun Vivy, timnya sudah berkembang sampai sekarang terdiri dari 84 orang dengan berbagai latar belakang keahlian.
Memulai startup setelah mengumpulkan pengalaman
Mengaku sudah tertarik dengan dunia informatika dari kecil, Rowanto juga sering belajar informatika dari kedua kakaknya yang berprofesi di bidang ini. Akhirnya ketika SMA ia mengikuti olimpiade informatika. Walaupun akhirnya kalah di tingkat antar provinsi, Rowanto tahu, bahwa ia ingin aktif di bidang informatika nantinya.
Selepas SMA, Rowanto memutuskan untuk kuliah di Jerman. Pilihan jatuh ke jurusan Media Informatika di Beuth Hochschule für Technik Berlin, yang berbentuk Fachochschule. Semasa kuliah Rowanto juga sudah menimba pengalaman bekerja di berbagai perusahaan besar, seperti di Nokia sebagai insinyur automasi kualitas dan di Awin sebagai penulis software.
Di salah satu startup Eropa terbesar, Bank Online N26, Rowanto juga setelah selesai kuliah sempat bekerja sebagai pemimpin tim back-end. Tetapi keinginan membuka perusahaan sendiri yang sudah ada dari dulu masih tetap ada.
Berbekal keinginan ini, Rowanto memutuskan berhenti dari pekerjaannya. Bertepatan dengan itu, seorang temannya juga dari Bank N26, Christian Rebernik, juga berhenti karena ingin mengembangkan ide yang ia miliki. Kedua lelaki ini bertemu setelahnya, dan setuju untuk bekerja sama. Pada tahun 2017 mereka berdua mereka memulai startup Vivy.
Asisten Kesehatan di Ponsel Cerdas
Vivy adalah sebuah aplikasi asisten kesehatan, yang ingin memberikan informasi sehingga pengguna bisa menjadi lebih sehat, demikian kata Rowanto. Ini dilakukan dengan menganalisa data-data, yang sebelumnya sudah diunggah ke ponsel cerdas pengguna lewat aplikasi.
Untuk membuat sistem asisten ini berhasil, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengumpulkan berkas-berkas kesehatan pengguna dalam bentuk digital. Rowanto menjelaskan, pola pikir harus berubah, agar pasien tahu, berkas-berkas kesehatan adalah milik mereka dan bukan milik dokter saja. Sekarang data ini seringnya tidak dimiliki pasien.
“Jadi kan susah, mau mengerti tapi tidak punya datanya. Padahal misalnya dari cek darah ada banyak sekali informasi, dan dengan membandingkan data tahun ini dan tahun lalu kita bisa tahu banyak tentang kondisi kesehatan,” ujar pria berkacamata ini. “Kami memang bukan dokter tetapi kami ingin membuat pengguna itu sanggup. Jadi kami itu lebih ke arah asisten.”
Dari data-data yang sudah diunggah dan dimasukkan pengguna, saat ini Vivy sudah bisa memberikan tips agar seseorang mengulang imunisasi atau menambahkan imunisasi yang diperlukan ketika akan bepergian. Bagi pasien yang harus mengambil bermacam-macam obat per hari, Vivy akan mengingatkan, kapan obat harus diminum dan resiko yang mungkin terjadi jika obat-obatan tertentu diambil dengan bersamaan.
Fungsi “Fitness Tracker” juga kedepannya bisa mengingatkan, misalnya pengguna tidak banyak berlari, jika mempunyai kondisi jantung yang lemah.
Tantangan menjaga privasi data sensitif
Sebagai CTO Vivy, yaitu jabatan tertinggi dalam bidang teknis, Rowanto bertanggung jawab atas kualitas perkembangan produk dan kinerja tim dalam membuat segala sesuatu yang sudah direncanakan. Ia harus memastikan, bahwa produk-produk Vivy selesai tepat waktu dan diselesaikan dalam kualitas bagus.
Walaupun tugas sebagai CTO sangat disukai oleh Rowanto, seiring bertambah besarnya perusahaan, waktu kerjanya semakin banyak dihabiskan sebagai co-founder dan direktur pelaksana. Dalam jabatan ini tugas-tugas utamanya adalah untuk turut mengatur strategi perusahaan dan anggaran.
“Tidak gampang memastikan strategi perusahaan, juga karena ekspektasi yang tinggi dari pemerintah, pengguna dan dari mitra kami. Kami mencoba memenuhi semua ekspektasi dan harus memprioritaskan yang mana yang harus dikerjakan,” ujar Rowanto tentang tantangan pekerjaannya.
Di Jerman, data kesehatan tergolong data paling berharga dan perlu dilindungi dengan sangat baik. Untuk melindungi data-data sensitif ini Vivy menggunakan metode enkripsi end-to-end dan dengan demikian data hanya bisa dilihat oleh pengguna menggunakan ponselnya sendiri. Vivy sendiri tidak punya akses terhadap data pengguna yang dienkripsi end-to-end.
Tidak rumit membuka perusahaan di Jerman
Rowanto yang cukup puas dengan perkembangan Vivy saat ini mengatakan, sistem penerapan hukum di Jerman yang dinilainya berjalan sangat baik juga membuat proses pendirian perusahaan tidak rumit. “Dengan visa yang tepat, jika ada ide tinggal dikerjakan. Bangun prototip, komunikasikan, cari investor misalnya atau mulai dari kecil dan mungkin sudah mendapatkan keuntungan,” demikian saran Rowanto bagi yang ingin membuka perusaahaan di Jerman.
“Yang susahnya adalah untuk sukses dan membuat produk yang bagus,” ujar Rowanto yang tidak menutup kemungkinan untuk suatu hari nanti kembali ke Indonesia. Disamping kegigihan dalam melakukan sesuatu hal, Rowanto mempunyai sebuah tips lain: ”dalam sebuah startup, terutama di tahap awal, pivot atau penggantian ide adalah hal yang sangat normal. Justru harus sering iterasi ide. Saya percaya itu adalah salah satu hal yang bisa membuat orang mencapai hasil yang bagus,” papar Rowanto. (Ed: yp)