"Paman Gober" Jadi Pahlawan Nasional
7 Juni 2016Soekarno punya kekurangannya. Hatta, kolega terdekatnya, pernah menggambarkannya tanpa tedeng aling-aling. Sang Presiden adalah diktator. Ia tak terima kritik. Ia membangun sistem yang akan rontok seketika ia pergi.
Dan, ironis. Tak lama setelah tulisan "Demokrasi Kami" yang memuat kritik Hatta terbit, koran-koran diperingatkan agar tidak menerbitkan pikirannya lagi. Mantan wakil presiden pertama itu selepasnya kesulitan untuk bersuara melalui media, bahkan dengan media yang rutin menerbitkan pandangannya.
Kondisi ekonomi dan politik Indonesia memang ruwet pada masa itu. Ada yang mengatakan otoritarianisme Soekarno di sana-sini dapat dimaklumi. Di tengah-tengah maraknya pemberontakan sejumlah daerah serta kelompok, mencuatnya pendapat figur sekelas Hatta di publik rawan menginspirasi insurgensi baru. Dan Soekarno, kalau kita mau bersimpati dengannya, adalah sosok yang terlalu mencintai keutuhan Indonesia.
Namun, satu hal tetap tak dapat ditampik. Soekarno punya seteru. Ketidakpuasan Hatta pun, dapat dipastikan, hanya pucuk dari kegeraman yang terlihat. Dengan harga kebutuhan pokok yang terus-menerus menanjak dan ketidakengganan Soekarno memperlihatkan keriaan-keriaan istana ke khalayak, antipati terhadap presiden adalah hal yang terpupuk dan terus terpupuk.
Soe Hok Gie menumpahkan kepenatan ini dalam catatan hariannya. Soekarno, ia mencurigai, sedang didekadensi secara sistematis. "Seolah-olah Bung Karno mau dialihkan hidupnya dari insan yang cinta tanah air menjadi kaisar-kaisar yang punya harem," tulis Gie. "Tiap minggu diadakan pesta di istana dengan omongan cabul dan perbuatan-perbuatan cabul."
Soekarno menjadi pahlawan nasional
Soekarno diangkat menjadi pahlawan nasional pada 2012, tanpa keberatan berarti. Tak ada yang mempertanyakan kelayakannya. Kini, pertanyaan saya, apakah figur Soekarno akan memperoleh gelarnya semulus itu andai penghargaan diadakan awal 1970-an? Kita boleh meragukannya. Benar, kita tak bisa melupakan Orde Baru tengah melancarkan upaya-upaya desukarnoisasi saat itu. Tetapi, ingatan buruk publik ihwal masa kepemimpinannya pun masih terlalu pekat.
Terlepas benar atau salah tindakan-tindakannya sebagai presiden, sosok Soekarno belum pudar kelekatannya dengan masa-masa ekonomi paling pelik dalam sejarah pemerintahan Indonesia serta ketidakmampuan jajaran pemerintahan menanggapinya dengan satu bahasa yang dimengerti insan awam: cepat. Kendati masih memiliki basis pendukung dan citra yang nyaris mesianistis, Sukarno pun sudah menjadi sosok yang fana.
Penobatan kepahlawanan Soekarno, setidaknya bisa dipastikan, akan menghadapi lebih banyak suara miring dibanding ketika ia diangkat pahlawan nasional oleh Presiden SBY tempo hari, pada saat publik sudah berjarak dengan kekalutan pada masanya.
Bagaimana dengan Suharto?
Dan kini, pertanyaan kedua saya. Apakah Suharto, yang saat ini tengah diragukan kepatutannya untuk menjadi pahlawan nasional, sedang mengalami nasib yang saya ilustrasikan barusan? Apakah kita masih terlalu dekat dengan detik-detik pelengserannya sehingga belum bisa berpikir melampaui peninggalan-peninggalan buruknya? Apakah pikiran kita masih belum cukup jernih untuk memikirkan maslahat yang dibawakan kepresidenannya?
Suharto, yang memimpin Indonesia selama 32 tahun, lagi pula, memiliki cerita-cerita suksesnya. Kepresidenannya melanggengkan pemerintahan stabil yang benar-benar hanya dapat diimpikan sebelumnya. Seperti julukannya, Bapak Pembangunan, eranya diikuti dengan pertumbuhan ekonomi yang menjulang.
Singkat kata, argumentasi mengapa Suharto layak dijadikan pahlawan nasional akan selalu ada.
Namun, kita seyogianya tidak lupa dengan satu hal yang akan saya sampaikan ini, sampai kapan pun. Pada masa Suharto, kita pernah menjadi saksi tak berdaya ketamakan tiada tara yang dilindungi kesewenang-wenangan mengerikan. Gambarannya? Saya belum bisa membayangkan penggambaran yang lebih tepat dari analogi informan penelitian disertasi Francisia SSE. Seda ini.
"Bu, kalau kepala desa bisa memiliki dua lumbung, bukankah hal yang biasa bila presiden memiliki tiga lumbung?"
“Boleh-boleh saja. Masalahnya, orang-orang tersebut [Suharto dan para kroni] tidak memiliki tiga, melainkan sepuluh.”
Itulah yang, nyaris secara harfiah, terjadi.
Perkenankan saya memperlihatkan sekadar beberapa di antara kemarukan yang sangat memalukan tersebut.
Kemarukan demi kemarukan
Mungkin tak semua ingat ketika saya menyebut satu akronim ini: BPPC. Tetapi, banyak warga Indonesia Timur tak akan lupa. Mereka mengingat pendirian Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh ini sebagai permulaan hari-hari di mana mereka menebangi pohon cengkeh milik mereka.
Pada 1992, Suharto mengeluarkan Keputusan Presiden yang berujung cengkeh hanya bisa dipasarkan melalui BPPC. Badan ini diketuai oleh, terka saja, Hutomo Mandala Putra. Tommy Suharto. Sebelumnya, cengkeh dapat ditaksir Rp9.000-10.000 per kilogram. Tetapi, BPPC menetapkan petani harus melepasnya ke KUD dengan harga serendah Rp2.000-2.500 per kilogram (Pindai, 09/04).
Para petani, tentu saja, tak punya pilihan. Anak-anak petani cengkeh tak bisa melanjutkan sekolah. Banyak petani yang sebagai akibatnya terbelit kemiskinan dan sebagian memilih merantau ke kota, menjadi buruh kasar. Dan BPPC? BPPC, sebelum dibubarkan Gus Dur pada 1998, ditaksir ICW mengambil sejumlah uang yang seharusnya disalurkan kembali kepada petani. Negara dirugikan sebesar Rp1,9 triliun. Uang yang masuk ke kocek Tommy? Entah.
Ini baru satu cerita. Pada 1980, menurut laporan Tempo 16 November 1998, impor dan ekspor minyak serta gas Pertamina dilakukan oleh sebuah perusahaan perantara, Permindo. Perusahaan ini dimiliki tak lain oleh Bambang Trihatmojo, putra kedua Suharto, dan nama lain yang tak asing, Aburizal Bakrie. Perusahaan ini menghasilkan Rp183 miliar tiap bulan sampai dengan ia dibubarkan pada 1998.
Di sisi suplai dan distribusi bensin dari industri yang sama, terdapat lima pemain dan kelimanya punya relasi dengan Suharto serta keluarganya. Proyek pemasangan pipa gas sepanjang Pulau Jawa dimonopoli Tutut. Pembangunan Depo Pertamina dijalankan Ari Sigit. Enam puluh persen distribusi BBM di Indonesia dikuasai Titik Suharto—yang hari ini menjadi anggota DPR dari fraksi Golkar.
Dan, selain masih banyak lagi fakta penguasaan sumber daya berharga yang mencengangkan, masing-masing anak Suharto memiliki jatah sumur minyaknya.
Pemandangan keseharian keluarga Suharto ini bukan hanya memuakkan bagi warga biasa. Para jenderal, yang pernah begitu dipercaya Suharto dan memiliki aktivitas licinnya masing-masing, juga tak dapat menahan kegeramannya dari waktu ke waktu.
Ibnu Sutowo, ambil saja, yang kemudian memiliki dinasti bisnisnya sendiri yang acap dianggap bermasalah, tak menahan diri untuk berpendapat blak-blakan dalam wawancara dengan Seda. Suharto, menurutnya, terlalu korup. Ia tak akan pernah bisa mempunyai strategi industrialisasi nasional jangka panjang, imbuhnya.
Dan sejauh apa keberatan warga awam punya arti dalam situasi ini?
Saya gambarkan saja dengan sebuah cerita. Menurut satu cerita yang direkam A. Pambudi dalam bukunya Sintong dan Prabowo, suatu hari ketika keduanya bersantai bersama, Benny Murdani mengingatkan Suharto perihal anak-anaknya. Suharto, yang sedang bermain bilyar dengannya, serta-merta saja hening. Ia lantas memasuki kamarnya, meninggalkan Murdani sendirian. Suharto tersinggung.
Pada saat itu juga Murdani sadar, kata-katanya telah membelejeti kariernya sendiri. "Wah, bapake kethoke nesu banget," ujar Benny kepada Sudomo setelahnya. "Jadi [karier] saya pasti sudah selesai, hanya akan sampai di sini." Dan Murdani benar.
Murdani bukan orang sembarangan. Menurut David Jenkins yang menyusun penelitian paling komprehensif tentang drama di antara Suharto dan para jenderalnya, Murdani adalah salah satu sosok paling berkuasa di Indonesia pada masanya.
Memang, ada versi cerita lain tentang mengapa karier Murdani yang melesat tiba-tiba saja terantuk tembok tak terlihat. Namun, fakta bahwa cerita barusan berseliweran di mana-mana mengisyaratkan cerita ini terlalu masuk akal bagi banyak orang. Suharto, memang, dapat melakukan apa pun untuk melindungi kesemenaannya maupun kesemenaan mereka yang berada di lingkaran terdekatnya.
Apa yang dilakukan Suharto dalam kehidupan pribadinya pada hari-hari kejayaan tersebut?
Satu yang dapat dipastikan, ia disibukkan dengan kesenangan merumuskan petuah-petuah arif yang kemudian terhimpun dalam buku Butir-butir Budaya Jawa. Buku ini terbit pada 1987 dan, pada halaman pembukanya, Suharto mewariskan ini kepada anak-anaknya “sebagai pegangan hidup."
Apa yang diingat orang-orang dari buku ini adalah ajarannya—selayaknya buku-buku kebijaksanaan tentu. Namun, lebih tepatnya, ironinya. Ironi ajarannya.
Seberapa ironis?
Saya cuilkan saja satu nasihatnya: "Harta yang bersih itu harta yang asalnya dari bekerja dan dari hasil lainnya yang tidak merugikan orang lain. Sedang harta yang tidak bersih itu harta curian atau menemu kepunyaan orang lain yang ketahuan oleh yang kehilangan."
Tetapi, pada masanya orang-orang tak terlalu naif untuk mencari gambaran Suharto dari kata-katanya sendiri. Mereka mencarinya dari guyonan, cemooh, gosip karena di sanalah, kendati tak selalu akurat, mereka memperoleh gambaran yang tak munafik. Dan satu gambaran yang paling memuaskan saat itu datang dari cerpen Seno Gumira Ajidarma—"Kematian Paman Gober."
"Paman Gober memang terlalu kuat, terlalu licin, dan bertambah kaya setiap hari," tulis Seno dalam cerpennya. "Gudang-gudang uangnya berderet dan semuanya penuh." Paman Gober tak hafal lagi pabrik apa saja yang dimilikinya. Uang dicetak seakan untuknya. Namun dengan kekayaannya yang tanpa banding, para bebek masih diperas untuk bekerja tanpa bayaran olehnya.
Para bebek tak berdaya. Apa yang dapat dilakukan hanyalah menunggu Paman Gober, yang memang sudah lanjut usia, mati. Dan itulah yang mereka lakukan. Setiap pagi, mereka tak sabar melihat koran dengan harapan berita utama hari itu adalah kematian Paman Gober.
Siapakah Paman Gober?
Mungkin bukan siapa-siapa. Seno, mungkin saja, tak sedang berusaha mencemooh sosok nyata tertentu dan fiksinya tak pernah diniatkan menjadi lebih dari fiksi. Namun, fakta bahwa cerpen ini begitu mengisap perhatian pada masanya mengisyaratkan pembaca merasakan keterkaitan ganjil antara fiksi ini dengan kenyataan yang mereka hidupi.
Hidup mereka sama peliknya mungkin—berputar di satu sosok yang sama-sama sewenang-wenang dan vulgar dalam mementaskan kesewenang-wenangannya.
Suharto, dus, pada titik ini kita dapat mengatakan, punya kekurangannya. Kekurangannya dapat dihitung. Sama dengan kelebihannya. Namun, seandainya pun kelebihannya jauh lebih banyak, kekurangan Suharto fatal—terlalu fatal. Figurnya adalah ikon sebuah ketidakpatutan yang tak akan pernah bisa dibenarkan—yang mengawut-awut kehidupan satu negara semata untuk kenyamanan satu keluarga. Sepanjang Indonesia disepakati bersilakan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya dan kita masih ingat betapa sesaknya hari-hari di bawah pemerintahannya, pengangkatan Suharto menjadi pahlawan nasional adalah noda.
Kendati begitu, mungkin saja suatu hari kita lupa. Mungkin, itu yang diharapkan berbagai pihak yang mendesak penabalan kepahlawanannya. Mungkin apa yang mereka harapkan, ingatan kita yang tersisa tinggal betapa murah harga-harga di masa kepresidenannya, dan betapa tenangnya masyarakat di hari-hari itu.
Tetapi, saya percaya, banyak yang akan terus memastikan kita mengingat dengan benar. Bahwa hak kita, pada hari-hari kekuasaannya, sama murahnya. Bahwa ketenangan, pada masa itu, dibeli dengan kepatuhan buta.
Bahwa, sejatinya, kita tak menginginkan hari-hari itu kembali.
Penulis:
Geger Riyanto, esais dan peneliti sosiologi. Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di UI. Bergiat di Koperasi Riset Purusha.
@gegerriy
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.