231211 Ausstellung Vor dem Gesetz
11 Januari 2012„Di hadapan apa yang disebut “Hukum” berdiri seorang penjaga pintu. Kepada penjaga ini datang seorang lelaki dari desa dan meminta ijin untuk masuk ke dalam Hukum. Tapi penjaga pintu itu mengatakan, dia tak bisa memberikan izin masuk saat itu. Lelaki itu mengira Hukum sudah tutup dan bertanya, apakah nanti dia akan diizinkan masuk? "Mungkin saja," jawab si penjaga, "tapi tidak saat ini." Begitulah cuplikan cerita Franz Kafka, „Di hadapan Hukum”.
Kasper König adalah salah seorang kurator Jerman terkemuka. Akhir 2012, direktor museum Ludwig yang berusia 69 tahun ini akan mundur. Sebelumnya, ia menggarap program pameran baru yang diberi nama „Di Hadapan Hukum“ yang menyoroti tema hak azasi manusia dan martabat manusia dalam Seni Rupa Eropa dari abad ke-20 dan ke-21.
Mempertanyakan Fungsi Museum
Seperti tulisan Kafka yang penuh teka-teki, pameran di museum Ludwig Köln yang diberi nama “Di Hadapan Hukum” merupakan sebuah teka-teki besar.
Kunci teka-teki itu tidak dipegang oleh penjaga pintu, tetapi berada dalam suasana bangsal-bangsal besar yang terasa sakral. Ruangan sakral, yang seperti karya seni modern tidak selalu mudah diakses, apalagi dimengerti. Itu sebabnya direktur museum Ludwig, Kasper König menggunakan cuplikan dari tulisan Franz Kafka untuk mempertanyakan ragam fungsi sebuah museum. "Apa artinya, tidak boleh masuk? Ada apa dibalik pernyataan itu? Memang ada apa di dalam? Apa yang disisihkan olehnya? Di mana kanon, ketentuan batasannya"?
Pertanyaan eksistensial mendapat perhatian besar dari seniman-seniman pasca Perang Dunia kedua. Bagi mereka amat penting untuk menganalisa, apa artinya hidup di dunia yang melecehkan martabat manusia.
Dalam pameran yang kebanyakan menampilkan karya tiga dimensi, terdapat patung karya Wilhelm Lehmbruck dari tahun 1916 yang berjudul "Anak yang Duduk“. Patung ini merupakan salah satu ekspresi terpenting di masanya. Si anak duduk, penuh kesedihan memandang ke dalam dirinya sendiri.
Juga patung perunggu karya Gerhard Marcks yang menggambarkan tokoh mitologis Yunani, Prometheus menampilkan penderitaan. Tokoh mitologi yang awalnya menggambarkan kreativitas seniman, setelah Perang Dunia ke dua ditampilkan sebagai ekspresi kekecewaan. Kepalanya tunduk ke kiri hingga bertopang dengkul. Sedangkan kedua lengannya dalam belenggu, bertumpu pada dengkul kanan. Dalam patung ini, Marcks mengolah pengalamannya dengan ideologi Nazi.
Tubuh Yang Mudah Luka
Mudahnya melukai tubuh manusia merupakan tema yang diangkat oleh modernisme pasca perang. Sosok-sosok cacad yang diciptakan Henry Moore. Figur perempuan yang lunglai tak bertenaga karya Fritz Cremer. Patung-patung Alberto Giacometti yang berdiri ditunjang oleh satu kaki, semua menggambarkan rasa tidak berdaya.
Namun akhir 1960-an, karya-karya tiga dimensi semakin menjauh dari bentuk tubuh manusia. Salah satu contohnya adalah karya Carl André yang minimalis. Quader atau balok, dibuat dari papan kayu.
König menerangkan, "Karya Carl André sangat formal, terdiri dari kayu bantalan rel yang ditumpuk-tumpuk. Bentuknya persegi, geometris dengan ketinggian sekitar 2,20 meter. Bagi pengunjung, skulptur ini bisa tampak seperti ekspresi kegagalan, karena disamping skulptur itu terlihat sosok manusia yang ternoda."
Skulptur Carl André tampak bagai kawinan antara blokade jalan dan lokasi pemujaan yang modern. Ruang tengahnya yang kosong, tak bisa ditembus pandang mata. Pengunjung akan selalu berada di luar.
Tak jauh darinya terdapat tugu peringatan bagi kaum petani. Karya Markus Lehanka ini provokatif. Benda-benda tua dan rongsokan, seperti kursi dan jerami ditumpuk tinggi, dipucuknya bagai di singgasana duduk sebuah figur. Sikapnya yang menunduk, mengingatkan kepada karya-karya Marcks atau Lehmbruck.
Instalasi Yang Menuding
Di bagian tengah ruang masuk museum, pengunjung akan dihadapkan dengan instalasi karya seniman AS, Jimmy Durham. Berjudul "Building a Nation" – Membangun Sebuah Bangsa“, instalasi yang mengisi ruang itu tampak bagai sebuah gedung hancur.
Arsitekturnya meninggalkan kesan bahwa pernah ada pintu, jendela atau bahkan mebel di sana. Pada temboknya tercoret kutipan-kutipan terkait kaum Indian yang pernah diucapkan serangkaian politisi dan bintang film Amerika, seperti John Wayne yang bermain dalam film-film Western. Semua memberi efek perintah yang ganas.
"Karya Jimmy Durham ini begitu tegas, langsung, keras dan tidak bisa diterima. Ketika membuatnya ia sendiri merasa takut. Kalimat-kalimat itu jelas-jelas menyuruh pembunuhan masal kaum Indian, perintah genosida. Durham sendiri seorang Indian dan aktif memperjuangkan hak-hak suku asli, kaum pribumi. Sebenarnya, ia ingin menulis buku tentang pembantaian kaum Indian di Amerika. Tapi ternyata, bagi dia itu terlalu menyakitkan. Akhirnya ia kembali ke senirupa dan mengerjakan instalasi ini“, begitu ungkap Kasper König.
Dalam pameran Seni Rupa dan Hak Azasi Manusia, patung-patung bersejarah dihadapkan dengan instalasi modern. Karya-karya yang diikat benang merah "pelecehan martabat manusia". Pameran itu menjadikan ruang museum tempat ujian. Pengunjung bisa bertanya pada diri sendiri: "Sampai di mana kita sekarang?" Sebagai manusia, seniman dan masyarakat.
Sabine Oelze/Edith Koesoemawiria
Editor: Hendra Pasuhuk