Manfaatkan Pandora Papers untuk Mengusut Transparansi Pajak
6 Oktober 2021Berkas Pandora atau Pandora Papers, laporan investigasi Konsorsium Jurnalis Investigasi Internasional atau ICIJ, perlu dimanfaatkan sebaik mungkin oleh otoritas pajak di Indonesia untuk memberantas praktik penggelapan pajak yang diduga dilakukan pejabat negara, demikian menurut Bhima Yudhistira, direktur Center of Economics and Law Studies (CELIOS) dan Abdul Manan, anggota Majelis Etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Di dalam berkas itu, nama Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, dan Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, disebut di antara 35 pemimpin negara, 330 politisi, dan 130 elit super kaya dari 200 negara yang asetnya disimpan di negara surga pajak.
Juru Bicara Menko Kemaritiman dan Investasi, Jodi Mahardi, telah menjelaskan bahwa Luhut sempat mempimpin perusahaan bernama Petrocapital S.A tapi tidak lama. "Bapak Luhut Binsar Pandjaitan menjadi Direktur Utama/Ketua Perusahaan pada Petrocapital S.A pada tahun 2007 hingga pada tahun 2010. Perusahaan ini rencananya akan digunakan untuk pengembangan bisnis di luar negeri, terutama di wilayah Amerika Tengah dan Amerika Selatan," ujar Jodi dalam keterangan tertulis seperti dikutip Kompas, Selasa, 5 Oktober 2021.
Sementara Airlangga Hartarto dikutip dari Tempo, 4 Oktober 2021, mengklaim tidak tahu tentang pendirian perusahaan bernama Buckley Development dan Smart Property. Ia juga membantah dikatakan berniat mencairkan polis asuransi lewat dua perusahaan itu.
Perlu segera jemput bola
Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economics and Law Studies (CELIOS), mengatakan bahwa dugaan penggelapan pajak atau tax evasion oleh pejabat publik di Indonesia perlu segera diusut. "Penggelapan pajak dengan memanfaatkan perusahaan cangkang di luar negeri bisa dipidana," kata Bhima kepada DW Indonesia.
Bhima pun mendesak pemerintah untuk segera membentuk satuan tugas khusus lintas kementerian dan lembaga guna menyelidiki dugaan penggelapan pajak tersebut. Satgas ini perlu segera memeriksa Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), laporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT), dan laporan keuangan lainnya milik pejabat-pejabat yang namanya disebut di dalam Berkas Pandora.
"(Pemerintah) perlu jemput bola dengan memanggil pihak-pihak terkait yang namanya disebut dalam Pandora Papers. Selain laporan pajaknya, yang juga perlu diperiksa ialah informasi rekeningnya. Karena, pada nominal tertentu, pemerintah atau Kementerian Keuangan boleh melihat informasi transaksi perbankannya," ujar Bhima kepada DW Indonesia.
Apabila informasi di dalam LHKPN dan SPT berbeda dengan fakta, dan pejabat-pejabat negara itu tidak bisa menyanggah perbedaan tersebut, satgas perlu menaikkan status kasus itu ke tahap pemeriksaan wajib pajak.
Sedangkan Abdul Manan dari AJI mengatakan bahwa penggelapan pajak akan mengurangi pendapatan pajak negara. Karena itu, ia mengatakan bahwa pemerintah dapat memanfaatkan laporan dari Berkas Pandora untuk memaksa siapa saja untuk melaporkan kekayaan secara jujur.
"Informasi-informasi yang diungkap oleh media melalui proyek kolaborasi liputan seperti ini harusnya digunakan oleh pemerintah untuk kebutuhan penegakan hukum dan untuk memberikan sinyal yang keras kepada pengusaha untuk lebih taat pajak dan tidak berusaha menghindari pajak dengan skema apa pun," kata Manan kepada DW Indonesia.
Berdasarkan laporan IMF pada September 2019, kerugian pemerintah-pemerintah di dunia akibat penyimpanan uang di negara-negara surga pajak secara kolektif berkisar antara 500 miliar dan 600 miliar dolar Amerika Serikat per tahun dalam bentuk hilangnya pendapatan pajak perusahaan.
Mengapa aset disimpan di negara surga pajak?
Bhima menyayangkan bahwa sejumlah yang nama disebut di dalam laporan terdahulu, Berkas Panama, yang dikeluarkan oleh lembaga yang sama, masih tetap diizinkan berbisnis. Beberapa dari mereka bahkan diberi jabatan di dalam struktur pemerintahan tanpa adanya proses penyelidikan yang layak terkait laporan itu.
"Semoga nasib Pandora Papers tidak mengulang lagi kejadian laporan sebelumnya (Panama Papers), seakan terjadi normalisasi praktik perusahaan cangkang di tax haven padahal pemerintah sedang berkomitmen melakukan reformasi pajak lewat RUU HPP," kata Bhima.
Bhima menegaskan bahwa penting bagi pejabat negara di Indonesia untuk mencontoh sikap Menteri Perindustrian Spanyol Jose Manuel Soria dan Perdana Menteri Islandia, Sigmundur David Gunnlaugsson, yang berani mundur dari jabatannya setelah keduanya tersangkut kasus Berkas Panama pada tahun 2016.
Menurut Bhima, perusahaan atau perorangan dapat disebut telah menggelapkan pajak jika mereka secara sengaja memindahkan hartanya ke perusahaan cangkang dan secara sengaja pula merahasiakan nilainya, sehingga nilai harta yang sesungguhnya berbeda dengan nilai harta yang ditulis dalam laporan pajak.
Padahal, korporasi berkewajiban menyampaikan kepada Kementerian Hukum dan HAM tentang siapa saja pemilik korporasi, demikian menurut Peraturan Presiden No.13/2018 tentang Prinsip Mengenai Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
Bhima menjelaskan, wajib pajak perorangan dan korporasi ‘nakal' biasanya menggunakan perusahaan cangkang untuk memanipulasi transaksi yang bernilai besar. Tujuannya ialah untuk mempersulit penegakan kepatuhan pajak di negara asal.
Negara-negara seperti Bahama, Panama, dan Kepulauan Virgin Britania Raya sering dipilih sebagai lokasi pendirian perusahaan cangkang karena negara-negara tersebut dikenal sulit diajak bekerja sama dalam hal pertukaran data oleh otoritas pajak negara asal nasabah. Karena itulah negara-negara ini dikenal sebagai surga pajak atau tax haven.
Di masa depan, kebutuhan akan kolaborasi untuk mengungkap adanya dugaan penggelapan pajak dan korupsi akan menjadi semakin penting, demikian kata Abdul Manan dari AJI. Ia pun meyakini bahwa Berkas Pandora tidak akan menjadi laporan yang terakhir keluar dan akan terus muncul proyek-proyek kolaborasi sejenis ini di antara wartawan-wartawan investigasi.
"Karena kita tahu bahwa korupsi masih menjadi penyakit laten di kita dan belum ada tanda-tanda sembuh dalam waktu dekat," ujarnya. (ae)