1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialAsia

Kewajiban Hijab Bagi Para Artis Iran

7 November 2023

Sejumlah pekerja seni di Iran tidak lagi diperbolehkan bekerja, jika tampil di depan publik tanpa hijab. Siapapun yang tidak ingin kehilangan pekerjaaannya, harus menyesuaikan diri dengan aturan rezim Mullah.

https://p.dw.com/p/4YTLS
Artis araneh Alidoosti
Aktris Taraneh Alidoosti setelah dibebaskan dari penjara pada tahun 2022Foto: Gisoo Faghfouri/Sharghdaily/AP Photo/picture alliance

Pada akhir Oktober, Kementerian Kebudayaan dan Orientasi Islam Iran menerbitkan daftar aktris yang dilarang berkarier karena tampil tanpa hijab di depan publik. "Yang tidak menghormati hukum, tidak boleh bekerja,” tegas Menteri Kebudayaan dan Orientasi Islam, Mohammad Mehdi Esmaeili.

sejauh ini ada dua puluh orang dalam daftar itu, termasuk nama-nama artis terkenal dunia seperti Taraneh Alidoosti. Alidoosti, 39 tahun, yang telah membintangi beberapa film pemenang penghargaan internasional, termasuk "The Salesman" karya Asghar Farhadi, yang memenangkan Oscar untuk film berbahasa asing terbaik pada tahun 2017.

Taraneh Alidoosti: Ditangkap setelah postingan Instagram

Bahkan di luar negeri, Alidoosti tetap mengenakan hljab di segala acara. Hal ini berubah pada bulan November 2022 ketika terjadi protes nasional menyusul kematian Jina Mahsa Amini yang berusia 22 tahun.  Sebagaimana diketahui Amini ditangkap polisi moral karena dianggap melanggar aturan berpakaian islami dan meninggal dunia dalam tahanan polisi.

Alidoosti memposting foto dirinya tanpa kerudung di akun Instagram miliknya. Aktris ini memiliki lebih dari delapan juta pengikut di platform tersebut. Dalam foto itu, dia memegang selembar kertas bertuliskan slogan "Perempuan, Kehidupan, Kebebasan" untuk mengekspresikan solidaritasnya terhadap gerakan perempuan di Iran dan mereka yang memprotes sistem politik dan aturan  berjilbab di Iran.

Alidoosti ditangkap tak lama setelah memposting fotonya pada November 2022 dan baru dibebaskan dengan jaminan dua minggu kemudian. Menanggapi hal itu, dia menulis di akun Instagram-nya: "Saya tidak akan menyerahkan hijab, yang masih meneteskan darah saudara perempuanku."

Di Iran, tampil di depan umum tanpa kerudung bisa jadi nyawa taruhannya. Hal ini juga ditunjukkan dengan kasus tragis yang dialami siswi berusia 16 tahun Armita Garawand. Pada awal Oktober dia ke sekolah tanpa mengenakan hijab. Setelah diduga bertengkar dengan penjaga moral di kereta bawah tanah, dia harus dirawat di rumah sakit karena mengalami kelumpuhan otak. Sejak saat itu dia koma dan pada akhir Oktober meninggal dunia.

Kemarahan di kalangan perempuan muda Iran

Seorang pelajar muda dari ibu kota Teheran menekankan dalam sebuah wawancara dengan DW: "Kami mempertaruhkan hidup kami setiap hari karena kami bepergian tanpa hijab. Sangat menyedihkan melihat banyak aktris masih menaati kehendak rezim." Dia merujuk pada penampilan publik terakhir para pekerja film di Iran saat berlangsungnya pemakaman sutradara Dariush Mehrjui pada 18 Oktober.

Industri film dan publik di Iran dihebohkan dengan pembunuhan sutradara berusia 83 tahun itu dan istrinya, penulis skenario Wahideh Mohammadifar. Keduanya ditemukan di rumahnya pada pertengahan Oktober dengan luka tusuk di leher. Pihak yang berwenang menduga pembunuhan itu dilakukan oleh tukang kebun mereka. Namun masih banyak keraguan. Mehrjui, seperti banyak pembuat film lainnya di Iran, terus-menerus berkonflik dengan aparat keamanan. Pada bulan Maret 2022, ketika film terakhirnya, "La Minor", menjadi korban sensor, sutradara tersebut meluapkan amarahnya pada Kementerian Kebudayaan rezim Mullah melalui pesan video: "Ayo bunuh saya," teriaknya.

Banyak aktris ternama yang mengenakan hijab saat pemakaman tokoh perfilman itu. Satu-satunya orang yang tidak mengenakan hijab adalah Mona Mehrjui yang berusia 16 tahun. Ia adalah putri Mehrjui.

"Perlawanan terus berlanjut"

“Saya memahami bahwa generasi muda marah kepada kami. Generasi saya konservatif dan berhati-hati,” kata Shole Pakravan kepada DW. Pemain teater dan penulis buku itu tinggal di Jerman sejak 2017. Tiga tahun sebelumnya, putrinya Reyhaneh Jabbari dieksekusi di Iran, karena melukai seorang pria yang mencoba memperkosanya. Shole Pakravan sekian lamanya memperjuangkan nasib putrinya di Iran, namun perjuangannya gagal. Setelah eksekusi Reyhane, ia tidak mau menyerah. Ia berjuang di luar negeri, menyuarakan tuntutan kaum tertindas di Iran.

“Saya tahu bahwa ‚ongkos‘ perlawanan di Iran saat ini sangatlah tinggi,” kata Pakravan, seraya menambahkan: “Mereka yang tidak ingin dilenyapkan, mengikuti ketentuan mengenakan hijab. Namun perjuangan ini belum berakhir. Hal ini telah berubah dan akan terlihat dalam bentuk lain. Mereka yang berkuasa tidak akan pernah bisa mengabaikan apa yang terjadi di Iran tahun lalu. Mereka kini bertemu dengan generasi perempuan muda yang tahu apa yang mereka inginkan: Kebebasan dan berakhirnya tekanan.” (ap/hp)