Pasukan Militer Myanmar Tembaki Warga Desa, 25 Tewas
5 Juli 2021Sedikitnya 25 orang tewas setelah pasukan keamanan Myanmar menembaki penduduk desa, menurut media lokal dan laporan saksi pada Minggu (04/07).
Kekerasan terjadi pada Jumat (03/07) di pusat kota Depayin di wilayah Sagaing.
Apa yang perlu diketahui sejauh ini?
Sekitar 150 tentara ditempatkan ke enam desa dekat Depayin pada Jumat (04/07), menurut media Than Lwin Khet News. Aparat keamanan kemudian dilaporkan menembaki penduduk desa.
"Ada orang yang sekarat di pertanian dan di dekat rel kereta api. Mereka (tentara) menembak semua yang bergerak," kata seorang warga Depayin yang tidak mau disebutkan namanya kepada kantor berita Reuters.
Tentara dilaporkan menargetkan daerah itu karena kehadiran Tentara Pertahanan Rakyat (PDF), sebuah kelompok oposisi bersenjata yang melawan militer Myanmar.
Anggota muda lokal dari PDF menggunakan senjata darurat untuk melawan serangan militer ke daerah tersebut. Penduduk desa menggunakan pedang dan senapan buatan sendiri, tetapi kewalahan oleh daya tembak militer.
Warga setempat mengatakan setidaknya 25 orang tewas akibat kekerasan itu.
Militer Myanmar belum mengeluarkan pernyataan terkait kekerasan tersebut. Sebuah surat kabar yang dikelola negara mengklaim "teroris bersenjata" menyergap tentara yang sedang berpatroli di wilayah tersebut.
Bagaimana situasi politik di Myanmar?
Myanmar telah diperintah oleh junta militer sejak kudeta terjadi pada 1 Februari. Militer merebut kekuasaan setelah menangkap Pemimpin Sipil Aung San Suu Kyi dan anggota lain dari partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang berkuasa.
Warga turun ke jalan untuk memprotes kudeta militer ini. Namun, militer meresponsnya dengan menindak keras para demonstran, yang kemudian memicu kecaman internasional.
Kudeta telah memaksa lebih dari 230.000 orang mengungsi dari rumah mereka, menurut PBB.
Kelompok bantuan tahanan AAPP mengklaim lebih dari 890 orang telah tewas dalam beberapa bulan sejak kudeta, dengan ribuan telah ditangkap oleh junta.
Militer ingin memata-matai percakapan warga
Eksekutif senior asing dari perusahaan raksasa telekomunikasi di Myanmar telah diberitahu oleh junta bahwa mereka tidak boleh meninggalkan negara tanpa izin. Sebuah pesan yang bersifat rahasia memerintahkan bahwa para eksekutif senior, baik warga Myanmar maupun warga asing, harus meminta otorisasi khusus jika ingin meninggalkan negara.
Seminggu kemudian, perusahaan telekomunikasi mendapat surat kedua yang berisikan informasi bahwa mereka punya waktu sampai Senin (05/07) untuk menerapkan teknologi yang sebelumnya diminta oleh militer yakni untuk memata-matai percakapan telepon, pesan singkat, penggunaan jaringan internet dan web, serta melacak pengguna oleh mereka sendiri.
Informasi ini didapatkan oleh seorang sumber yang tidak ingin diketahui identitasnya, namun Reuters belum melihat perintah itu.
Pesan tersebut juga dibarengi dengan tekanan dari militer terhadap preusahaan telekomunikasi itu. Larangan perjalanan diberlakukan setelah militer mengintensifkan tekanan mereka terhadap pengawasan.
Sumber itu mengatakan larangan perjalanan dimaksudkan untuk memberi tekanan pada perusahaan telekomunikasi agar segera menyelesaikan pengaktifan teknologi spyware.
Tiga sumber lain dari perusahaan telekomunikasi yang juga tak ingin diketahui identitasnya, mengatakan bahwa pihak berwenang meningkatkan tekanan terhadap perusaahan untuk menerapkan teknologi spyware itu, tetapi menolak untuk menguraikan lebih lanjut.
Dua sumber mengatakan bahwa perusahaan telah diperingatkan berulang kali oleh junta pejabat tidak untuk berbicara di depan umum atau ke media tentang ini.
Perusahaan telekomunikasi Telenor menolak untuk berkomentar. Tidak juga ada tanggapan langsung dari Ooredoo, perusahaan BUMN MPT dan Mytel, perusahaan yang dioperasikan oleh Vietnam Viettel dan konglomerat militer Myanmar.
Beberapa bulan sebelum kudeta1 Februari, perusahaan telekomunikasi dan penyedia internet diperintahkan untuk memasang spyware agar militer dapat menyadap komunikasi warga, demikian laporan Reuters pada Mei.
Militer telah memutus akses internet dan hingga kini belum sepenuhnya dikembalikan seperti keadaan normal.
pkp/ha (Reuters, dpa)