PBB Serukan Peninjauan Independen Hukum Keamanan Hong Kong
4 September 2020Pelapor khusus PBB terkait hak asasi manusia telah menginformasikan kepada Cina bahwa undang-undang keamanan nasional untuk Hong Kong menimbulkan risiko serius terhadap hak-hak fundamental dan memperingatkan bahwa undang-undang itu dapat digunakan untuk menuntut kebebasan bersuara aktivis.
Surat bersama, yang dikeluarkan pada hari Jumat (4/9) juga mengatakan bahwa undang-undang baru tersebut tampaknya merongrong independensi hakim dan pengacara Hong Kong, serta hak atas kebebasan berekspresi.
Undang-undang yang mengkriminalisasi pemisahan diri, subversi, terorisme, dan kolusi dengan pasukan asing, telah membungkam banyak pengunjuk rasa dan aktivis.
Pihak berwenang di Beijing dan Hong Kong mengatakan undang-undang itu diperlukan untuk memastikan stabilitas dan kemakmuran wilayah tersebut.
"Undang-Undang Keamanan Nasional menimbulkan risiko serius terhadap kebebasan fundamental dan perlindungan hukum," kata surat itu, memperingatkan bahwa undang-undang tersebut dapat "melanggar hak atas kebebasan berpendapat, berekspresi, dan berkumpul secara damai."
PBB juga menyerukan peninjauan hukum yang sepenuhnya independen untuk memastikan undang-undang itu sesuai dengan kewajiban hak asasi manusia Cina.
Surat setebal 14 halaman itu dikirim oleh Fionnuala Ni Aolain, pelapor khusus PBB tentang perlindungan hak asasi manusia saat melawan terorisme, dan enam utusan PBB lainnya.
Para penandatangan mengatakan tindakan hukum tidak sesuai dengan kewajiban hukum Cina di bawah hukum internasional, dan menyuarakan keprihatinan bahwa hukum "kurang presisi dalam hal-hal utama dan melanggar hak-hak fundamental tertentu."
Hukum "tidak boleh digunakan untuk membatasi kebebasan fundamental yang dilindungi, termasuk hak untuk berpendapat, berekspresi, dan berkumpul secara damai." Surat itu juga mengatakan undang-undang itu bisa membuat ilegal "banyak kegiatan sah" para pembela hak di Hong Kong.
Para penandatangan PBB juga meminta Cina untuk menjelaskan bagaimana rencananya untuk menegakkan "yurisdiksi ekstra-teritorial" untuk memastikan undang-undang itu mematuhi perjanjian internasional tentang hak-hak sipil dan politik, yang ditandatangani oleh Beijing.
Surat itu juga memperingatkan bahwa definisi terorisme di bawah undang-undang baru itu tidak sejalan dengan definisi Dewan Keamanan PBB, karena definisi Cina meluas ke kerusakan properti fisik seperti fasilitas transportasi.
Sejak undang-undang tersebut diberlakukan, beberapa negara telah mengakhiri kesepakatan bilateral dengan Cina, termasuk hak istimewa perdagangan dengan AS, serta perjanjian ekstradisi dengan AS, Inggris, Australia, dan Jerman.
ha/vlz (AFP, Reuters)