Pelatihan mencegah ekstremisme diharapkan bisa melibatkan para guru, dosen, penceramah dan pengelola rumah ibadah. Namun pelatihan ini terancam mubazir, tidak sesuai harapan karena sungguh sulit menyamakan persepsi.
Pekerjaan rumah pemerintahan Presiden Joko Widodo kembali bertambah yakni mengusut pelaku kasus bom bunuh diri di Gereja Katedral, Makassar. Sebelumnya ada kasus pembunuhan empat warga Sigi, Sulawesi Tengah. Tersangka pelaku bom Makassar menurut polisi adalah anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan Islamic State (ISIS). Sedangkan pelaku teror di Sigi, Sulawesi Tengah adalah Mujahidin Indonesia Timur yang hingga kini masih buron.
Selain terorisme dan radikalisme, PR Indonesia lainnya adalah kebebasan beragama. Sepanjang 2020 Amnesty Internasional mencatat ada 21 kasus pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia. Korban terbanyak adalah penolakan pembangunan rumah ibadah. Situasi yang dilematis bagi umat minoritas di Indonesia, sebab ketika beribadah di rumah -bukan di rumah ibadah-, ancaman pembubaran kerap terjadi, padahal untuk membangun rumah ibadah izin sangat sulit diperoleh.
Ketika terjadi kasus kekerasan berlatar belakang agama, maka pejabat pemerintahan, para tokoh politik dan tokoh agama akan bersuara menyatakan agama tidak mengajarkan kekerasan. Namun klaim yang selalu diulang-ulang tersebut tidak berhasil mengubah fakta bahwa kekerasan atas nama agama masih terjadi.
Salah satu faktor penyebab kekerasan atas dasar agama adalah ekstremisme yang menguat di kalangan konservatif yang makin eksklusif. Ekstremisme pada seseorang berawal dari intoleransi, lalu menjadi radikal, sehingga peluang terjadinya kekerasan atas nama agama lebih besar. Sebaliknya semakin toleran seseorang maka kecenderungan untuk mengarah pada ekstremisme semakin kecil dan potensi terjadinya kekerasan atas nama agama semakin tertutup.
Karena itu Keputusan Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE) Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024 adalah sebuah keputusan penting. Salah satu langkah pencegahan yang hendak dilakukan pemerintah adalah dengan menggelar pelatihan mencegah ekstremisme untuk guru dan dosen, termasuk guru agama untuk semua jenjang pendidikan formal mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Sekolah dan kampus dilibatkan karena materi soal ini belum ada dalam kurikulum pendidikan formal sehingga Kemendikbud, Badan Nasional Penanggulangan Teroris dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) akan menjadi penanggung jawab program. Sedangkan pelibatan penceramah dan pengelola rumah ibadah dalam pelatihan mencegah ekstremisme guna mendorong moderasi beragama. Masalahnya tidak semua masyarakat antusias menyambut keseriusan pemerintah mencegah ekstremisme.
Ribut Soal Definisi
Alih-alih mengusulkan bentuk pelatihan atau muatan program moderasi beragama, Partai Kesejahteraan Sosial, PKS malah meributkan soal definisi. Fraksi PKS di DPR menuding pemerintah membuat tafsir sendiri mengenai ekstremisme yang tidak jelas bentuk dan ukurannya, mengutip dari Suara.com 21 Januari 2021 silam.
Definisi ekstremisme menurut Pasal 1 ayat (2) Perpres No 7/2021 tentang RAN PE, ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme adalah keyakinan dan/atau tindakan yang menggunakan cara-cara kekerasan atau ancaman kekerasan ekstrem dengan tujuan mendukung atau melakukan aksi terorisme. Dengan demikian mengacu pada pasal 1 ayat (2) di atas, ketika seseorang atau sekelompok orang baru memiliki keyakinan saja (belum melakukan tindakan) untuk menggunakan kekerasan untuk tujuan mendukung (belum melakukan) aksi terorisme maka orang atau kelompok tersebut sudah masuk dalam definisi ekstremisme. Pemerintah dalam hal ini membuat batasan sedini mungkin yaitu sejak dari keyakinan dan dalam bentuk mendukung saja maka orang atau kelompok sudah memenuhi definisi ekstremisme berbasis kekerasan.
Definisi pemerintah memang ada celah untuk diperdebatkan. Apakah keyakinan itu sesuatu yang berbahaya? Seseorang tentu tidak bisa dilaporkan jika keyakinannya pada ekstremisme tidak diketahui orang lain. Tetapi jika keyakinan itu dibagikan ke orang lain dan mendorong atau menginspirasi serta berkaitan dengan kekerasan yang bisa berujung pada terorisme maka keyakinan itu menjadi berbahaya. Anda menggantung bendera ISIS di depan rumah, bagi tetangga yang melihat bendera itu, ia bisa tidak tenang menjadi tetangga Anda sebab ia menganggap Anda ekstremis.
Saya menyarankan agar kelompok masyarakat yang keberatan pada Perpres 7/2021 menggunakan kekerasan sebagai parameter ketimbang meributkan definisi ekstremisme. Jika Anda setuju pada penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan kelompok idola Anda, itulah ekstremisme. Bandingkan dengan negara lain, Satgas Perdana Menteri Menangani Ekstremisme di Inggris, sejak tahun 2011 pemerintah mendefinisikan ekstremisme sebagai vokal atau oposisi aktif terhadap nilai-nilai fundamental Inggris, termasuk demokrasi, supremasi hukum, kebebasan individu dan saling menghormati serta toleransi dari berbagai agama dan keyakinan. Mempersoalkan definisi ekstremisme justru membuat masyarakat semakin terbelah dan sulit bersatu untuk melawan radikalisme dan terorisme.
Muatan Toleransi Hingga Demokrasi
Ketika seseorang sudah mempunyai suatu keyakinan untuk melakukan kekerasan terhadap orang atau kelompok lain dengan tujuan terorisme, tanpa butuh waktu lama orang ini bisa melakukan aksinya atau membujuk orang lain beraksi secara langsung atau tidak langsung. Bayangkan jika seseorang itu berprofesi sebagai guru, dosen atau penceramah agama dan pengelola rumah ibadah, empat kelompok profesi mulia, terpandang dan dihormati dalam masyarakat serta mampu memberikan pengaruh yang besar terhadap diri orang lain. Namun guru, dosen, penceramah agama dan pengelola rumah ibadah itupun bukan orang bodoh yang bisa disetir pemerintah atau disuapi mentor pelatihan. Bahkan program pelatihan inipun belum tentu dianggap penting oleh keempat kelompok target tersebut.
Pemerintah perlu merancang program pelatihan yang partisipatif, aktif dan aktual dengan baik bagi keempat kelompok target tersebut. Sebab mereka adalah orang-orang yang mempunyai otoritas yang mungkin tidak berminat diajari (lagi) untuk urusan mencegah ekstremisme. Apalagi jika keempat kelompok target tersebut merasa tidak berperilaku mengarah pada ekstremisme. Sebagai contoh, seorang dosen di sebuah universitas negeri yang meminta namanya tidak disebut menceritakan kepada saya, di kampusnya yang menjalar adalah intoleransi. Tanpa disadari banyak keputusan intoleransi yang terjadi, misal jarang sekali ketua kelas atau jabatan organisasi diemban mahasiswa atau mahasiswi dari umat minoritas. Sementara ada dosen mengatakan kafir kepada mahasiswa yang berbeda agama atau cenderung berpolitik di kampus di saat seharusnya dosen netral. Karena itu pelatihan antiekstremisme harus mulai dari hal mendasar seperti toleransi hingga yang membangun mencakup demokrasi dan hak asasi manusia.
Sulitnya Menyamakan Persepsi
Namun persoalannya, dalam pelatihan mencegah ekstremisme ini pemerintah perlu menyamakan persepsi terkait sejumlah hal pokok yang sering menjadi sumber polemik dalam masyarakat. Contoh mulai dari yang sederhana seperti soal ujaran kebencian berbau SARA, ucapan Selamat Hari Raya kepada umat agama lain, menghadiri perayaan agama lain, hingga Syiah, Ahmadiyah, Al Maidah 51, khilafah, hukum syariah, Wahabisme dan lain sebagainya. Apakah pemerintah sudah siap dengan rumusan yang bisa diterima semua kalangan, definisi baku untuk pegangan pelatihan guru, dosen, penceramah dan pengelola rumah ibadah? Belum lagi jika menyangkut pencegahan ekstremisme dan terorisme maka keempat kelompok target perlu dibekali pengetahuan soal geopolitik, pengenalan tentang kelompok teroris dan soal jihad.
Menyamakan persepsi ini tak mudah. Contohnya, Kamus Besar Bahasa Indonesia, KBBI menyodorkan tiga makna jihad. Pertama, jihad adalah usaha dengan segala daya upaya untuk mencapai kebaikan; kedua, usaha sungguh-sungguh membela agama Islam dengan mengorbankan harta benda, jiwa dan raga; ketiga, perang suci melawan orang kafir untuk mempertahankan agama Islam. Ada pula jihad fi sabilillah yang berarti jihad pada jalan Allah (untuk kemajuan agama Islam atau untuk mempertahankan kebenaran). Saya menemukan tulisan dalam situs Kajian Timur Tengah dan Studi Hubungan Internasional yang memuat soal jihad, ditulis oleh seorang dosen Hubungan Internasional universitas di Bandung.
Saya kutip satu paragraf sebagai contoh: "Dan buat pejuang Palestina, semangat jihad ini sangat efektif. Para pejuang bertempur tidak takut mati, karena mati akan membawa mereka ke surga. Memang ada ayatnya di Quran (sesungguhnya mereka yang berjihad di jalan Allah itu tidak mati, melainkan tetap hidup dan mendapat rizki QS 3:169). Tapi, jangan samakan jihad meraih kemerdekaan yang dilakukan pejuang Palestina dengan "jihad” palsu ala ISIS, Al Qaida, Al Nusra dan sejenisnya. Sekali lagi, lihat konteks dan sejarahnya.” Tulisan tahun 2014 ini masih relevan dengan konflik Israel dan Palestina tahun 2021. Sang penulis pun masih aktif menulis soal Timur Tengah.
Jika menyesuaikan dengan definisi KBBI, jihad dalam artikel tersebut tidak ada yang pas sebab konflik Israel dan Palestina tersebut bukan karena agama. Sebaliknya ISIS karena ingin mendirikan Negara Islam Irak dan Suriah justru bisa dianggap melakukan jihad sesuai definisi ketiga. Karena itulah banyak orang Indonesia yang pergi ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS.
Jika mengacu pada definisi ekstremisme berbasis agama maka penulis di atas sudah mendukung jihad. Namun apakah ia mendukung kekerasan dengan tujuan terorisme? Tentu banyak yang mengatakan tidak. Nah, ini yang saya maksudkan dengan menyamakan persepsi. Untuk terorisme yang sangat terang definisinya saja, masyarakat masih sulit mengutuk terorisme. Hal ini sangat jelas terlihat saat bom Makassar terjadi. Alih-alih mengakui ada kelompok yang salah memahami agama, suara yang terdengar adalah imbauan agar tidak mengaitkan dengan agama tertentu.
Mengakui kelemahan adalah pintu masuk untuk melawan terorisme. Sebaliknya, penyangkalan hanya akan membiarkan kasus teror kembali terjadi. Jika untuk kasus terorisme saja tidak ada kesatuan pendapat, bagaimana dengan ekstremisme yang skala dan kadarnya bervariasi. Percayalah, akan sangat sulit menyamakan persepsi.
Di sinilah pemerintah berperan untuk memberikan pelatihan bagi guru, dosen, penceramah agama dan pengelola rumah ibadah agar bisa menjadi garda terdepan pencegahan ekstremisme sebab kebencian terhadap suku, agama, ras dan antar golongan itu diajarkan bukan muncul secara alami. Selama ini perhatian media massa, publik dan netizen tersedot pada ujaran kebencian, belum pada ajaran kebencian. Mestinya ujaran kebencian terjadi karena ada yang mengajarkan kebencian yang mendorong orang mengeluarkan hate speech. Karena itu pemerintah perlu benar-benar memastikan pelatihan mencegah ekstremisme ini mencapai target dan tujuan agar pelatihanantiekstremisme ini tidak mubazir. Pemerintah perlu mengungkap akar ekstremisme itu. Pelatihan antiekstremisme hanya bisa berhasil sesuai target jika pemerintah mencabut akar ekstremisme itu.
@monique_rijkers adalah wartawan independen, IVLP Alumni, pendiri Hadassah of Indonesia, inisiator Tolerance Film Festival dan inisiator #IAMBRAVEINDONESIA.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis
*Bagi komentar Anda dalam kolom di bawah ini.