Warga di Yogyakarta Ajak Masyarakat Adopsi Sarang Burung
10 Agustus 2022Butuh sekitar satu jam perjalanan untuk menempuh jarak 43 km dari Kota Yogyakarta menuju Desa Jatimulyo, Girimulyo, Kabupaten Kulon Progo. Sesampainya di desa yang dijuluki sebagai suaka burung ini, pengunjung akan disambut rindangnya aneka pepohonan dan berbagai warung kopi. Salah satunya adalah Kedai Kopi Mbah Kino yang menyediakan seduhan kopi asli Jatimulyo.
Riyadi, pemilik Kedai Kopi Mbah Kino sebelumnya merantau sebagai buruh di Karawang, Jawa Barat, hingga ke Samarinda, Kalimantan Tengah. Saat itu ia mengaku sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan di desanya. Namun ia kembali dan memutuskan untuk membangun kedai kopi setelah desanya kembali ramai didatangi burung-burung.
Apa hubungan kembalinya Riyadi dengan keberadaan burung-burung?
"Sejak ada Peraturan Desa (Perdes) Pelestarian Lingkungan Hidup, Jatimulyo pembangunannya jadi terarah dan ekowisata terutama konservasi burung membawa rezeki bagi warganya," tutur Riyadi kepada DW Indonesia.
Perdes tersebut melarang aktivitas yang merusak lingkungan, misalnya menangkap burung dan satwa lain seperti trenggiling dan musang yang hidup di hutan perkebunan desa yang berada di kawasan Pegunungan Menoreh. Berisi 68 pasal, Perdes No.8/2014 bertujuan mengatur kehidupan Desa Jatimulyo agar selaras dengan alam.
Desa incaran pemburu burung
Salah satu mantan pemburu burung yang kini justru giat melakukan konservasi adalah Supangat. Rumahnya persis berbatasan dengan Gunung Kelir membuatnya lihai berburu karena terbiasa dan hafal dengan bentang alam Jatimulyo. Supangat mengaku berburu sejak awal tahun 2000 hingga 2012.
"Berbagai cara saya lakukan dulu, dari mengambil anakan burung di sarang sampai pakai jebakan lem," kenang Supangat.
Burung yang jadi target utama perburuan Supangat adalah burung kecil yang oleh warga lokal disebut burung Sulingan dan menjadi ciri khas Jatimulyo. "Burung Sulingan jarang ditemukan di tempat lain," ujar Supangat. Ia mengaku sangat ahli berburu hingga hafal lokasi-lokasi mana saja yang kerap didatangi burung ini.
Saat itu, ia tergiur dengan uang yang didapat dari menjadi pemburu burung liar. Harga jualnya dinilai cukup menggiurkan, harga burung Sulingan dewasa bisa mencapai Rp750 ribu, sedangkan anakkannya sekitar Rp250 ribu. Menurut para pengepul, burung hasil buruan Supangat ini biasa dipasarkan di Yogyakarta dan sekitarnya.
Selain warga Jatimulyo, warga luar desa juga ikut berburu. "Karena alam di sini jadi habitat banyak burung makanya juga diincar banyak pemburu," jelas Supangat. Lambat laun warga sadar perburuan burung merusak ekosistem dan bisa berdampak luas pada lingkungan.
Supangat mencontohkan jika burung di sini habis, rantai makanan terganggu. Pohon yang menopang sumper air pun akan berkurang. Akibat lanjutnya sumber air warga bisa terancam hilang. "Kalau yang paling nyata yang saya rasakan, sebelum konservasi digiatkan suara kicauan burung makin sedikit jadi kurang menghibur keseharian," keluhnya.
Pada 2015 warga yang mayoritas petani mulai meninggalkan kebiasaan lama berburu burung. Didampingi Yayasan Kutilang dan Komunitas Peduli Menoreh, warga mulai memikirkan cara untuk membangkitkan ekonomi lokal tanpa merusak lingkungan dengan cara meremajakan dan merawat kembali perkebunan kopi yang sudah lama ditinggalkan petani Jatimulyo.
Koordinator Konservasi Kelompok Tani Hutan (KTH) Wanapaksi, Kelik Suparno, menyebut salah satunya adalah dengan kembali bertani kopi asli Jatimulyo. "Yang penting juga warga mulai tidak berburu burung untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, karena sudah ada kopi," jelas Kelik.
Beralih jadi petani kopi
Supangat pun bergabung dengan Kelik Suparno untuk bergabung dalam komunitas Masyarakat Pemerhati Burung Jatimulyo (MPBJ). Dalam MPBJ, Supangat dapat memaksimalkan kemampuannya untuk menjaga burung-burung Jatimulyo. Selain itu ia juga kembali merawat tanaman kopi yang sudah lama diabaikan warga.
"Hasil konservasi kopi lumayan bagi ekonomi warga, sekali panen rata-rata minimal petani dapat Rp2,5 juta," ujar Kelik sambil menunjukan tanaman kopi lokal yang sebelumnya diabaikan tumbuh liar tak terawat.
Dalam sekali panen total diperoleh 8 ton buah kopi basah pada 2021 lalu, sebelumnya pada 2020 hasil panen kopi 7 ton. Harga buah kopi basah panenan warga senilai Rp 8 ribu per kilogram. Sementara kopi olahan siap seduh dilabeli Rp20 ribu per ons. "Kopi paling banyak dipasarkan ke komunitas burung, pemerhati capung, atau fotografer satwa," ujarnya.
Ajakan untuk adopsi sarang burung
Sejak berdiri pada 2018, KTH Wanapaksi menjalankan berbagai program terutama untuk pelestarian burung. Tak hanya terbatas bagi warga desa, KTH Wanapaksi juga mengajak masyarakat luas untuk mengadopsi sarang burung.
Setiap tahunnya, peserta adopsi sarang burung selalu meningkat. Pada 2019 sebanyak 20 orang mengadopsi sarang burung. Lalu 2020 ada 28 partisipan, dan 2021 sebanyak 34 partisipan. "Tahun ini masih dilakukan program ini dan promosi program yang kami lakukan lewat komunitas-komunitas sampai media sosial," kata Kelik.
Sementara itu berbagai jenis burung telah berhasil diselamatkan lewat program ini. Pada 2020, sedikitnya 28 sarang dari 7 spesies burung berhasil diselamatkan. Dari sarang-sarang ini telah ada 43 anakan burung terbang bebas. Lalu tahun 2021 ada 34 sarang dari 9 spesies burung yang diadopsi dan berhasil menambah anakan burung sedikitnya 78 ekor.
Kelik menyebut ada 9 spesies burung yang jadi prioritas burung untuk program adopsi sarang, termasuk burung yang dengan nama lokal dikenal dengan Empuloh Janggut, Sikatan Cacing, Elang-ular Bido, dan Elang-alap Jambul.
Dalam program ini ada beberapa paket yang ditawarkan, misalnya paket pertama, untuk burung yang populasinya berkurang dan terancam punah dengan harga Rp1,5 juta. Lalu paket kedua, untuk jenis burung pemangsa, burung berkicau, dan burung lain yang populasinya mulai berkurang seharga Rp1 juta. Terakhir paket ketiga, untuk kelompok burung endemik dan burung berkicau yang tergolong masih sering ditemui senilai Rp800 ribu.
Uang yang terkumpul dari adopsi sarang burung ini kemudian dipakai untuk berbagai keperluan operasional, misalnya, piket rutin untuk memantau perkembangan anakan burung. Selain itu, sebagian juga dipakai untuk kas dan insentif bagi pemilik lahan, dan penemu sarang. "Sebelumnya yang untung hanya pemburu, sekarang semua pihak bisa dapat untungnya," tutur Kelik.
Suaka burung di barat Yogyakarta
Kelik mencatat bahwa sejak ada program tersebut, jumlah spesies burung yang ditemukan di desanya bertambah dari 99 spesies burung tahun 2019 ke 106 spesies di tahun 2021.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Yogyakarta Muhammad Wahyudi menyebut bahwa sepertiga dari 338 total spesies burung di Yogyakarta ada di di Jatimulyo. Wahyudi pun menyebut Jatimulyo sebagai suaka burung di barat Yogyakarta.
"Kami mendukung usaha warga di sana dengan salah satunya mengenalkan Desa Jatimulyo sebagai desa percontohan tingkat nasional yang menjadikan desa ini sebagai tempat pembelajaran UPT lain. Konservasi yang menjadi daya tarik wisata di sana menunjukkan kepentingan ekologi dapat diselaraskan dengan kepentingan ekonomi," jelas Wahyudi.
Apresiasi yang datang silih berganti pada desanya, menurut Kelik, tak membuat warga berpuas diri. Ia ingin mentransfer pengetahuannya tentang burung-burung kepada generasi muda.
"Harapan lainnya, semakin luas dan banyak masyarakat luar yang ikut adopsi sarang agar makin banyak burung di sini," ujarnya (ae).