Frustrasi dan Kesulitan Ekonomi Arab Imbas Pembatasan Haji
7 Juli 2020Ibadah haji tahunan adalah kegiatan yang melibatkan jutaan manusia dan menjadi salah satu kerumunan orang terbesar di dunia. Namun, pada tahun 2020 kegiatan ini akan sangat berbeda.
Jika biasanya ada sekitar 2,5 juta jemaah yang datang ke Arab Saudi dari seluruh dunia, maka di akhir Juli ini jumlahnya akan berkurang menjadi sekitar 1.000 orang saja. Semua ini karena pembatasan akibat pandemi COVID-19. Meski, pemerintah Arab Saudi belum mengumumkan angka pastinya.
Pembatasan ini tentu menimbulkan kekecewaan bagi jemaah dari seluruh dunia, dan menjadi “bencana” lokal bagi warga yang menggantungkan ekonominya pada sektor ibadah haji.
Mohammad Tariq dari Masjid Cavan di Irlandia mengatakan teman-temannya yang berniat melakukan perjalanan ke Mekah untuk melaksanakan ibadah haji yang telah mereka impikan seumur hidup, harus tertunda.
“Mereka tidak sedih, mereka lebih dari itu. Seperti jika seseorang bersiap untuk melihat rumah Tuhan mereka dan mereka tidak bisa pergi,” ujar Tariq.
Perasaan frustrasi yang dialami jemaah yang gagal melaksanakan ibadah haji tahun 2020, tidak sama dengan perasaan kecewa hanya karena gagal berlibur musim panas, menurut Sean McLoughlin, profesor antropologi Islam yang mempelajari industri haji di Universitas Leeds di Inggris.
Ia menambahkan banyak Muslim yang telah memimpikan sejak lama untuk melaksanakan salah satu kewajiban utama di Islam itu.
“Sebenarnya ada dampak yang sangat besar – secara psikologis dan spiritual,” kata McLoughlin. “Dalam sektor industri, hal ini adalah sesuatu yang sangat dikomersialkan dan sangat politis di banyak hal, tetapi pada skala jemaah sehari-hari, hal ini sangat berarti bagi mereka.”
Bagai kota mati setelah pembatalan haji
Lembah luas yang biasanya tertutup tenda di Mina dan hotel-hotel mewah menjulang di sekitar Masjidil Haram kini tidak beroperasi. Keadaan di lokasi itu seperti kota mati.
Penduduk setempat yang bergantung pada sektor ibadah haji senilai US$ 10,6 miliar atau sekitar Rp 152 triliun sangat merasakan kerugian.
“Tentu saja, kami kecewa,” ujar Hashim Tayeb, yang terpaksa menutup toko parfumnya di kompleks mewah di depan masjid untuk sementara waktu.
Banyak restoran, tempat pangkas rambut, dan bisnis lain “pasti terkena dampaknya, terutama agen perjalanan,” sebut Tayeb.
Namun dirinya memaklumi pembatalan haji ini dilakukan demi keamanan di tengah pandemi. Jika kegiatan haji tetap dilakukan, di mana orang saling berdempetan, maka bisa menjadi bencana baru bagi negara yang telah memiliki lebih dari 190 ribu kasus COVID-19 ini.
Kehilangan mata pencaharian
Pembatalan umrah sejak awal Maret yang menyumbang 20% dari Produk Domestik Brutto (PDB) industri nonminyak di Arab Saudi, juga telah menambah kerugian yang lebih luas.
Seorang pengemudi asal kota Madinah – tuan rumah lokasi ibadah haji – mengatakan kepada DW bahwa ia dan rekan-rekannya telah menganggur selama empat bulan.
"Kami dulu bekerja setiap hari, itu adalah mata pencaharian kami," kata pria yang tidak ingin disebutkan namanya itu.
Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan kontraksi sekitar 6,8% untuk ekonomi Arab Saudi tahun ini, sebagai akibat dari penurunan bersejarah dalam harga minyak dan kerugian lain yang ditimbulkan karena pandemi COVID-19
Arab Saudi telah melakukan langkah-langkah penyelataman ekonomi, seperti penambahan tiga kali lipat pajak pertambahan nilai (PPN) pada tanggal 1 Juli, serta pemotongan tunjangan pemerintah. Hal ini berdampak pada jumlah belanja konsumen warga Arab Saudi, yang telah menurun lebih dari 34% pada bulan April dibandingkan dengan waktu yang sama tahun lalu.
“Visi 2030” tanpa tujuan
Penutupan haji dan umrah menjadi pukulan keras bagi Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS), yang berencana mendiversifikasi ekonomi lepas dari minyak, menurut antropolog McLoughlin.
Menurut hasil penelitian McLoughlin tahun 2019, rencana itu melibatkan peningkatan kuota tahunan haji menjadi 6 juta orang dan jemaah umrah menjadi 30 juta orang pada akhir dekade ini.
“Ekonomi (Arab Saudi) mungkin akan kembali, tetapi tidak mungkin pada skala yang diperkirakan pada tahun 2030,” ujarnya kepada DW.
Ini akan menjadi tantangan bagi kepemimpinan MBS, terutama masalah yang dihadapi generasi mudanya karena visi 2030 menjadi sulit tercapai dan sektor pariwisata juga kesulitan.
“Ujian hebat untuk MBS adalah apakah dia bisa menyelamatkan anak-anak muda, dengan pekerjaan di sektor swasta,” tulis Andras Krieg, asisten professor di King’s College London, di outlet berita Middle East Eye.
Tingginya permintaan
Di tengah tuntutan ekonomi, hingga kini belum jelas kapan pihak berwenang akan membuka kembali kegiatan ibadah haji.
McLoughlin mengatakan para jemaah, operator tur dan hotel di Mekah bersikap seolah-olah industri akan dibuka kembali akhir tahun ini.
Insiden terowongan Mina tahun 2015 yang disebut sebagai salah satu tragedi bencana terbesar dalam sejarah haji, menuntut otoritas Arab Saudi untuk terus berbenah."Reputasi Arab Saudi sudah dipertanyakan lewat banyak kritik,” kata McLoughlin.
“Tetapi bagi jemaah biasa, ini tidak mengalahkan cinta mereka, keinginan mereka, emosi mereka, keterikatan mereka, kerinduan mereka untuk berada di tempat-tempat suci, untuk mengunjungi rumah Tuhan dan untuk mengikuti jejak Nabi Muhammad. Dan ini sangat, sangat signifikan dalam hal prospek jangka panjang pariwisata religius.” pkp/rap