Pemberontakan M23 di Kongo Benturkan AS dan Rwanda
11 Agustus 2022Rintihan belasan pasien berbalut perban sesekali memecah sunyi di sebuah rumah sakit di timur Republik Demokratik Kongo. Pemberontak, warga sipil dan serdadu pemerintah berbaring bersandingan, luruh oleh luka tembak atau ledakan.
Mereka adalah korban perang pemberontakan Gerakan Maret 23 atau M23 yang belakangan kembali meletup di Provinsi Kivu Utara. Setelah membisu selama bertahun-tahun, M23 kembali aktif pada 2021 dan kini menguasai sejumlah besar wilayah provinsi.
Hingga Maret silam, konflik masih didominasi serangan gerilya M23 terhadap pasukan Kongo. Kini, pemberontak mulai menggunakan senjata artileri untuk mencegah militer merebut wilayah yang sudah dikuasai.
Seorang serdadu pemerintah di rumah sakit Kota Rutshuru mengatakan pihaknya mendapat hujan atileri "selama berjam-jam" dari posisi pemberontak. Dia selamat meski terkena serpihan bom. Sementara korban lain mengalami luka yang lebih parah.
Setidaknya belasan anak-anak dirawat karena mengalami malnutrisi, akibat terusir dari kampung sendiri.
Destabilisasi di jantung Afrika
Perang saudara di Kongo ikut memicu destabilisasi politik di Afrika Tengah, menyusul tuduhan pemerintah di Kinshasa terhadap keterlibatan Rwanda. Jiran di timur itu dulu ikut mempersenjatai M23, namun pada 2013 terpaksa mencabut dukungan setelah ditekan Dewan Keamanan PBB.
Sebuah investigasi PBB, yang bocor kepada AFP pekan lalu, mencatat bagaimana pasukan Rwanda menyerang serdadu pemerintah di dalam wilayah Kongo, serta membantu operasi bersenjata M23.
Kegentingan di Kivu Utara mendorong Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Antony Blinken, berkunjung ke Rwanda, Kamis (11/8). Sebelum berangkat, dia mengaku "sangat khawatir oleh laporan terpercaya bahwa Rwanda membantu M23.”
Blinken berjanji akan membahas isu tersebut dengan Presiden Paul Kagame setibanya di ibu kota Kigali.
Pertumpahan darah di Kongo membebani hubungan kedua sekutu lama tersebut. "Komoditas ekspor paling penting bagi Rwanda adalah reputasinya. Itulah yang menarik Starbucks atau Bill Gates ke sana,” kata Jason Stearns, Direktur Kelompok Studi Kongo di New York University. "Reputasi itu sedang goyah sekarang,” imbuhnya.
Kunjungan Blinken "akan mengarah kepada re-evaluasi terhadap apa yang terhadi di lapangan.”
"Semua punya agenda masing-masing"
Pemberontak M23 berasal dari etnis Tutsi yang mulai dikenal ketika merebut kota Goma pada 2012 silam. Gencarnya serangan dan kecakapan taktik yang digunakan para pemberontak saat ini memicu kecurigaan adanya keterlibatan militer profesional.
Namun tuduhan itu berulangkali ditepis Presiden Kagame, yang sebaliknya menyebut pemberontak M23 adalah masalah internal Kongo.
Direktur misi damai PBB di Kongo, Bintou Keita, belum lama ini mengabarkan kepada Dewan Keamanan PBB, betapa kelompok M23 bertindak dalam level "sudah seperti militer konvensional.”
Pengamatan tersebut tercermin di dalam laporan investigasi PBB, yang mencatat bagaimana militer Rwanda mengoordinasikan serangan secara seksama dengan gerilayawan M23.
"Saya ditembak dua kali di lengan kanan,” kata seorang pemuda di sebuah rumah sakit di Kivu Utara. Dia terluka ketika bertempur sebagai milisi untuk serdadu pemerintah.
Ironisnya, dia tidak diserang M23, melainkan oleh milisi Kongo lain, ketika berjaga-jaga. Insiden tersebut membuktikan kekacauan yang terjadi di medan tempur.
"Semua orang punya agendanya masing-masing, tidak ada kolaborasi sama sekali di antara kita,” kata dia, sembari ditemani isteri dan seorang bayi di pelukan.
rzn/yf (afp,rtr)