Masa Depan Semangat Antikorupsi Setelah Pemecatan di KPK
22 September 2021Sejumlah pakar hukum menyayangkan sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dinilai mengabaikan laporan Komnas HAM dan Ombudsman dalam kasus pemecatan 56 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK). Padahal, Komnas HAM menemukan pelanggaran hak asasi manusia di dalam seleksi itu, sedangkan Ombudsman menilai seleksi tersebut cacat administrasi.
Sikap presiden ini dikritik oleh sejumlah pakar hukum, salah satunya karena pada saat undang-undang KPK direvisi, lembaga ini ditarik oleh presiden menjadi bagian dari eksekutif.
"Lalu bagaimana mungkin presiden berdalih agar tidak semua urusan diserahkan kepada presiden?" kata Herdiansyah Hamzah, dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman. Ia pun berharap agar Presiden Jokowi menjalankan rekomendasi dari Komnas HAM dan Ombudsman, serta membatalkan pemecatan tersebut.
Dosen yang juga peneliti di Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) tersebut mengingatkan Presiden Jokowi bahwa rekomendasi Komnas HAM dan temuan Ombudsman atas kasus pemecatan 56 pegawai KPK punya kekuatan hukum. Karena itu, mengabaikannya berarti tidak menghormati kedua lembaga negara tersebut.
Ia khawatir apabila sikap ini terus ditunjukkan oleh presiden, reputasi kedua lembaga pemberi rekomendasi tersebut bisa semakin tergerus. Selain itu, semangat gerakan pemberantasan korupsi yang telah dimulai sejak reformasi 1998 dikhawatirkan akan kian pudar.
"Kalau orang-orang baik yang memiliki reputasi dan rekam jejak rela mengorbankan hidupnya untuk memberantas korupsi disingkirkan begitu saja dan nasib orang-orang ini didiamkan oleh presiden, apalagi yang publik bisa harapkan dari KPK?" kata Herdiansyah.
Potensi hubungan negatif antarlembaga negara
Dr. Suparji Ahmad, dosen Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, mengkhawatirkan potensi munculnya hubungan negatif antarlembaga negara sebagai dampak tidak ditanggapinya laporan tersebut.
"Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan, presiden harus proporsional dalam menyikapi usulan dari sesama lembaga negara nonstruktural yang ada di bawahnya. Jika tidak, akan terjadi hubungan negatif dari ketiga lembaga negara ini (KPK, Komnas HAM, dan Ombudsman). Hal ini akan berdampak pula pada kepercayaan publik, yang selanjutnya, disadari atau tidak disadari, akan mengganggu hubungan lembaga dengan warga negaranya," kata Suparji kepada DW Indonesia.
Senada dengan Herdiansyah, Suparji juga menyayangkan sikap presiden atas temuan Komnas HAM dan rekomendasi Ombudsman. Padahal kedua lembaga independen ini penting untuk menjamin berlangsungnya mekanisme check and balances di Indonesia.
Mekanisme check and balances merupakan instrumen konstitusi untuk mencegah kekuasaan terakumulasi dan tersentralisasi pada satu cabang kekuasaan saja. Jika mekanisme ini tidak berjalan baik, hubungan antarlembaga negara berpotensi tidak harmonis dan jalannya roda pemerintahan juga akan tidak efektif, kata Suparji.
Pegawai KPK masih tunggu itikad baik presiden
Novariza, salah satu dari 56 pegawai KPK yang dipecat karena tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK), mengatakan bahwa jika presiden tetap mengabaikan rekomendasi dari Komnas HAM dan Ombudsman dan membiarkan pemecatan terhadap mereka, ia dan rekan-rekannya mungkin akan mengajukan gugatan penonaktifan mereka ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
"Ada beberapa langkah litigasi yang kami persiapkan dan salah satunya adalah gugatan ke PTUN," kata Novariza kepada DW Indonesia. Saat ditanya kapan akan melayangkan gugatan, Novariza mengatakan hal ini masih didiskusikan dengan rekan-rekannya.
Novariza mengatakan bahwa ia dan 55 rekannya telah menerima surat pemecatan dari pimpinan KPK, yakni Surat Keputusan Nomor 1354 Tahun 2021. Berdasarkan surat ini, mulai 1 Oktober 2021 ke-56 pegawai tersebut akan resmi tidak lagi berstatus sebagai pegawai KPK. Namun ia masih berharap bahwa Presiden Jokowi akan menyelamatkan mereka dengan membatalkan surat keputusan ini.
"Kami masih menunggu sikap presiden hingga 30 September. Mudah-mudahan positif. Mudah-mudahan beliau mau mendengarkan begitu banyak masukan dari masyarakat dan pegiat antikorupsi. Dasarnya sudah jelas, yakni rekomendasi Komnas HAM dan Ombudsman dan putusan Mahkamah Agung yang mempertegas bahwa tindak lanjut atas hasil asesmen TWK ini adalah kewenangan pemerintah. Artinya, ini kewenangan presiden," katanya.
Menurut Novariza, Presiden Jokowi tidak boleh diam dan cuci tangan karena pemecatan ini merupakan implikasi dari revisi UU KPK yang disetujui oleh pemerintah.
"Ini bukan lagi persoalan internal KPK, tetapi telah jadi persoalan negara. Presiden, mau tidak mau, sebagai orang yang merestui revisi UU KPK ya harus turun tangan," ujarnya. "Ini juga persoalan stigmatisasi. Stigmatisasi ini telah membunuh karakter kami."
Presiden punya wewenang
Bagi Herdiansyah dari Universitas Mulawarman, upaya pemecatan terhadap 56 pegawai KPK merupakan upaya pelemahan gerakan antikorupsi dan pelemahan KPK secara kelembagaan. Herdiansyah mengatakan, ketika ada beberapa lembaga negara yang berbeda pendapat dan pandangan, presiden sebenarnya punya kewenangan mengambil alih kasus untuk menengahi dan menyelesaikan perbedaan pendapat.
Selain itu, menurut Pasal 25 Ayat 1 UU No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara dan turunannya yakni Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2020, presiden merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam pembinaan dan manajemen aparatur sipil negara, termasuk pegawai KPK karena lembaga antirasuah ini telah berada di rumpun kekuasaan eksekutif.
Wewenang tersebut, kata Herdiansyah, boleh digunakan oleh presiden kapan saja, meskipun hal terkait manajemen aparatur sipil negara telah didelegasikan kepada lembaga negara lainnya, seperti Badan Kepegawaian Negara dan juga KPK sendiri secara internal.
"Sebenarnya tidak ada alasan bagi presiden untuk tidak mengambil alih kasus pemecatan 56 pegawai KPK ini," ujar Herdiansyah. (ae)