Pemerintah Baru Akan Perhatikan Lingkungan?
2 Juli 2014Lingkungan adalah salah satu topik terakhir yang akan didiskusikan dalam debat terakhir Sabtu (05/07), menjelang pemilihan presiden Rabu pekan depan. "Saya pikir, karena mereka (para capres) tidak melihat Indonesia sebagai negara maju, mengurangi emisi tidak jadi prioritas," demikian dijelaskan Yuyun Indradi, yang mengurus masalah kelestarian hutan pada Greenpeace Southeast Asia-Indonesia. Ia menambahkan, pernyataan kuat menyangkut isu lingkungan dari seorang capres mungkin bisa menarik pemilih yang belum menetapkan pilihan.
Ia percaya, isu pengurangan emisi berlawanan dengan fokus kedua capres, yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi. Tetapi Farhan Helmy, manajer Indonesia Climate Change Center (ICCC), berpendapat, kedua isu itu tidak harus terpisah. Dalam wawancara dengan IPS, ia menekankan, bahwa ekonomi hijau seharusnya jadi langkah tepat bagi semua orang yang ingin meningkatkan kemajuan ekonomi yang berkualitas.
Dukungan Norwegia
Tahun 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berjanji akan mengurangi emisi gas rumah kaca Indonesia sebanyak 26% tahun 2020. Jumlah itu sama dengan 767 juta ton karbon dioksida. Tahun lalu, SBY memperpanjang moratorium dari tahun 2011 yang melarang penebangan baru dan melarang pemberian ijin bagi pendirian perkebunan sawit, dalam kesepakatan bantuan sejumlah semilyar Dolar dari Norwegia.
Moratorium ini akan jadi tes pertama bagi pemerintah mendatang. Demikian dikatakan Bustar Maitar yang menjabat kepala urusan pelestarian hutan pada Greenpeace International. Masih harus dilihat, apakah pemerintah baru akan terus bersikap seperti pemerintah sekarang, atau mengambil langkah maju dengan memberikan perlindungan maksimal bagi hutan. Demikian ditambahkan Maitar. Ia menekankan, menjaga kelestarian hutan Indonesia adalah kunci untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Kesepakatan dengan Norwegia dibuat sebagai reaksi untuk menanggapi citra Indonesia sebagai negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia, setelah AS dan Cina. Norwegia hanya memberikan bantuan, jika Indonesia melaksanakan peraturan Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+).
Prestasi Indonesia selama ini
Sejauh ini, prestasi Indonesia buruk. Menurut studi yang diterbitkan Minggu (29/06) dalam majalah Nature Climate Change, Indonesia telah mengalahkan Brasil dan menjadi negara terbesar di dunia dengan jumlah deforestasi terbesar, walaupun jumlah hutan tropis Indonesia hanya seperempat dari luas hutan Amazon di Brasil.
Data yang tidak sama dari dekade lalu menunjukkan, bahwa Indonesia kehilangan sekitar 310.000 hektar hutan per tahun antara 2000 and 2005. Itu berarti kenaikan jumlah hingga 690.000 hektar per tahun antara 2006 dan 2010.
Tetapi peneliti mengatakan, dalam 12 tahun terakhir telah hilang sedikitnya sejuta hektar lebih banyak dari jumlah pada statistik resmi. Menurut Belinda Arunarwati Margono, salah seorang penulis utama laporan itu, Indonesia kemungkinan kehilangan 840.000 hektar hutannya tahun 2012. Itu berarti jauh lebih banyak dari Brasil, yang menebang sekitar 460.000 hektar di tahun yang sama.
Langkah nyata pemerintah baru
Berkaitan dengan jumlah ini, pemerintah baru harus mengambil langkah nyata. Menurut Duta Besar Norwegia untuk Indonesia, Stig Traavik, 95% dari sokongan milyaran yang diberikan dalam tiga tahap akan tersedia bagi pemerintah baru, jika pemerintah baru memutuskan untuk memprioritaskan isu ini. Traavik mengatakan dalam wawancara dengan kantor berita IPS, ia telah berbicara dengan kedua capres. "Keduanya jelas mengerti isu ini. Keduanya ingin menjaga hutan Indonesia yang masih ada sekarang, dan keduanya tertarik untuk melakukan penanaman kembali."
Saat ini, Indonesia adalah rumah hutan tropis ketiga terbesar dunia, setelah hutan Amazon di Brasil dan hutan tropis Kongo.
Tapi mengambil langkah mencegah deforestasi tidak mudah. Zenzi Suhadi, aktivis Walhi, mengatakan pemerintah mendatang harus melaksanakan dua hal, yaitu menghentikan perluasan perkebunan sawit, dan mengadakan restorasi ekologi di areal hutan sebagai langkah penting dalam mengkaji ulang dan mengubah larangan bagi perkebunan sawit.
ml/hp (ips, dpa, afp, rtr)