Pemerintah Siapkan RUU Antiteror Yang Lebih Ketat
17 Februari 2016Rancangan Undang-Undang (RUU) yang akan diajukan ke parlemen memuat beberapa perubahan mendasar, terutama berkaitan dengan pencegahan dini dan penanganan aksi terorisme, demikian disampaikan seorang narasumber di kalangan pemerintahan kepada kantor berita Reuters.
Proposal itu diperkirakan akan mendapat sororan tajam dari kalangan aktivis Hak Asasi Manusia. Tetapi di parlemen, RUU itu kelihatannya tidak akan mendapat penentangan serius, kata pejabat yang tidak ingin disebut namanya itu.
Setelah aksi teror di Jalan Thamrin, Jakarta, 14 Januari lalu, desakan untuk melakukan revisi UU Antiterorisme memang makin santer. Karena parlemen perlu waktu yang terlalu lama kalau harus membahas revisi, banyak pihak termasuk parpol-parpol besar mengusulkan agar pemerintah yang menngajukan rancangan revisi.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo kemudian membentuk sebuah komisi, yang antara lain terdiri dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan HAM (Menkopolhukam), Wakil badan intelijen negara, Badan Nasional Penanggulangan Teror, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta pakar hukum pidana dan tata negara.
UU Antiterorisme saat ini berasal dari tahun 2003. Hasil kerja komisi dan usulan RUU Antiterorisme yang baru sudah diserahkan kepada Presiden Jokowi awal Februari lalu. Kalangan pemerintahan cukup yakin, RUU itu akan lolos di parlemen, apalagi dukungan partai politik terhadap pemerintahan saat ini belakangan makin menguat.
Aliansi parpol koalisi yang disebut Koalisi Merah Putih (KMP) pimpinan Prabowo praktis sudah runtuh. Satu satunya partai besar yang sekarang masih secara terbuka beroposisi kepada pemerintahan adalah Partai Gerindra.
RUU Antiterorisme yang baru, menurut pejabat pemerintah yang dihubungi kantor berita Reuters, akan memuat definisi terorisme yang lebih luas lagi daripada UU Antiterorisme tahun 2003 yang sekarang berlaku.
"Definisi baru terorisme akan mencakup kepemilikan, distribusi dan perdagangan senjata, dan termasuk juga bahan-bahan potensial yang dapat digunakan sebagai senjata dalam aksi terorisme," katanya.
Perubahan mendasar lainnya adalah soal masa tahanan pemeriksaan tanpa pengadilan, yang akan dinaikkan menjadi 90 hari, dan masa tahanan preventif, yang bisa berlangsung sampai 120 hari. Sekarang, polisi hanya berhak menahan terduga tersangka tindak terorisme untuk masa tahanan maksimal tujuh hari.
UU yang baru nantinya juga akan memasukkan kategori tindakan terorisme yang baru. Pihak berwenang akan bisa menahanan dan mendakwa orang-orangr yang merekrut anggota, atau bekerjasama dengan kelompok militan. Laporan intelijen tentang komunikasi elektronik, dan menggunakan komunikasi elektronik, laporan intelijen dan data transaksi keuangan serta komunikasi elektronik akan diijinkan sebagai barang bukti di pengadilan.
Polisi juga bisa menahan orang yang "berkumpul untuk mendiskusikan aksi teror dan tindakan radikal", kata pejabat itu.
Aparat keamanan memang sering mengeluh, mereka tidak bisa melakukan penahanan ketika mengetahui ada indikasi kegiatan radikal yang dipersiapkan kelompok militan, karena tidak ada undang-undang yang mrngaturnya.
Organisasi pengacara International Commission of Jurists (ICJ) bulan lalu mendesak pemerintah Indonesia agar tetap menghormati hak-hak warga dalam upaya meannggulangi terorisme.
hp/ap (rtr)