Pemerintah Didesak Segera Atasi Pelanggaran Hak Adat
25 Maret 2016Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) April 2014 memulai penyelidikan tentang pelanggaran hak asasi manusia yang berhubungan dengan hak adat di kawasan hutan.
Dari ribuan kasus yang dilaporkan ke komisi itu, ada 40 kasus yang dipilih dari tujuh wilayah - Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, Maluku dan Papua - sebagai kasus uji untuk penyelidikan. Laporan akhirnya diberi judul "Inkuiri Nasional Komnas HAM tentang Hak Masyarakat Hukum Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan" dan diluncurkan Rabu lalu (16/03) di Jakarta.
Salah satunya adalah konflik suku Dayak Benuaq di desa Muara Tae di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Sejak awal 1970-an mereka berjuang mendapatkan hak atas hutan adat mereka, yang dirambah dan ditebangi untuk pertambangan dan kemudian untuk lahan perkebunan kelapa sawit.
"Kami melakukan semua yang kami bisa untuk melindungi hutan. Kami mencoba mencari bantuan dari pemerintah daerah. Tapi justru kami disalahkan, ditangkap, dipidanakan, karena membela tanah sendiri." kata Masrani, wakil Dayak Benuaq yang khusus datang ke Jakarta untuk menghadiri peluncuran laporan Inkuiri Nasional itu.
Masrani menerangkan, temuan penyelidikan itu menggambarkan bagaimana hilangnya hak adat atas tanah tanah telah menciptakan ketegangan antar masyarakat dan warga desa tetangga, yang memilih untuk menjual wilayah mereka kepada perusahaan.
Ia juga menceritakan adanya intimidasi dari "orang-orang bersenjata" yang telah menyerang desa di 1998-1999, memaksa dia dan keluarganya mengungsi ke hutan.
Di provinsi Maluku Timur, hak atnah penduduk asli di Kepulauan Aru dirampas tanpa mereka sadari, setelah ada rencana untuk mengembangkan perkebunan tebu tahun 2012.
Bupati Aru ternyata telah memberikan konsesi tahun 2010 kepada perusahaan-perusahaan pengelola hutan, tanpa bertayna dulu kepada masyarakat adat di sana. Ijin konsesi yang dikeluarkan mencakup 500.000 hektar dari seluruhnya 600.000 hektar lahan. Ada 90 dari seluruhnya 117 desa yangh harus direlokasi.
"Jadi, darimana kita harus hidup?" tanya Mamado, seorang pemimpin tradisional Aru.
Untung saja tahun 2014, setelah kampanye media sosial yang intens, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan lalu membatalkan rencana perkebunan.
Laporan Inkuiri Nasional Komnas HAM menyebutkan bahwa masyarakat adat kehilangan hak atas tanahnya, kehilangan hak bebas rasa takut, sering mengalami penyiksaan dan perlakuan yang tidak manusiawi. (Laporannya bisa dibaca di sini: Hak Masyarakat Hukum Adat)
Pertengahan 2015. Menteri Pertanian Amran Sulaiman mencanangkan pengembangan 500.000 hektar perkebunan tebu di tiga lokasi: Aru, Merauke dan Sulawesi Selatan. Padahal Presiden Joko Widodo pernah berjanji selama pemilu presiden, dia akan melindungai hak-hak masyaarakt adat.
Sampai sekarang pun, RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (RUU PPHMA) masih belum rampung. RUU itu bahkan tidak masuk dalam program legislasi nasional periode 2015-2019.
Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, masyarakat adat telah menunggu dua tahun sampai penyelidikan Komnas HAM selesai.
Padahal dalam Pasal 6 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa penegakan HAM terhadap masyarakat hukum adat harus dilindungi secara hukum dan hak masyarakat adat atas tanah dan ulayat wajib dilindungi oleh negara. (Foto artikel: Masyarakat Badui di Jawa Barat)
hp/rn (rtr)