1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

110609 USA Iran

12 Juni 2009

Ketegangan antara Iran dan AS sudah berlangsung puluhan tahun. Obama menjanjikan sikap terbuka, jika Iran juga menunjukkan hal serupa. Tapi, Washington rupanya masih menunggu hasil pemilihan presiden.

https://p.dw.com/p/I88N
Kaum perempuan Iran mengantri di Masoumeh, tempat suci di Qum, untuk memberikan suara pada pemilihan presiden, Jumat (12/06).Foto: AP

Rakyat Iran antuasias mendatangi tempat-tempat pemungutan suara, Jumat (12/06), untuk memilih Presiden Iran selama empat tahun ke depan. Kementrian Dalam Negeri memperkirakan, keikutsertaan pemilih lebih dari 70%. Di luar dugaan, kata Ketua KPU Iran Kamran Daneshjou.

Empat kandidat bersaing, namun tantangan terbesar yang dihadapi Presiden Mahmud Ahmadinejad datang dari Mir Hossein Mousavi yang moderat. Hari ini, puluhan ribu pendukungnya berpawai di ibukota Teheran untuk mendemonstrasikan dukungan mereka.

Tingginya angka kehadiran pemilih bisa mengindikasikan partisipasi banyak pro-reformis yang memalingkan kepala dalam pemilu 4 tahun lalu. Saat itu Ahmadinejad menang mengejutkan, dengan janji menghidupkan lagi nilai-nilai revolusi Islam tahun 1979.

Secara umum, pemilihan Presiden Iran menarik perhatian dunia dengan para pemimpin yang mengharapkan isyarat perubahan dalam pendekatan Teheran.

Kemenangan Mousavi mungkin akan meredakan ketegangan dengan barat yang kuatir terhadap ambisi nuklir Iran. Dan, membantu peluang upaya Presiden Barack Obama yang menginginkan awal baru dalam hubungan AS dan Iran.

Tidak akan mudah mengatasi kecurigaan selama berpuluh tahun, kata Presiden Barack Obama dalam pidatonya kepada dunia muslim pekan lalu. Tetapi, AS siap menempuh jalan ini.

Obama mengatakan, "Ada banyak hal yang harus dibicarakan antara kedua negara, dan kami bersedia melakukannya tanpa prasyarat, berdasarkan sikap saling menghormati.“

Menlu AS Hillary Clinton mengatakan di siaran televisi ABC hari Minggu lalu, mengapa sangat penting bagi kedua negara untuk melakukan pembicaraan.

"Kita perlu informasi yang lebih baik, tentang masing-masing pihak, bukan hanya informasi satu arah. Gagasan bahwa kita bisa menjalin hubungan diplomatik dengan Iran berarti, untuk pertama kalinya kami akan duduk bersama, dengan pihak yang diberi kuasa oleh pimpinan tertinggi Iran, untuk berbicara dengan kami mengenai berbagai isu“, kata Clinton.

Sejak hampir 30 tahun silam, kebisuan merajai hubungan kedua negara. Penting untuk mengetahui apa yang Iran inginkan, kata Clinton. Terutama menyangkut program nuklir yang tetap dilanjutkan Iran sekalipun dihujani protes dan sanksi internasional.

Saat berada di Kairo, Presiden Obama mengatakan, pengembangan senjata nuklir harus dihindarkan, tetapi, "Setiap bangsa, termasuk Iran, semestinya berhak atas penggunaan energi nuklir secara damai, jika bersedia mematuhi perjanjian non-proliferasi nuklir."

Jika itu inti keinginan Iran, ada cara untuk mengakomodasinya, yang tidak mengarah pada senjata nuklir, tambah Menlu Clinton.

Sejauh ini, perubahan dalam politik Iran yang dijalankan AS terbatas pada retorika dan isyarat halus. Tahun ini, untuk pertamakalinya kedutaan besar AS di seluruh dunia boleh mengundang warga Iran untuk menghadiri perayaan 4 Juli, hari kemerdekaan AS. Dan Presiden Obama menyampaikan ucapan selamat saat perayaan tahun baru Iran.

Namun, ucapan selamat Presiden Mahmud Ahmadinejad kepada Obama saat dilantik sebagai Presiden Amerika, tidak dijawab. Menlu Clinton mendasarkan alasannya pada pemilihan Presiden Iran.

Ia mengatakan, "Ada aturan tertentu selama proses pemilu. Tetapi akan segera berakhir, dan kami berharap bisa memulai proses yang positif.“

Namun Clinton juga menegaskan bahwa kesediaan kompromi Amerika punya batasan.


Christina Bergmann/ Renata Permadi

Editor: Hendra Pasuhuk