Pemilu Myanmar Dikecam Penuh Rekayasa
8 November 2010Pemilu parlemen di Myanmar menjadi tema komentar dalam tajuk sejumlah harian internasional. Duapuluh tahun setelah pemilu terakhir digelar di negara yang dahulu bernama Birma itu, rezim militer menggelar pemilu pertama. Dalam pemilu yang digelar tahun 1990 lalu, Liga Demokrasi dari tokoh oposisi yang sekaligus pemenang hadiah Nobel Perdamaian, Aung San Suu Kyi menang mutlak. Namun junta militer menganulir hasil pemilu tsb.
Harian liberal Swedia Dagen Nyheter, dalam tajuknya mengingatkan, kelompok oposisi di Myanmar memerlukan lebih banyak bantuan. Harian yang terbit di Stockholm ini lebih lanjut menulis : Pemilu yang direkayasa di Myanmar harus dikecam. Dan pemenang hadiah Nobel Perdamaian, Aung San Suu Kyi yang dikenai tahanan rumah, harus segera dibebaskan. Dukungan juga dibutuhkan oleh anggota oposisi lainnya yang mencari jalan untuk menjawab tantangan junta militer. Metode demokrasi apa yang akan digunakan, bukan masalah bagi campur tangan dunia yang dapat atau hendak dilakukan. Semua kekuatan akan diperlukan, untuk memperbaiki persyaratan kehidupan rakyat, dan membuat Myanmar menjadi sebuah negara terbuka. Negara-negara lainnya harus mendukung aktif kelompok oposisi Myanmar dan meningkatkan tekanan terhadap junta militer.
Harian Jerman Frankfurter Allgemeine Zeitung yang terbit di Frankfurt am Main juga menulis komentar kritis senada : Para pengritik pemilu dengan benar membuktikan, bahwa pemilu ini tidak jujur dan tidak bebas. Dan tentu saja, para jenderal dalam waktu dekat ini tidak akan melepaskan kekuasaan dari tangannya, apalagi secara sukarela. Tapi secara teoritis, pemilu ini juga akan kembali dapat mempermalukan pimpinan militer. Pemilu tahun 1990 masih menjadi trauma bagi banyak jenderal, dimana ketika itu mereka melakukan segala cara untuk mencegah kemenangan mutlak kelompok oposisi yang dipimpin Aung San Suu Kyi. Seberapa banyak rasa takut para jenderal terhadap rakyatnya sendiri, dapat terbaca dengan jelas, ketika mereka meningkatkan upaya menutup negaranya yang pada dasarnya sudah terisolasi, pada hari pemungutan suara.
Sementara harian Swiss Neue Zürcher Zeitung yang terbit di Zürich dalam tajuk yang berjudul “pemilu sebagai permainan judi“ berkomentar : Pemilu yang digelar hari Minggu lalu di Myanmar, mengingatkan pada karikatur yang dibuat seorang seniman Birma mengenai seorang anak yang bertanya kepada ayahnya, apa bedanya permainan judi dengan pemilu? Tidak ada bedanya, jawab sang ayah. Ia juga mendorong anaknya untuk mencoba mencari keberuntungan, walaupun perjudian lebih sering berakhir dengan kekalahan. Bagi para pakar politik, pemilu ini akan dipandang sebagai kemenangan, jika parlemen yang terbentuk, sekali-sekali memusingkan para politisi yang pro junta militer.
Terakhir harian regional Perancis La Presse de la Manche menulis komentar bernada ironis terhadap pemilu parlemen pertama yang digelar rezim militer Myanmar dalam waktu 20 tahun terakhir itu. Pemilu yang diorganisir oleh junta militer Myanmar hanyalah sebuah karikatur. Sebuah karikatur terhadap demokrasi, dimana Myanmar masih terpaut amat jauh dari situ. Sekaligus karikatur terhadap pemilu itu sendiri. Apa sangkut pautnya dengan demokrasi, jika militer terus berusaha menghambatnya, dan seringkali dengan efisiensi yang menakutkan.
AS/AR/dpa/afpd