Pemukim Baru Lewat Bonus & Keringanan Pajak
3 Januari 2013Pukulan bertubi-tubi dilancarkan Israel usai Palestina diakui sebagai negara pemantau oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, akhir November lalu. Awalnya negara Yahudi itu mengumumkan pembangunan pemukiman baru di Yerusalem Timur dan Tepi Barat Yordan.
2600 rumah baru di Givat Hamatos, 1200 di Gilo dan 1500 di Ramat Schlomo. Bahwa pemukiman-pemukiman tersebut ilegal menurut hukum internasional, tidak membuat pemerintahan Benjamin Netanyahu bergeming.
Israel mengklaim pembangunan pemukiman baru itu sudah direncanakan sejak jauh hari. Maklumat yang datang bertepatan dengan pengakuan status kenegaraan Palestina di PBB dinilai cuma sebuah kebetulan belaka.
Saat perayaan natal lalu Menteri Pertahanan Israel Ehud Barak mengumumkan kenaikan status sebuah perguruan tinggi di pemukiman Ariel menjadi universitas. Karena Tepi Barat Yordan secara resmi masih dianggap daerah pendudukan, militer lah yang harus membuat kebijakan pendidikan di kawasan tersebut.
"Ini adalah upaya pemerintah Israel menggeser garis hijau (perbatasan 1967 red.) Pemerintah berusaha meyakinkan penduduk, bahwa kehidupan di daerah pendudukan tidak ada bedanya dengan di kampung halaman," kata Sarit Michaeli, juru bicara organisasi HAM Israel, B`tselem. Pemerintahan Netanyahu mengucurkan dana besar selama beberapa tahun terakhir untuk mempercepat pembangunan pemukiman baru.
Pertumbuhan melalui Stimulus Keuangan
Pemerintah membuat berbagai keringanan untuk memancing pemukim-pemukim baru. "Yang aneh adalah, orang bisa tinggal di rumah yang lebih bagus dan lebih besar dengan jauh lebih murah ketimbang di Israel. Pemukim misalnya mendapat bunga yang lebih terjangkau, model pembayaran agunan yang lebih sederhana dan keringanan pajak. Jadi setiap keluarga yang tinggal di seberang garis hijau memiliki keuntungan finansial," kata Michaeli.
Sebab itu pula belakangan muncul pemukim-pemukim baru yang tidak tergolong fanatik. Mereka bukan kelompok yang secara ideologis menetap di daerah pendudukan untuk mewujudkan sebuah negara Yahudi yang terrbentang antara Sungai Yordan hingga Laut Tengah.
Gilli Paran, pemuda berusia 29 tahun yang hidup di Ramaz Gan di dekat Tel Aviv kini sedang melanjutkan studi di Universitas Samaria di Ariel, sebuah pemukiman di Tepi Barat Yordan. Menurutnya kuliah di daerah pendudukan punya banyak keuntungan. "Segalanya memang lebih kecil ketimbang di Tel Aviv atau Yerusalem. Tapi infrastrukkturnya lebih baik. Pemerintah banyak berinvestasi di universitas ini," katanya.
Pilihan Rasional
Cuma sedikit mahasiswa yang berasal dari Ariel. Sebagian besar datang dari Israel atau memilih menginap di asrama mahasiswa. Kendati mendukung secara tidak langsung, Paran belum pernah mendapat kritik dari teman atau keluarga. "Semua orang tahu, ini bukan semacam sikap politik." Biaya semester di Ariel juga jauh lebih murah. Paran cuma membayar 28 juta Rupiah per tahun. Angka yang kecil jika dibandingkan ongkos studi di Israel.
Di Ariel, pemuda itu bisa menikmati standar hidup yang mustahil didapat di Tel Aviv lantaran kelangkaan rumah dan tingginya biaya hidup. "Tidak ada universitas baru di Israel sejak 40 tahun terakhir. Padahal jumlah penduduk terus meningkat," kata Paran. Termasuk pula jumlah pemukim yang kini mencapai angka setengah juta orang.
"Saya bisa membayangkan hidup di Ariel. Kota ini milik Israel dan tidak akan diserahkan kepada Palestina," katanya. Michaeli pun tidak yakin akan adanya perubahan, "Bahkan setelah pemilu pun pemerintah tidak akan mengubah kebijakannya terkait pemukiman baru."