Penahanan Bos Telegram Picu Debat soal Kebebasan di Medsos
5 September 2024Apa yang harus dilakukan terhadap platform media sosial yang tidak mematuhi pihak berwenang dalam memerangi konten berbahaya? Pertanyaan itu menjadi inti perdebatan yang dipicu oleh penangkapan dan penyelidikan CEO Telegram Pavel Durov di Prancis.
"Ini tentang apa yang dilakukan negara-negara anggota Uni Eropa dan UE, atau negara-negara demokrasi lainnya, terhadap platform yang tidak mematuhi aturan dan menolak memberikan informasi kepada pihak berwenang," kata Julian Jaursch, seorang pakar regulasi platform di lembaga think tank Interface yang berbasis di Berlin, kepada DW.
Durov ditahan pada 24 Agustus di bandara Le Bourget, Paris, setelah tiba dengan jet pribadinya dari Azerbaijan.
Setelah lebih dari 80 jam dalam tahanan polisi, dia dibebaskan dan secara resmi diselidiki karena membiarkan konten berbahaya menyebar di jaringannya.
Sejak penangkapannya, para pendukung Durov, termasuk multimiliarder Elon Musk, mengutuk tindakan otoritas Prancis sebagai langkah penyensoran. Pemerintah di Paris telah membantah tuduhan ini, dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron menulis di X bahwa penangkapan itu "sama sekali bukan keputusan politik."
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Namun, para pendukung hak digital mengatakan kepada DW bahwa tindakan otoritas Prancis itu terasa meresahkan, dan memperingatkan bahwa kasus tersebut dapat menjadi preseden bagi negara-negara lain untuk memaksa jejaring sosial mematuhi permintaan politik atau bahkan melanggar hukum.
"Hal itu juga dapat menyebabkan media sosial dan platform komunikasi lain mengadopsi langkah-langkah moderasi konten yang lebih ketat yang dapat mengarah pada penyensoran," Natalia Krapiva, penasihat hukum-teknologi senior di kelompok hak digital Access Now, mengatakan kepada DW.
"Hal ini akan merugikan semua pengguna, tetapi terutama masyarakat sipil seperti aktivis dan media independen yang beroperasi di lingkungan yang sudah represif."
Alat pro-demokrasi dan surga kriminal
Telegram, berbeda dengan raksasa media sosial lainnya, dikenal karena tidak ikut campur memoderasi konten. Kebebasan ini menjadikan Telegram sebagai instrumen utama bagi para aktivis pro-demokrasi dari Iran hingga Hong Kong untuk mengorganisir protes.
Namun, Telegram juga menjadi tempat berlindung bagi para ekstremis dan penganut teori konspirasi, serta kelompok kriminal di dunia maya. Pihak berwenang Prancis mulai menyelidiki Telegram setelah perusahaan tersebut mengabaikan sebagian besar permintaan untuk bekerja sama dalam menuntut kejahatan yang dilakukan via Telegram, tulis kantor kejaksaan Paris menjelaskan dalam sebuah pernyataan pers.
Ketika pihak berwenang Prancis membebaskan Durov dari tahanan, mereka mengumumkan bahwa dia diselidiki atas serangkaian kejahatan. Kejahatan tersebut termasuk dugaan keterlibatan dalam menjalankan platform daring yang memfasilitasi transaksi ilegal, menyebarkan materi yang menggambarkan kekerasan seksual terhadap anak-anak, meningkatkan perdagangan narkoba, penipuan, dan menyediakan layanan pesan terenkripsi tanpa lisensi.
Menanggapi hal tersebut, salah satu pengacara Durov mengatakan kepada wartawan bahwa "sangat tidak masuk akal untuk berpikir bahwa pemilik jejaring sosial dapat terlibat dalam tindakan kriminal yang tidak menyangkut dirinya, baik secara langsung maupun tidak langsung."
Langkah lanjutan di Prancis dan Uni Eropa
Dalam sistem peradilan Prancis, penyelidikan formal merupakan prasyarat agar suatu kasus dapat dibawa ke pengadilan, tetapi tidak menjamin bahwa persidangan akan berlangsung. Jika pihak berwenang memutuskan bahwa tidak ada cukup bukti, kasus tersebut dapat dibatalkan sebelum persidangan.
Untuk sementara waktu, Durov tidak diizinkan meninggalkan Prancis. Dia harus melapor ke polisi dua kali seminggu, menurut pernyataan jaksa penuntut.
Seiring dengan semakin gencarnya investigasi di Prancis, perhatian juga beralih ke Uni Eropa, yang memimpin upaya untuk mengatur platform daring di 27 negara anggota.
Pada akhir tahun 2022, Uni Eropa mengesahkan Undang-Undang Layanan Digital, DSA, kerangka regulasi menyeluruh yang dirancang untuk meminta pertanggungjawaban perusahaan media sosial atas apa yang terjadi di platform mereka.
Jan Penfrat, penasihat kebijakan senior di organisasi hak digital EDRi yang berbasis di Brussels, menekankan perlunya Uni Eropa untuk menegakkan DSA dan menangani peran Telegram.
"Dengan semua mata tertuju pada Telegram dan situasi di Prancis, otoritas Uni Eropa perlu bertindak sekarang," kata Penfrat kepada DW. "Jika tidak, orang-orang akan mulai melihat DSA sebagai macan kertas."
Pertanyaan utama berkisar pada jumlah orang yang menggunakan Telegram di Uni Eropa. Di bawah DSA, platform dengan lebih dari 45 juta pengguna aktif dianggap sebagai "platform yang sangat besar" dan harus mematuhi peraturan yang lebih ketat. Pada bulan Februari, Telegram melaporkan bahwa mereka memiliki 41 juta pengguna di Uni Eropa.
Uni Eropa kini tengah menyelidiki apakah Telegram memberikan angka pengguna yang tidak akurat. Jika pihak berwenang menemukan bahwa perusahaan tersebut telah mengecilkan keberadaannya, Telegram dapat menghadapi berbagai tindakan dan hukuman.
"DSA masih baru dan banyak alatnya yang belum diuji, tetapi DSA mencakup beberapa tindakan untuk memaksa Telegram agar bekerja sama lebih baik dengan pihak berwenang," kata Penfrat kepada DW. "Telegram akan menguji DSA dalam salah satu ujian besar pertamanya."
(rzn/hp)