"WNI Eks-Kombatan ISIS Harus Dirangkul Oleh Negara"
11 Juli 2019Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) tahun 2017, diketahui sebanyak 1.321 Warga Negara Indonesia bergabung dengan Islamic State of Syria and Iraq (ISIS). Dengan rincian, 594 orang berada di Suriah dan Irak, 84 di antaranya dinyatakan tewas, 482 orang dideportasi saat mencoba masuk ke Suriah, 62 orang telah dikembalikan dari Suriah, dan 63 orang berhasil digagalkan keberangkatannya dari Indonesia.
Wacana repatriasi para eks-kombatan ISIS ke tanah air pun mengemuka. Lantas bagaimana dengan status kewarganegaran mereka yang telah berbaiat kepada organisasi teroris ini. Pakar hukum pidana, Mudzakir, dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta berbagi pandangannya dengan DW Indonesia.
DW: Saat ini tengah ramai diperbincangkan wacana repatriasi WNI eks-kombatan ISIS oleh pemerintah Indonesia. Terdapat pro dan kontra terkait status kewarganegaraan mereka. Menurut Anda, mereka yang telah berbaiat kepada ISIS otomatis kehilangan kewarganegaraannya kah?
Menurut saya tidak. Karena itu perbedaan ideologi adalah bagian daripada kebebasan, orang berhak memilih ideologi. Cuma ideologi yang digunakan tidak bisa dijadikan alasan untuk melakukan kejahatan. Kalau kita masuk ke Indonesia harus sesuai dengan rambu-rambu Indonesia. Kalau ideologi kita Pancasila ya taati. Jadi kalau seperti tu, tidak masalah perbedaan pemahaman yang penting tidak bertentangan dengan Pancasila.
Berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia, apa saja yang membuat seorang warga negara kehilangan status kewarganegaraannya?
Macam-macam alasan, salah satu diantaranya bergabung dengan musuh [negara] yang dengan tidak sukarela. Kalau sukarela sih boleh saja. Prinsipnya orang bergabung dengan musuh itu, berarti dia menjadi musuh [negara]. Kalau dia menjadi musuh maka hilang lah kewarganegaraan.
Jika demikian apa yang membuat mereka bisa kembali menjadi WNI? Adakah persyaratan khusus?
Itu tidak ada persyaratan khusus, kalau mau kembali dan tidak [menjadi WNI] itu kan kembali lagi kepada kebijakan pemerintah seperti apa. Memang misalnya kalau dia dicabut kewargenegaraannya terus itu sudah menyelesaikan masalah?Bagaimana kalau keluarga mereka [masih] ada di Indonesia? Bahkan bisa juga dia nanti masuk ke Indonesia secara diam-diam, "uncontrolled," malah ini yang justru bahaya.
Jadi masuk melalui pintu-pintu yang bisa dimasuki ke Indonesia secara sembunyi. Berbeda kalau masuk ke Indonesia secara diakui, kemudian mereka dibina sedemikian rupa, sehingga terkontrol dimanapun dia berada. Sehingga dia bisa terdeteksi apa saja kegiatan yang dia lakukan, sampai ia benar-benar kembali menjadi warga negara yang baik.
Menjadi kewajiban bagi pemerintah Indonesia kah upaya repatriasi ini? Karena mereka diketahui pergi ke Suriah atas keinginan pribadi.
Semua tanggung jawab negara dan juga harus melibatkan instrumen masyarakat yang lain, yang punya tanggung jawab terhadap itu. Misalnya majelis ulama, atau yang lainnya. Jangan semua dimasukkan ke negara, sehingga meninggalkan komunitas-komunitas lain. Kalau itu disingkirkan, mungkin orang itu akan bergabung dengan kelompok tertentu, yang tidak ragu bergabung dengan kelompok-kelompok keagamaan yang lain. Dan saya khawatirkan, justru nanti orang itu akan mengembangkan lagi ajaran mereka.
JIka wacana ini terwujud, anggarannya berasal dari mana?
Kalau urusan anggaran itu urusan kewarganegaraan. Saya kira negara bertanggungjawab sama artinya dengan mereka, yang dulu terjadi sesuatu dan lain hal dengan negara lain, kemudian dia pergi tanpa izin dan sebagainya, tanpa paspor Indonesia, maka dulu juga dipulangkan. Dalam konsep negara Indonesia, apapun warga negara berbuat kejahatan semestinya negara merangkul kembali, agar menjadi orang yang baik lagi.
Warga Negara Indonesia eks-kombatan ISIS yang mengaku telah bertobat dan ingin kembali pulang ke tanah air, saat ini mereka tengah menunggu kepastian dari pemerintah. Sementara itu apa yang harus mereka perbuat?
Saran saya dua-duanya perlu pro aktiflah, dari perwakilan pemerintahan Indonesia dan dari warga negaranya sendiri, apapun mereka, tolonglah didekati kembali supaya tidak terlantar di sana. Bisa kembali ke Indonesia menjadi mayarakat yang baik. Pemerintah Indonesia melalui perwakilannya coba lakukan itu, jangan sampai nanti mereka bermasalah di sana, tercemarlah nama Indonesia untuk selama-lamanya. Semestinya begitu, pemerintah yang mesti aktif memulangkan mereka ke Indonesia.
Kalau kita tarik mundur ke belakang, marak di tahun 1960-an WNI yang diduga terpapar komunisme akhirnya kewarganegaraannya dicabut oleh pemerintah, berstatus stateless, hingga akhirnya pergi ke negara lain untuk bertahan hidup. Apakah Anda melihat adanya kesamaan dalam kasus ini?
Ini berbeda, kalau sekarang ini masalahnya dengan negara lain, bergabung dengan negara lain dan tidak melakukan apa-apa di Indonesia. Kalau PKI itu di Indonesia, tidak mengakui ideologi Pancasila. Sehingga kalau memang tidak cocok dengan Pancasila ya pergi saja ke tempat [negara] lain, kan begitu.
Dulu ada juga warga negara yang ketika jaman Soekarno diminta untuk memilih. Orang yang pada saat perang kemerdekaan bergabung dengan Belanda, ketika kita sudah merdeka, terus [mereka] masih bergabung dengan Belanda ya pergi saja ke Belanda sana. Tapi harus diingat, itu semua terjadi di dalam negeri. Ini [ISIS] kan perbuatannya di luar negeri dan tidak ada permusuhan dengan Indonesia, ini lah yang menjadi pertimbangan.
Jadi menurut Anda mereka juga masih mempunyai kesempatan yang sama untuk bisa pulang ke tanah air?
Itu nanti tergantung kebijakan kewarganegaraan, bukan pada ideologinya. Kan syaratnya ada, kalau mau bergabung ke Indonesia.
Arti Ekawati turut berkontribusi dalam wawancara ini.
Prof. Dr. Mudzakir, SH, MH adalah seorang pakar hukum pidana dan juga Guru Besar Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.