Pengungsi Afganistan di Indonesia Cemaskan Nasib Keluarganya
20 Agustus 2021Meski meninggalkan Afganistan pada usia lima tahun, Afganistan selalu memiliki tempat khusus di hati Azis. Ketika pasukan Taliban menguasai satu persatu wilayah Afganistan hingga masuk ke ibu kota Kabul, Azis yang berasal dari minoritas Hazara itu merasa sangat khawatir terutama terkait keselamatan keluarga dan kerabatnya yang masih tinggal di negara itu.
"Situasi ini sangat berbahaya bagi kami, kaum Hazara, karena mereka tidak menyukai kami," kata pengungsi berusia 34 tahun itu, yang juga merupakan seorang pelatih futsal, versi sepak bola yang dimainkan di dalam ruangan dengan tim yang lebih kecil.
Dia dan istri serta anak-anaknya telah tinggal di Indonesia selama tujuh tahun terakhir. Tepatnya di Ciawi, sekitar 70 km dari ibu kota Jakarta. Sampai sekarang mereka masih menunggu relokasi ke negara ketiga.
Minoritas Hazara yang jadi sasaran Taliban
Saat diwawancara Azis meminta agar nama belakangnya tidak disebutkan karena khawatir dengan keselamatan keluarga besarnya di Afganistan. Ia menceritakan bahwa keluarga pamannya telah mengunci diri di dalam rumah mereka sejak jatuhnya pemerintah Afganistan menyusul pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban.
"Mereka takut keluar rumah. Sekarang mereka mencari cara keluar dari Afganistan, karena keluarga saya tidak merasa aman di sana," kata Azis.
Selama beberapa dekade, minoritas memang telah menjadi sasaran serangan kelompok militan, termasuk Taliban dan ISIS, karena keyakinan agama mereka.
Tidak punya banyak harapan
Sebagian besar Hazara adalah Muslim Syiah, yang dibenci oleh kelompok garis keras Sunni seperti Taliban. Mereka telah menghadapi penganiayaan dan kekerasan selama beberapa dekade, termasuk serangan baru-baru ini terhadap rumah sakit bersalin dan sekolah-sekolah perempuan.
Terlepas dari jaminan Taliban bahwa mereka telah berubah sejak masa pemerintahan terakhir mereka, Azis tetap khawatir tentang situasi di negaranya. Di era pemerintahan Taliban tahun 1990an, olahraga dan musik dilarang, dan tidak ada kebebasan bagi perempuan seperti yang dinikmati perempuan Afghanistan dalam 20 tahun terakhir.
"Saya tidak tahu bagaimana masa depan sepak bola di Afganistan. Bagaimana nasib perempuan, dan olahraga? Dan bagaimana dengan perempuan yang ingin sekolah?" katanya sambil menambahkan: "Saya berharap Afganistan akan menjadi lebih baik, tapi saya tidak punya banyak harapan."
hp/gtp (rtr)