Pengungsi Suriah Kecewa dengan Mesir
15 November 2012Setiap enam detik sebuah alat memompa oksigen ke hidung Fatma. Dengan kekuatannya sendiri ia tidak dapat bernafas. Dengan wajah pucat, perempuan Suriah itu duduk di tempat tidur di tempat penampungan pengungsi di Kairo. Suaminya harus menolongnya, ketika ia akan menunjukkan bekas luka di bagian punggungnya. Di kota asalnya, Homs, perempuan beranak dua itu terperangkap dalam tembak-menembak antara aparat keamanan dan pemberontak.
"Sebuah peluru mendarat di paru-paru saya", kata Fatma dengan suara lemah. Paru-paru bagian kanannya telah diangkat, dan yang kiri tidak berfungsi baik. "Saya hanya bisa bernafas dengan alat bantu pernafasan dan sejumlah besar obat-obatan." Ketika daerah tempat tinggal mereka dibom, suami Fatma membeli tiket pesawat ke Mesir. "Kami tidak dapat membawa apapun. Kami bahkan tidak punya pakaian untuk musim dingin", kata Fatma dengan putus asa.
Di samping tempat tidurnya bertumpuk obat dan penyemprot obat paru-paru. Obat dan perawatan pertama di rumah sakit masih dapat ia bayar, kata suaminya. Tapi sekarang uang sudah tidak ada lagi, katanya. "Di sebuah mesjid kami mendapat dukungan sedikit. Tapi di Mesir selama ini tidak ada yang menolong kami."
"Saudara dari Suriah" Ditinggal Sendirian
Padahal Presiden Mesir Mohamed Mursi beberapa kali berjanji di depan kamera, akan mendukung "saudara dari Suriah" jika menghadapi kesulitan. Tapi itu rupanya hanya omong kosong, kata Mohamed. Pria asal Suriah itu sudah tinggal 15 tahun di Jerman. Tetapi ketika sanak saudaranya lari dari Homs ke Mesir lima bulan lalu, ia juga pergi ke Kairo untuk menolong mereka. Sekarang Mohamed membantu 250 pengungsi. Mengorganisir tempat tinggal bagi mereka, bahan pangan dan pakaian, yang terutama disokong penyumbang pada paroki gereja Katolik Santo Laurentius di Berlin, tempat ia tinggal.
Mesir memberikan ijin tinggal bagi warga Suriah yang mengungsi. Badan urusan pengungsi PBB, UNHCR, juga mencatat mereka. Lebih dari itu, Mesir tidak melakukan apapun bagi warga Suriah yang kesulitan, demikian dijelaskan Mohamed. Dan sejumlah besar pemilik rumah di Kairo bahkan menyalahgunakan situasi pengungsi. "Banyak dari mereka menaikkan harga sewa rumah."
150.000 Pengungsi Suriah di Mesir?
Dalam laporan-laporan resmi soal pengungsi dari PBB, Mesir tidak disinggung. Yang disebut-sebut hanya sekitar 300.000 pengungsi Suriah, yang sampai saat ini diterima Turki, Yordania, Libanon dan Irak. Atas pertanyaan pada kantor UNHCR di Kairo, bagian layanan persnya mengatakan, sampai saat ini hanya 7.000 pengungsi Suriah tercatat berada di Mesir. Mereka jelas mendapat makanan, pakaian dan bantuan medis. "Itu tidak benar”, tampik Mohamed. Ia sudah berkali-kali pergi ke badan berwenang dengan pengungsi, dan tidak mendapat bantuan. Pemerintah Mesir juga menyebut angka berbeda. Sekarang katanya sudah 150.000 pengungsi Suriah berada di Mesir.
"Assad dan tenaranya sudah mengambil segalanya dari kami. Anak-anak kami, rumah kami, seluruh harga kami. Mereka menjadikan kami pengemis”, dikatakan seorang perempuan tua sambil menangis. Ia juga terpaksa lari dari Homs ke Kairo. Tidak ada dari mereka yang bersedia menyebut nama lengkap. Mohamed juga tidak. Ia memiliki kewarganegaraan Jerman sejak beberapa tahun lalu. Tidak ada dari mereka yang mau membahayakan hidup sanak keluarga yang masih berada di Suriah.
Seorang ibu dari Damaskus menceritakan, dengan uang tabungannya ia membeli tiket pesawat ke Kairo yang harganya dinaikkan berkali lipat. Kepada badan berwenang di Suriah, suaminya mengatakan mereka akan mengadakan perjalanan wisata. Dari pelabuhan udara Kairo mereka naik taksi tanpa tujuan jelas ke salah satu bagian kota Kairo. "Kemudian datang perasaan yang mengerikan”, kata perempuan Suriah itu. "Kami berdiri di jalanan dan tidak tahu harus ke mana. Kemudian kami pergi ke sebuah mesjid dan bermalam di sana.”
Tangis Pahit Akibat "Omong Kosong"
Sekelompok pengungsi Suriah kemudian menerima kedatangan ayah-ibu dan keempat anak kecil mereka. Mohamed menceritakan, pada hari-hari yang buruk, hingga 90 orang berada di sebuah apartemen. Tempat tidur, jika ada, hanya digunakan untuk anak-anak, orang lanjut usia atau sakit. Ayah-ibu pada keluarga yang berasal dari Damaskus juga tidur di lantai. Mereka segera butuh selimut, karena malam hari suhu akan tambah dingin. Juga baju-baju yang hangat, setidaknya untuk anak-anak kecil.
Dengan malu mereka membuka lemari baju besar, yang sudah ada di apartemen itu, ketika mereka datang. Hanya di bagian bawah tergeletak beberapa helai baju untuk anak-anak.
Seorang perempuan muda berusia 20 tahun yang tinggal di dekat keluarga itu sejak melarikan diri ke Kairo, menangis ketika melihat isi lemari itu. Tetapi tangisannya bercampur dengan kemarahan. Karena ia melihat di televisi, bahwa di Kairo sedang diadakan KTT lagi, yang antara lain membicarakan situasi di Suriah. "Masih ada konferensi. Orang berbicara tak kunjung henti. Katanya mereka menolong kami. Tapi anda bisa melihat sendiri, bagaimana mereka menolong kami... tidak ada satupun bantuan!"