Penjara Jerman Belum Siap Tampung Narapidana Nonbiner
22 Agustus 2023Bagi Penelope Frank, RUU Identitas Gender yang sedang digodok pemerintah datang terlambat. Pegiat iklim Last Generation yang juga seorang transpuan itu sedang menghadapi dakwaan lantaran aksinya melumpuhkan bandar udara Berlin pada 2022 silam.
Jika terbukti bersalah, dia terancam dijebloskan ke penjara bagi laki-laki, lantaran status gender di KTP.
Sebabnya pemerintah Jerman dikritik lantaran dinilai "tidak ikut memikirkan dampaknya pada aparat keamanan,” kata kepala serikat sipir penjara Jerman, Rene Müller. "Kita harus memikirkan keselamatan narapidana. Padahal kami kekurangan tenaga kerja untuk menjalankan kewajiban tersebut.”
Sebanyak 60.000 narapidana menjalani hukuman kurung di sekitar 200 lembaga permasyarakatan di Jerman. Jumlah tersebut dianggap tidak berkelanjutan lantaran kurangnya jumlah sipir dan tenaga kerja berkualifikasi sepadan.
Perbedaan di tingkat negara bagian
Menurut Masyarakat Jerman untuk Identitas Trans, saat ini sebanyak 500.000 transpuan dan transpria hidup di Jerman.
Aturan menyangkut narapidana trans saat ini diputuskan oleh masing-masing negara bagian. Ketika sejumlah negara bagian memfasilitasi kaum trans, yang lain baru menerbitkan buku panduan dan pelatihan bagi sipir penjara.
Regulasi nasional sulit diwujudkan, karena bergantung pada kondisi jenis kelamin milik narapidana. Hal ini menyulitkan pengelola lapas karena UUD Jerman melarang adanya percampuran antargender di penjara.
Rene Müller sebabnya mengimbau agar pengelola lapas menyiapkan bagian terpisah bagi kaum trans. "Setiap negara bagian harus menjamin penahanan yang layak bagi narapidana trans. Dan sudah menjadi tugas negara untuk melengkapi jumlah tenaga kerja, logistik dan pembiayaan yang cukup.”
Ancaman bagi narapidana trans
Kasus paling mencolok di Jerman saat ini diemban seorang transpuan bernama Annemarie House yang didakwa akibat dugaan penipuan.
House pernah mendekam di penjara laki-laki dan perempuan, kisah kuasa hukumnya, Thomas Galli. Sang transpuan misalnya dilarang memakai rambut palsu ketika berkunjung ke klinik penjara. Kasusnya menjadi contoh betapa pengelola lapas kewalahan memfasilitasi kesetaraan gender.
"Di banyak lapas, budaya yang dominan adalah budaya maskulin dan hukum rimba, bukan toleransi. Kebanyakan narapidana adalah kaum muda yang mungkin punya kepribadian problematik dan juga kecendrungan untuk menggunakan tinfak kekerasan,” kata Galli.
"Menurut saya, narapidana trans dikhawatirkan menjadi korban perundungan atau bahkan kekerasan seksual.”
Dia meyakini pemerintah tidak harus membangun fasilitas baru bagi kaum Trans. Saat ini pun sudah ada area terpisah untuk narapidana berkebutuhan khusus, seperti misalnya kaum lansia.
Sebabnya, dia mendesak negara-negara bagian agar merumuskan aturan dalam manampung narapidana trans. "Agar pelatihan bagi sipir dan tenaga kerja di lembaga permasyarakat diperbanyak dan dijaminnya fasilitas khusus untuk narapidana yang tidak cocok untuk ditampung di lapas pria atau perempuan.”
rzn/hp
Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!