Perang Drone di Timur Tengah Makin Gencar
2 Juli 2021Akhir pekan lalu, AS melancarkan serangan udara terhadap kelompok-kelompok militan yang didukung Iran dekat perbatasan Irak-Suriah. Menurut sebuah pernyataan yang dikeluarkan pejabat pertahanan AS, serangan itu adalah pembalasan atas serangan pesawat tak berawak yang dilakukan terhadap pasukan Amerika di wilayah Irak.
Militer AS mengatakan, bahwa drone, yang dalam istilah militer disebut Unmanned Aerial Vehicles (UAV), telah digunakan menyerang personel mereka setidaknya lima kali sejak April lalu. Dalam serangan terbaru, sebuah drone bersenjata diledakkan di ruang makan yang digunakan oleh warga Amerika di dalam bandara Baghdad. Serangan drone lain merusak hanggar Amerika di Irak utara.
Serangan dengan pesawat tak berawak memang makin sering terjadi di kawasan Timur Tengah, tidak hanya oleh militer untuk menyerang lawan, melainkan juga oleh aktor non-negara di sana, seperti kelompok milisi di Irak, Yaman, dan Suriah.
Penelitian Institut Studi Politik Internasional (ISPI) yang berbasis di Milan menunjukkan bahwa negara-negara Timur Tengah (tidak termasuk Israel) menghabiskan setidaknya 1,5 miliar dolar AS untuk membeli drone militer selama lima tahun terakhir.
Drone menjamin keunggulan dari udara
Di Timur Tengah, Israel adalah pembuat drone paling canggih. Tetapi Israel jarang memberikan atau menjual teknologinya kepada negara lain, apalagi yang dianggap berpotensi menjadi musuh. Kebanyakan drone di kawasan ini berasal dari Turki, Iran, Uni Emirat Arab, dan Cina sebagai pemasok drone utama.
Iran memiliki salah satu program drone terlama, kata peneliti ISPI Frederico Borsari. Terhambat oleh sanksi internasional dan kesulitan merawat atau memperbarui pesawat-pesawat tempurnya, Iran telah lama memahami bahwa drone dapat menambah kekuatan udara mereka, kata Borsari.
Penyaluran drone ke Timur Tengah "berbahaya karena mengubah hierarki militer di kawasan itu," kata Fabian Hinz, analis Timur Tengah yang berbasis di Berlin dan fokus pada drone dan rudal balistik. "Sebelumnya, Anda bisa memprediksi konflik, misalnya negara ini memiliki begitu banyak pesawat dan pelatihan sebanyak ini, sehingga dapat diperkirakan seberapa kuat mereka. Tetapi drone dan rudal balistik mengaburkan semua analisis itu.
Perlu aturan standar yang kuat
Salah satu kunci untuk menyelesaikan masalah drone yang berkembang di Timur Tengah adalah regulasi yang lebih baik. Agnes Callamard, mantan pelapor khusus PBB, memperingatkan bahwa dunia telah memasuki "zaman drone kedua ... ditandai dengan proliferasi drone bersenjata yang tidak terkendali, yang lebih tersembunyi, lebih cepat, lebih kecil, dan lebih mampu melakukan pembunuhan terarah daripada generasi sebelumnya."
Sampai Maret 2020, ada lebih dari 102 negara yang memiliki drone militer, dan diperkirakan 63 aktor non-negara. Agnes Callamard berpendapat bahwa negara-negara harus bekerja sama untuk membuat aturan baru yang akan mencakup "standar tegas untuk desain, ekspor, dan penggunaan drone" serta transfer teknologi militer terkait.
Apakah rezim pengaturan seperti itu akan berhasil di Timur Tengah? "Ketika sampai pada strategi militer, tampaknya yang paling efektif adalah menyerang titik-titik di mana sistem ini sedang diproduksi, atau dengan mengeluarkan mereka yang sangat terlatih untuk membuatnya,” kata James Rogers, profesor studi politik dan penasihat pemerintah Inggris tentang drone.
Fabian Hinz dan James Rogers setuju bahwa ekspor teknologi drone militer masih dapat dikendalikan, tapi hampir tidak mungkin mengatur apalagi menghentikan perdagangan drone kepada aktor non-negara yang berpotensi memiliki niat kriminal.
(hp/gtp)