Perang Kembali Terjadi di Wilayah Nagorno-Karabakh
20 September 2023Otoritas etnis Armenia di wilayah Pegunungan Kaukasus mendesak Azerbaijan untuk duduk bersama melakukan pembicaraan, tetapi pemerintahan presiden Azerbaijan mengatakan bahwa apa yang disebutnya sebagai "operasi anti-teroris" akan terus berlanjut hingga "formasi militer ilegal Armenia" menyerah dan pemerintah separatis Nagorno-Karabakh membubarkan diri.
Laporan-laporan tersebut menimbulkan kekhawatiran bahwa perang skala penuh di wilayah tersebut dapat terjadi lagi antara Azerbaijan dan Armenia, yang telah berhadapan selama lebih dari tiga dekade dalam konflik di wilayah pegunungan tersebut. Pertempuran sengit terakhir di sana terjadi selama enam minggu pada tahun 2020.
Kementerian Pertahanan Azerbaijan mengumumkan dimulainya operasi tersebut beberapa jam setelah dilaporkan bahwa empat tentara dan dua warga sipil tewas akibat ledakan ranjau darat di Nagorno-Karabakh.
Kementerian tersebut tidak segera memberikan rinciannya, tetapi mengatakan bahwa posisi garis depan dan aset militer angkatan bersenjata Armenia "dilumpuhkan dengan menggunakan senjata presisi tinggi," dan bahwa hanya target militer sah saja yang diserang.
Namun, Kementerian Luar Negeri Armenia membantah bahwa senjata atau pasukannya berada di Nagorno-Karabakh dan menyebut laporan sabotase dan ranjau darat di wilayah tersebut sebagai "kebohongan." Perdana Menteri Armenia Nikol Pashiyan menuduh bahwa tujuan utama Azerbaijan adalah untuk menyeret Armenia ke dalam permusuhan.
Para pejabat etnis Armenia di Nagorno-Karabakh mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa ibukota wilayah tersebut, Stepanakert, dan desa-desa lain "berada di bawah penembakan yang intens." Militer di wilayah tersebut mengatakan bahwa Azerbaijan menggunakan pesawat terbang, artileri dan sistem rudal serta pesawat tak berawak dalam pertempuran tersebut.
Warga berlindung di ruang bawah tanah
Video dari kota tersebut menunjukkan sebuah bangunan tempat tinggal yang rusak dengan jendela-jendela yang pecah dan mobil-mobil yang rusak di dekatnya.
Penduduk Stepanakert pindah ke ruang bawah tanah dan tempat perlindungan bom, dan pertempuran memutus aliran listrik. Kekurangan makanan masih terjadi di daerah tersebut, dengan jumlah terbatas bantuan kemanusiaan yang dikirim pada Senin tidak terdistribusi karena penembakan, yang dilanjutkan pada malam hari setelah berhenti sebentar pada sore hari.
Ombudsman hak asasi manusia Nagorno-Karabakh, Geghan Stepanyan, mengatakan bahwa 27 orang, termasuk dua warga sipil, terbunuh dan lebih dari 200 orang lainnya terluka. Menurut pernyataan Stepanyan sebelumnya, seorang anak termasuk di antara mereka yang tewas, dan 11 anak termasuk di antara mereka yang terluka.
Kantor Kejaksaan Agung Azerbaijan mengatakan pasukan Armenia menembaki Shusha, sebuah kota di Nagorno-Karabakh yang berada di bawah kendali Azerbaijan, dengan senjata kaliber besar, menewaskan satu warga sipil.
Tidak ada satu pun klaim yang dapat diverifikasi secara independen.
Meskipun Azerbaijan mengatakan bahwa operasi tersebut terbatas pada target militer, Kementerian Pertahanan mengatakan bahwa "koridor kemanusiaan" telah dibuat untuk mengevakuasi penduduk.
Dugaan pengusiran terhadap etnis Armenia
Thomas de Waal, seorang peneliti senior di lembaga pemikir Carnegie Europe, mengatakan bahwa operasi militer tersebut bisa jadi merupakan bagian dari rencana Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev untuk membuat etnis Armenia meninggalkan daerah tersebut.
Meskipun ia mengatakan bahwa hal ini masih terlalu dini untuk dinilai, namun ia mengatakan bahwa hal ini bisa menjadi "semacam aksi militer terbatas yang akan mencoba memaksa ribuan orang Armenia untuk mengungsi ke Armenia. Dan kemudian Aliyev dapat mencapai tujuannya untuk mengambil alih Karabakh tanpa banyak pertumpahan darah," kata de Waal kepada The Associated Press.
Sebelumnya pada hari Selasa (20/09), Azerbaijan mengatakan enam orang tewas dalam dua ledakan terpisah di wilayah yang sebagian berada di bawah kendali pasukan etnis Armenia.
Nagorno-Karabakh dan wilayah sekitarnya yang cukup luas berada di bawah kendali etnis Armenia sejak berakhirnya perang separatis pada tahun 1994, tetapi Azerbaijan merebut kembali wilayah dan sebagian Nagorno-Karabakh selama pertempuran tahun 2020. Pertempuran itu berakhir dengan gencatan senjata yang menempatkan pasukan penjaga perdamaian Rusia di Nagorno-Karabakh.
Namun, Azerbaijan menuduh Armenia telah menyelundupkan senjata sejak saat itu. Tuduhan itu menyebabkan blokade jalan yang menghubungkan Nagorno-Karabakh dengan Armenia, yang menyebabkan kekurangan makanan dan obat-obatan.
Kerterlibatan Rusia dibalik penyerangan?
Permusuhan ini terjadi di tengah ketegangan yang tinggi antara Armenia dan sekutu lamanya, Rusia. Armenia telah berulang kali mengeluh bahwa pasukan penjaga perdamaian Rusia yang beranggotakan 2.000 orang tidak dapat atau tidak mau menjaga jalan menuju Armenia tetap terbuka, meskipun tugas itu ditetapkan dalam perjanjian yang mengakhiri perang tahun 2020.
Armenia juga membuat Rusia marah, yang memiliki pangkalan militer di negara itu, dengan mengadakan latihan militer dengan Amerika Serikat bulan ini dan dengan bergerak untuk meratifikasi Konvensi Roma yang menciptakan Mahkamah Pidana Internasional, yang telah mendakwa Presiden Rusia Vladimir Putin.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova pada hari Selasa (19/09) membantah bahwa Rusia diberitahu sebelumnya tentang niat Azerbaijan untuk melakukan operasi tersebut, dan mengatakan bahwa pasukan penjaga perdamaian diberitahu hanya "beberapa menit" sebelum operasi dimulai.
Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan Moskow "prihatin dengan eskalasi ketegangan yang drastis dan dimulainya permusuhan" di wilayah tersebut, dan bahwa militer Rusia telah menghubungi rekan-rekan mereka di Armenia dan Azerbaijan untuk mencoba "mengembalikan proses penyelesaian (konflik) ke jalur diplomatik-politik."
bh/rs (AP)