1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikMyanmar

Perang Sipil di Myanmar, Akankah Muncul Negara Baru Arakan?

27 Desember 2024

Arakan Army yang terus memperluas wilayah kekuasaanya di Myanmar dan bergerak maju tanpa hambatan. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang apa sebenarnya tujuan akhir kelompok pemberontak ini?

https://p.dw.com/p/4obe7
Kehancuran Myanmar setelah pertempuran antara tentara dan Tentara Arakan
Tentara Arakan berfungsi sebagai cabang militer dari United League of Arakan (ULA), organisasi politik masyarakat Buddha di negara bagian Rakhine barat MyanmarFoto: AFP

Sejak militer Myanmar melakukan kudeta dan menggulingkan pemerintah yang terpilih secara demokratis pada Februari 2021, negara tersebut tenggelam dalam kekacauan politik.

Kudeta ini memicu gelombang protes massal yang berkembang menjadi pemberontakan anti-junta militer, terutama di wilayah-wilayah yang didominasi oleh etnis minoritas.

Mereka yang menentang rezim militer telah membentuk aliansi yang terdiri dari kelompok-kelompok etnis dan pasukan pertahanan yang dipimpin oleh warga sipil.

Perang saudara telah meningkat selama setahun terakhir, dengan kelompok-kelompok etnis bersenjata yang meningkatkan tantangan serius terhadap cengkeraman militer terhadap kekuasaan selama setahun terakhir.

Pada akhir 2023, aliansi tiga kelompok oposisi, Tentara Aliansi Demokrasi Nasional Myanmar (MNDAA), Tentara Pembebasan Nasional Ta'ang (TNLA), dan Tentara Arakan atau Arakan Army (AA), melancarkan serangan besar-besaran di negara bagian Shan.

Dalam beberapa bulan terakhir, mereka berhasil merebut sebagian besar wilayah, terutama di negara bagian Shan utara dan Rakhine barat.

Arakan  Army dan ambisi wilayah otonom

Tentara Arakan atau Arakan Army (AA), sayap militer dari United League of Arakan (ULA), telah membuat kemajuan signifikan di medan perang dengan merebut puluhan kota dan pos militer dalam 15 bulan terakhir.

AA berfungsi sebagai cabang militer dari United League of Arakan (ULA), organisasi politik masyarakat Buddhis di negara bagian Rakhine barat Myanmar.

Pada 2017, militer Myanmar melancarkan tindakan keras terhadap Muslim Rohingya yang tinggal di negara bagian tersebut, memaksa sekitar 750.000 orang Rohingya mengungsi ke negara tetangga, Bangladesh.

Komunitas internasional mengkritik keras pemerintah Myanmar atas pembunuhan massal dan pemindahan paksa Rohingya, yang secara resmi dinyatakan oleh Amerika Serikat sebagai "genosida”.

AA dan ULA mengatakan bahwa tujuan mereka adalah untuk menciptakan sebuah wilayah otonom di negara bagian Rakhine yang mencakup populasi Muslim di samping Rakhine yang beragama Buddha.

Menjaga opsi tetap terbuka

Ye Myo Hein, seorang pakar senior tamu di Institut Perdamaian Amerika Serikat dan Rekan Global di Wilson Center, Washington, D.C., mengatakan bahwa Arakan Army menjaga agar opsi-opsinya tetap terbuka.

"AA saat ini fokus untuk mengusir militer Myanmar dari negara bagian Rakhine. Namun, ketika menyangkut masa depan politik, AA tampaknya tetap membuka semua opsi di atas meja, tidak mengecualikan kemungkinan untuk mendirikan negara baru yang merdeka,” katanya kepada DW.

"Meskipun masih terlalu dini untuk memprediksi hasil yang pasti, keputusan untuk mengejar kemerdekaan atau tetap menjadi bagian dari pemerintahan Myanmar akan sangat bergantung pada bagaimana negara di masa depan disusun,” tambah ahli tersebut.

Aung Thu Nyein, seorang analis politik dan direktur komunikasi di Institute for Strategy and Policy - Myanmar, memiliki pandangan yang sama.

"Secara resmi, Tentara Arakan mengklaim bahwa mereka berjuang untuk 'status konfederasi', tetapi tidak ada yang tahu. Bahkan jika AA menyerukan pemisahan diri dari Myanmar, mereka tidak melihat adanya tetangga yang bersahabat,” katanya.

Arakan Army mengumumkan minggu lalu bahwa mereka telah merebut markas Komando Barat rezim di kota Ann, Rakhine.

Jika dikonfirmasi, ini akan menjadi komando militer regional kedua yang jatuh ke tangan pemberontak etnis dalam lima bulan terakhir dan menjadi pukulan telak bagi militer.

Ketegangan antara Arakan Army dan Rohingya

Meski AA berupaya membangun hubungan dengan komunitas Muslim Rohingya, hubungan historis antara kedua kelompok tetap kompleks. AA dan ULA pernah dituduh melakukan serangan terhadap Rohingya di masa lalu, yang menimbulkan keraguan terhadap komitmen mereka untuk inklusivitas.

Para pengamat mengatakan bahwa masih ada pertanyaan mengenai bagaimana perbedaan historis antara kedua belah pihak dapat dikesampingkan.

"Kepemimpinan AA adalah realis dan mereka mungkin mempertimbangkan semua tantangan, termasuk masalah Rohingya, yang merupakan salah satu ranjau bagi AA. Namun demikian, kemenangan militer membuat beberapa pemimpin AA, dan juga beberapa warga negara Rakhine, menjadi arogan dan hal ini dapat menciptakan beberapa titik buta untuk menghadapi tantangan,” ujar Nyein.

Menambah kerumitan lebih lanjut adalah dugaan perekrutan paksa yang dilakukan oleh militer Myanmar terhadap warga Rohingya untuk berperang melawan kelompok-kelompok etnis bersenjata.

Laporan-laporan menunjukkan bahwa AA juga telah mempekerjakan orang-orang Rohingya.

Hein mengatakan bahwa AA perlu mengatasi semua masalah dengan Rohingya jika menginginkan stabilitas di Rakhine.

"Masalah Rohingya dapat menjadi pil racun bagi negara bagian Rakhine jika tidak ditangani dengan baik. Mengatasi masalah ini secara konstruktif sangat penting untuk memastikan stabilitas jangka panjang dan kemajuan di wilayah tersebut,” ia menggarisbawahi.

Namun, Rakhine juga tidak mandiri dan bergantung pada daerah lain di Myanmar untuk mendapatkan pasokan penting, termasuk makanan dan obat-obatan, sehingga menimbulkan pertanyaan apakah wilayah tersebut dapat berkembang jika AA menginginkan kemerdekaan.

"AA kemungkinan akan memperluas keterlibatannya dengan Bangladesh dan India untuk mengurangi ketergantungannya pada Myanmar bagian tengah, terutama saat mereka mengkonsolidasikan kontrol atas daerah perbatasan,” kata Hein.

"Meskipun pemerintah Bangladesh telah menyatakan bahwa mereka tidak akan terlibat dengan AA karena statusnya sebagai aktor non-negara, kemungkinan besar, dalam jangka panjang, negara-negara tetangga tidak akan memiliki pilihan selain menjalin hubungan, setidaknya secara informal, dengan AA untuk memastikan keamanan dan stabilitas perbatasan.”

Peran apa yang akan dimainkan oleh Cina?

Keterlibatan Cina yang semakin meningkat di Myanmar, menurut para analis, juga dapat membentuk konflik di masa depan.

Raksasa Asia ini merupakan mitra dagang terbesar Myanmar dan pemasok utama senjata untuk militer.´Beijing juga telah mengucurkan dana miliaran dolar AS ke sektor minyak dan gas di negara itu, serta infrastruktur fisik lainnya.  

Para pejabat Cina baru-baru ini mengadakan pembicaraan dengan dua mitra aliansi AA untuk menengahi gencatan senjata dengan junta.

Militer Myanmar menguasai Kyaukphyu, sebuah kota besar di negara bagian Rahkine yang merupakan ujung dari jalur pipa minyak senilai $1,5 miliar (sekitar Rp23,3 triliun) dan jalur pipa gas alam paralel yang membentang ke Kunming, ibukota provinsi Yunnan di barat daya Cina.

Pipa-pipa ini merupakan komponen utama dari Koridor Ekonomi Cina-Myanmar, yang merupakan bagian penting dari proyek perdagangan dan infrastruktur global Beijing yang ambisius dan bernilai miliaran dolar, yaitu Belt and Road Initiative (BRI).

"Kyaukphyu kemungkinan besar akan menjadi daerah terakhir yang menjadi target kendali AA, dengan memprioritaskan daerah lain terlebih dahulu. Dengan kemampuan militernya yang telah terbukti, AA kemungkinan besar dapat merebut Kyaukphyu dengan kekuatan sekarang,” kata Hein.

"Setiap pertempuran di daerah itu berisiko menimbulkan kerusakan yang signifikan pada infrastruktur Cina. Hal ini menjadikan Kyaukphyu sebagai alat tawar-menawar yang sangat penting bagi AA,” tambahnya.

"Dengan memanfaatkan kepentingan strategis dan ekonominya, AA dapat meyakinkan Cina untuk menekan militer Myanmar agar melepaskan kendali secara damai, sebuah langkah yang sejalan dengan kepentingan Cina dalam melindungi investasinya dan menjaga stabilitas regional.”

Artikel ini diadaptasi dari DW berbahasa Inggris.